Kayanara tidak tahu kalau kesediaannya menemui Janu ternyata akan menghasilkan misi baru: menaklukkan Narendra si bocah kematian yang doyan tantrum dan banyak tingkahnya.
Berbekal dukungan dari Michelle, sahabat baiknya, Kayanara maju tak gentar mengatur siasat untuk membuat Narendra bertekuk lutut.
Tetapi masalahnya, level ketantruman Narendra ternyata jauh sekali dari bayangan Kayanara. Selain itu, semakin jauh dia mengenal anak itu, Kayanara semakin merasa jalannya untuk bisa masuk ke dalam hidupnya justru semakin jauh.
Lantas, apakah Kayanara akan menyerah di tengah jalan, atau maju terus pantang mundur sampai Narendra berhasil takluk?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nowitsrain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 6
Kalau Kayanara sudah gedebukan, itu berarti ada hal menyebalkan yang telah terjadi. Melihat dari kekuatan entakan kaki yang dia buat, Michelle juga bisa memperkirakan kalau level menyebalkannya pasti sudah sangat tinggi.
“Kenapa sih, kawan?” tanyanya. Sebagai pencitraan, diambil alihnya dua kantong belanjaan dari tangan perempuan itu. “Apa yang membuatmu terlihat begitu kesal?”
Lirikan tajam adalah sambutan pertama yang Michelle terima, sebelum Kayanara mendengus cukup keras dan mendaratkan bokongnya ke atas sofa di ruang depan.
Kebetulan sekali ada gelas berisi air es di atas meja. Kayanara langsung menyambar gelas tersebut tanpa mau bersusah payah bertanya itu milik siapa. Air dingin ditenggak dengan rakus, sementara bongkahan es batunya berakhir dikunyah dengan sewot.
Saat Kayanara sedang emosi dan enggan menjawab pertanyaan, langkah paling tepat untuk diambil pertama kali adalah membiarkannya calming down, baru setelah itu menyediakan telinga untuk mendengarkan segala keluh kesahnya. Dengan sabar, tanpa sedikit pun kesan menghakimi. Tiga belas tahun berteman, Michelle sudah paham sekali akan hal itu.
Gemeletuk suara es batu yang dikunyah oleh Kayanara dia nikmati dengan senang hati. Sambil ikut duduk bertopang dagu menanti gelas di tangan perempuan itu kosong agar dia bisa mencari tahu apa gerangan yang membuatnya begitu kesal kali ini.
“Lo masih ingat cowok ngeselin yang nabrak gue di depan kafe pas mau ketemu sama Janu kemarin?” Menjadi kalimat pembuka setelah Kayanara meletakkan gelas kosong di atas meja. Seluruh rongga mulutnya sudah terasa dingin—bahkan nyaris kebas—tetapi, dia merasakan kepalanya masih terasa panas. Pertanda emosinya belum sepenuhnya turun.
“Iya, ingat.” Michelle menjawab dengan kepalanya yang mengangguk.
“Tadi di supermarket, gue ketemu—ralat, gue ditabrak lagi sama dia. Susu buat lo rusak satu, dan si bocah tengil nggak ada akhlak itu masih nggak mau minta maaf juga.” Kayanara bercerita dengan menggebu-gebu. Mengingat lagi wajah tengil Narendra yang benar-benar definisi bocah kematian tidak ada akhlak.
“Wah, kurang ajar banget itu bocah.” Michelle si kompor.
Kayanara menoleh cepat, antusiasnya untuk mengumpat naik lagi gara-gara Michelle yang menyulut lebih dulu. “Iya, kan? Emang nggak ada akhlak banget bocah itu! Gue sampai nggak menyangka kalau dia itu bontotnya Sukmajaya!”
“Iya, emang kurang aj—eh?!” Topang dagunya Michelle terhenti. Perempuan itu sontak terlonjak dari duduknya dengan kedua matanya yang membola.
Tunggu, apa katanya tadi? Bontotnya Sukmajaya? Maksudnya...
“Kay....” Ia melirih dengan suara dramatis.
Kayanara balik menatapnya, dan malah berakhir bingung karena reaksi Michelle yang tiba-tiba berubah. “Kenapa?” tanyanya curiga.
“Lo bilang apa tadi? Bontotnya Sukmajaya?”
Kayanara menganggukkan kepala, “Iya, gue juga baru tahu karena tadi ketemu Mahen."
Lenguhan panjang terdengar, disusul gerakan dramatis mengempaskan punggung ke sandaran sofa. “Belum apa-apa udah jelek aja dong image lo di matanya si bontot.” Tiba-tiba, Michelle menjadi lesu. Kalau begini, prosentase Kayanara untuk bisa jadian dengan Janu bisa-bisa turun drastis. Ah... tidak boleh begini! Biar bagaimanapun caranya, Kayanara dan Janu harus bersatu. Titik!
“Bukan itu masalahnya.” Kayanara berucap pelan. Oh, dia baru ingat kalau sedari dalam perjalanan pulang tadi, dia sibuk memikirkan bagaimana nasibnya setelah Janu tahu anak kesayangannya dia jewer sesuka hati.
Michelle menarik punggungnya secara perlahan, mencurahkan lebih banyak perhatian. “Maksudnya?”
Kayanara menghela napas rendah sebelum membuka mulutnya untuk menjelaskan. “Dari awal, gue juga nggak ada niat buat bangun image ibu peri baik hati, entah itu ke Janu ataupun ke anak-anaknya. Masalahnya....” Ia menjeda. Melirik khawatir ke arah Michelle yang masih menanti dengan raut wajah harap-harap cemas.
“Masalahnya?”
“Gue habis melakukan kekerasan fisik ke bocah kematian itu, dan kalau Janu tahu, gue pasti bakal habis sama dia. Entah dilaporin ke polisi, atau dia bakal bikin perhitungan yang impas atas apa yang udah gue lakuin ke anak kesayangannya.” Mendadak, Kayanara jadi lesu.
Sebagai seseorang yang cukup aktif mengikuti perkembangan tren dan berita yang beredar di internet, dia jelas tahu kalau Atma Janu Sukmajaya bukanlah seseorang yang bisa dia sepelekan begitu saja. Sekali bertindak, lelaki itu bisa saja membuat hidupnya tidak lagi kayak untuk dijalani.
Ya Tuhan.... harus bagaimana dia setelah ini?
“Kay,”
“Apa?” sahutnya lemas. Kepalanya menoleh pelan, raut wajahnya ditekuk dan bibirnya cemberut.
“Daripada takut nggak diterima jadi ibu tiri, lo lebih takut si Janu bikin perhitungan sama lo?”
Aduh, kenapa Michelle harus memperjelas lagi, sih? Kan makin membuat Kayanara lemas tak berdaya ketika menganggukkan kepala.
Bukannya bersimpati, Michelle malah menepuk dahinya sendiri. “Ya ampun, Kay, Kay. Nggak habis pikir gue sama pola pikir lo.”
“Lah? Pola pikir gue kenapa? Bener dong gue khawatir sama nasib gue karena udah menganiaya anak bontotnya Sukmajaya?”
“Ya enggak!” Michelle ngegas. Membuat Kayanara terlonjak ke belakang. “Janu bukan tipikal orang yang suka pakai kekuasaannya buat mengintimidasi orang lain. Jadi, daripada lo mikirnya jauh banget begitu, mending lo pikirin gimana caranya niat narik simpatinya si bontot!”
“Lah?” Kayanara terbengong-bengong. Terlebih, saat Michelle tahu-tahu berdiri dan menelepon Ko Daniel. Suaranya yang cempreng membahana, mengudara memenuhi seluruh ruangan di apartemennya.
“Salah gue di mana, anjir?!”
...🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼...
“Ayah tahu apa yang Abang lakuin? Abang malah nyuruh Naren minta maaf ke si nenek sihir, padahal si nenek sihir juga habis jewer telinga Naren sampai sakit dan merah. Orang-orang juga jadi lihatin Naren, bikin Naren malu!”
Di ruang keluarga yang senyap, Janu setia mendengarkan curahan hati si bungsu. Pulang dari supermarket tadi, anak itu kelihatan bad mood, bahkan kentara sekali menjaga jarak dengan Mahen. Itu adalah hal yang tidak normal, karena Naren bucin maksimal dengan Mahen. Bocah itu tidak akan tiba-tiba menjaga jarak tanpa alasan yang jelas.
Naren masih sibuk mengoceh, bercerita juga tentang pertemuan pertama anak itu dengan perempuan yang dipanggil ‘nenek sihir’ dengan emosi meledak-ledak.
Sementara fokus Janu mulai terbagi, satu sisi memperhatikan Mahen yang diam seribu bahasa sejak Naren memulai ocehannya beberapa menit sebelum ini. Ini juga tidak biasa. Karena kalau Naren sedang merepet seperti sekarang, Mahen biasanya akan jadi yang paling rempong mencari cara agar si bontot berhenti merajuk.
Diam-diam, Janu merogoh ponsel dari saku celana, mengetikkan pesan singkat, lalu dikirimkan kepada Mahen.
Kenapa, Bang? Kok tumben kamu diem aja?
Mahen tampak terhenyak ketika ponsel di genggamannya bergetar. Lalu tak lama kemudian, Janu melihat anak sulungnya itu mengetikkan balasan—yang lantas dia terima hanya beberapa detik berselang.
Kay.
Alis Janu naik satu. Kenapa tiba-tiba nama Kayanara disebut di sini?
Maksudnya?
Janu melirik Naren, anak itu masih mengoceh sambil mengunyah kentang goreng dan matanya fokus menatap video tutorial game dari layar televisi di depan mereka.
Perempuan yang lagi diomongin sama Naren itu Kayanara, PDKT-an Ayah.
Seketika membaca balasan itu, Janu membeku sesaat. Jemarinya terasa kaku ketika mengetikkan balasan seraya saling tatap dengan Mahen yang duduk di seberangnya.
Aduh, mampus! Balasnya.
Iya, Ayah, mampus.
Lantas mereka menghela napas panjang bersamaan, disusul teriakan Narendra yang protes karena merasa ocehannya sejak tadi tidak didengarkan.
“Ayah, Abang! Kalian dengerin nggak sih Naren ngomong dari tadi?!”
* Bersambung....*