Nadira Elvarani yakin hidup pahitnya akan berakhir setelah menerima lamaran Galendra, lelaki mapan yang memberinya harapan baru.
Tapi segalanya berubah ketika ia terlibat skandal dengan Rakha Mahendra—anak bos yang diam-diam menginginkannya—menghancurkan semua rencana indah itu.
Di antara cinta, obsesi, dan rahasia, Nadira harus memilih: hati atau masa depan yang sudah dirancang rapi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon itsclairbae, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12 — Jeda di Antara Rasa
Rakha mengikuti arah pandangan Nadira. Rahangnya mengeras begitu menyadari bahwa Nadira sedang menatap lelaki lain saat mereka masih berbicara.
“Kamu mulai nyaman dengan dia, dan berniat menjadikannya pengganti Galendra?” tuduh Rakha, suaranya terdengar getir.
Nadira spontan menatap Rakha, kaget dan heran dengan arah pikirannya. Dari mana datangnya prasangka itu? Ia sama sekali tidak pernah melihat Dimas sebagai siapa-siapa, selain rekan kerja dan orang yang akan menggantikan posisinya.
“Saya tidak akan mencari pengganti, sekalipun saya tidak jadi menikah dengan Galen,” ucap Nadira tegas. Kalimat itu terlontar begitu saja, tanpa jeda, seolah ingin membantah keras segala tuduhan yang baru saja dilontarkan Rakha.
Namun, ucapannya justru terdengar seperti pengakuan—bahwa Nadira mencintai Galendra begitu dalam, hingga tidak membayangkan menikah dengan lelaki lain jika pernikahan itu batal.
Rakha tertawa pelan, getir, lalu bangkit dari duduknya. Langkahnya mantap saat ia mendekat, berdiri di hadapan Nadira.
“Oh, gitu?” tanyanya, sinis. “Jadi kamu akhirnya mengakui kalau kamu hanya mau menikah dengan Galen?”
Nadira memejamkan mata. Ia tidak tahu harus berkata apa. Semua yang dikatakan Rakha tidak benar, tetapi ia bingung bagaimana harus menyangkalnya.
“Kenapa diam, hah?” tanya Rakha, menuntut Nadira untuk menjawab. Dalam hati, ia berharap Nadira menyangkal—bahwa ia tidak terlalu mencintai Galendra dan ada alasan lain di balik keinginannya untuk menikah dengan lelaki itu.
Nadira kembali menatap Rakha, kali ini tepat ke arah matanya.
“Kita bicarakan ini nanti, oke?” pintanya. Mereka tidak mungkin membahas hal pribadi saat ini. Nadira khawatir akan muncul gosip yang justru bisa merugikan Rakha.
“Sepulang dari sini, kita bicara,” lanjutnya sambil menyentuh lengan Rakha dengan lembut, berharap sentuhan itu bisa menenangkannya dan meredam emosinya.
"Jadi, benar?" Rakha melangkah mundur tanpa menanggapi perkataan Nadira. Ternyata, setelah semua rencana yang ia susun, Nadira tetap tidak pernah mau menoleh ke arahnya.
Ia bahkan sampai nekat melakukan hal yang seharusnya tidak pernah ia lakukan terhadap perempuan yang dicintainya. Namun, nyatanya semua itu sia-sia.
Nadira menggeleng, membantah tuduhan itu.
“Bukan, bukan seperti itu. Kamu tahu sendiri, undangan pernikahanku sudah disebar,” ucapnya akhirnya, menjelaskan alasan mengapa ia masih belum bisa mengambil keputusan.
Adapun soal dirinya yang enggan menikah dengan lelaki lain, itu bukan karena cintanya yang berlebihan pada Galendra, melainkan karena ia tidak yakin akan ada lelaki yang bersedia menikahinya setelah rencana pernikahan ini gagal. Rakha mungkin menawarkan hal itu, tetapi… apakah dirinya pantas untuk Rakha?
“Oke, pulang dari sini, buktikan kalau perkataanku tadi tidak benar.”
Setelah mengatakan itu, Rakha berbalik dan meninggalkan ruangan Nadira. Ia sempat melirik sekilas ke arah Dimas, namun tetap melanjutkan langkahnya menuju ruangannya tanpa berkata apa-apa.
Nadira hanya menatap kepergian Rakha, tanpa tahu mengapa hatinya terasa begitu sakit melihat lelaki itu pergi dalam keadaan seperti itu karena dirinya.
***
Setelah menyelesaikan seluruh pekerjaannya dan waktu pulang telah tiba, Rakha kembali ke ruangan Nadira untuk menagih janji yang telah diucapkan perempuan itu.
Namun, saat Rakha datang, Nadira masih sibuk dengan laptopnya. Bahkan, mungkin ia tidak menyadari kehadiran Rakha di sana.
“Sekarang sudah jam pulang,” tegur Rakha, berusaha menarik perhatian Nadira.
Nadira melirik Rakha sekilas, lalu kembali fokus pada laptopnya. “Sebentar, beri waktu sepuluh menit untuk menyelesaikan pekerjaan saya,” ucapnya sambil terus mengetik.
Rakha memberi waktu yang Nadira butuhkan. Namun, saat ia hendak duduk di kursi di depan Nadira, perempuan itu lebih dulu berkata, menghentikan langkahnya.
“Jangan di sini. Kita bertemu di luar,” ucap Nadira, tetap pada pendiriannya agar tidak menjadi bahan gosip di kantor.
Gosip tentang kejadian di lobi saja sudah cukup menyebar. Nadira merasa, mereka tidak perlu lagi memberi bahan baru bagi para penggosip.
Rakha refleks menoleh ke arah ruang Dimas. Lelaki itu masih di sana, seolah menguatkan prasangkanya bahwa ada sesuatu antara Nadira dan Dimas.
“Orang di kantor ini bukan cuma Dimas. Yang paling menakutkan bukan dia, tapi mulut-mulut yang melihat kita jalan bersama setelah kejadian di lobi,” ucap Nadira, menyadari arah pandangan Rakha.
Matanya masih tertuju pada layar laptop, tetapi dari ujung matanya, ia bisa menangkap dengan jelas ke mana Rakha sedang melihat.
Rakha mendengus pelan, lalu kembali menatap Nadira. “Baiklah, saya tunggu di mobil. Mobil saya,” ucapnya, menegaskan di mana ia akan menunggu, kemudian berbalik dan pergi begitu saja dari ruangan Nadira.
Dimas diam-diam memperhatikan gerak-gerik mereka. Meskipun Nadira sempat menjelaskan bahwa kedekatannya dengan Rakha hanya sebatas hubungan antara karyawan dan anak pemilik perusahaan, tetapi sebagai seorang lelaki, ia tahu ada sesuatu di antara mereka.
“Menarik juga,” gumamnya, dengan senyum miring yang terukir di bibirnya.
Entah apa yang dimaksud menarik—apakah hubungan antara Nadira dan Rakha, atau mungkin ada hal lain yang menurutnya layak diperhatikan.
***
Nadira masuk ke dalam mobil Rakha. Ia sudah memastikan tidak ada seorang pun yang melihat mereka. Namun ternyata, Dimas melihat segalanya. Senyuman kembali terukir di wajah lelaki itu saat menyaksikan kejadian tersebut.
“Pernikahannya masih dua minggu lagi. Kurasa, masih ada waktu,” ucap Dimas sebelum berbalik pergi.
Langkahnya tenang, seolah menyimpan rencana yang tidak bisa dibilang sederhana.
Di dalam mobil, Rakha langsung melajukan kendaraannya setelah memastikan Nadira telah mengenakan sabuk pengaman. Ia tahu Nadira tidak akan mau diajak bicara di area perusahaan, jadi tanpa banyak kata, ia segera melaju menjauh.
Setelah cukup jauh dari kantor, Rakha menepikan mobilnya di bahu jalan. Ia tidak sanggup menunggu hingga sampai ke apartemen Nadira atau tempat lain yang lebih jauh dari sana.
"Kamu sangat mencintai Galendra, atau... sudah mulai menyukai Dimas?" tanya Rakha, langsung ke pokok persoalan yang mengganggunya.
Nadira menoleh, menatap wajah Rakha dari samping. Lelaki itu masih memandang lurus ke depan, tak sedikit pun menoleh padanya.
"Aku tidak tahu," jawab Nadira pelan.
Rakha spontan menoleh, matanya menatap Nadira lekat-lekat. Mereka berada di sini bukan untuk mendengar jawaban setengah hati, apalagi ketidaktahuan yang tidak memberi kejelasan.
"Tidak tahu?" ulang Rakha, suaranya mengeras, penuh ketidakpercayaan. Ia sudah menunggu lama—terlalu lama—hingga pekerjaannya pun terbengkalai karena perempuan ini. Dan hanya itu jawabannya?
"Aku tidak tahu apa itu cinta," ucap Nadira, mencoba menjelaskan.
"Aku tidak tahu apakah cinta itu berarti ingin selalu ada di sisinya, atau merasa sakit saat melihat dia bersama perempuan lain," lanjutnya lirih.
Rakha terdiam. Kini ia mengerti arah pembicaraan ini. Nadira tidak yakin—bukan hanya soal perasaannya pada Galendra, tapi juga pada makna cinta itu sendiri.