Karena sebidang tanah, Emilia harus berurusan dengan pemilik salah satu peternakan terbesar di Oxfordshire, yaitu Hardin Rogers. Dia rela melakukan apa pun, agar ibu mertuanya dapat mempertahankan tanah tersebut dari incaran Hardin.
Hardin yang merupakan pengusaha cerdas, menawarkan kesepakatan kepada Emilia, setelah mengetahui sisi kelam wanita itu. Hardin mengambil kesempatan agar bisa menguasai keadaan.
Kesepakatan seperti apakah yang Hardin tawarkan? Apakah itu akan membuat Emilia luluh dan mengalah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Komalasari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 34 : Berhak Bahagia
Ethan menatap kikuk. Terlebih, saat melihat apa yang ada dalam genggaman Hardin. Sekilas saja bisa dipastikan benda itu merupakan pakaian dalam wanita, meskipun langsung disembunyikan Hardin ke dalam saku celana jeans.
“Maaf. Kupikir tidak ada orang di sini,” ucap Ethan tak enak.
“Tidak apa-apa, Tuan Bailey. Lagi pula, aku akan pulang sekarang.” Emilia menatap sekilas kepada Hardin, sebelum berlalu dari hadapan pria itu. Dia berjalan melewati Ethan, yang berdiri di dekat pintu.
Malu. Itulah yang Emilia rasakan. Citra baiknya pasti akan tercoreng di mata Ethan, setelah kedapatan berduaan dengan Hardin dalam situasi seperti tadi.
“Astaga. Bodoh! Bodoh! Bodoh!” gerutu Emilia pelan, sambil berjalan cepat menuju tempat memarkirkan sepeda. Dia bergegas menaiki kendaraan roda dua itu, kemudian meninggalkan rumah peternakan Hardin Rogers.
Sementara itu, Hardin masih di ruang kerja bersama Ethan. Sang pemilik Rogers Farm tersebut memperlihatkan sikap tenang, seakan tak peduli dengan apa yang ajudannya pikirkan.
“Maaf, Tuan. Kupikir, Anda sudah berangkat ke kota,” ucap Ethan, membuka perbincangan demi mengurangi rasa kikuk.
“Tadinya, aku akan langsung berangkat setelah pertemuan selesai. Akan tetapi ….” Hardin berdehem pelan. Dia tahu, Ethan pasti berpikir macam-macam tentangnya dan Emilia.
Namun, Hardin tak mau ambil pusing dan tidak ingin terlihat bodoh di mata sang ajudan. “Ada sedikit pembahasan antara aku dengan Emilia. Aku membujuknya agar bersedia jadi orang pertama sebagai penyewa toko,” jelas Hardin tenang.
“Lalu, bagaimana? Apa dia setuju?”
“Kau tahu seperti apa wanita itu. Ketika masalah tanah telah selesai, aku kembali berurusan dengannya tentang sewa toko. Dia benar-benar keras kepala.” Hardin menggeleng tak mengerti.
Ethan terdiam sejenak, sebelum mengatakan sesuatu. “Bukankah suaminya sudah kembali?”
Hardin menatap sang ajudan, lalu menaikkan sebelah alis.
“Siapa tahu, suami Emilia bisa membantu Anda, Tuan. Apalagi, Anda lah yang membawanya pulang dari Yorkshire,” cetus Ethan.
Seketika, Hardin tersenyum penuh percaya diri. Saran dari Ethan cukup bagus, meskipun tak tahu seberapa besar kemungkinan akan keberhasilannya. Namun, itu perlu dipertimbangkan.
Hardin menghampiri Ethan, lalu berdiri di hadapan pria dengan postur hampir sama dengannya. “Itulah kenapa, kau kujadikan asisten pribadi,” ucap pria bermata abu-abu itu, seraya menepuk pelan pundak sang ajudan.
“Aku sangat terkesan, Tuan,” balas Ethan, diiringi senyum bangga. Tak berselang lama, senyumannya memudar, berganti ekspresi cukup serius. “Ada seorang wanita yang menghubungi kemari.”
“Siapa?” tanya Hardin, yang sudah bersiap pergi.
“Antonia Ferguson dari Yorkshire,” jawab Ethan. Membuat Hardin seketika menghentikan geraknya, lalu menoleh. “Dia adalah manager dari Mama Qucha.”
Hardin mengangguk samar. “Ya. Dia yang menerimaku sewaktu berkunjung ke sana. Apakah Nona Ferguson mengatakan sesuatu?”
“Dia ingin berbicara langsung dengan Anda, Tuan.”
Hardin mengembuskan napas berat dan dalam. “Nanti saja. Aku harus ke kota sekarang.” Dia melihat arloji di pergelangan kiri. “Aku sudah terlambat 20 menit,” gumamnya.
“Apakah perlu kutemani, Tuan?” tawar Ethan.
“Tidak usah. Kau tetap di sini. Lagi pula, aku hanya akan mengurus hal kecil,” tolak Hardin, kemudian berlalu dari hadapan sang ajudan.
“Bagaimana jika aku yang menemui suami Emilia Olsen?” tawar Ethan lagi.
Hardin yang sudah berada di ambang pintu, langsung tertegun. Dia menoleh, lalu mengangguk setuju. Tanpa mengatakan apa-apa, pria tampan berkemeja putih itu melanjutkan langkah keluar dari ruang kerja.
Setelah melewati jalan setapak dengan rerumputan di kiri dan kanan, Emilia tiba di halaman rumah baru pemberian Hardin. Dia langsung memarkirkan sepeda.
“Ibu!” seru Blossom nyaring, menyambut riang kepulangan sang ibunda.
“Hai, Bee. Bagaimana?” balas Emilia, yang segera menurunkan tubuh ketika gadis kecil itu menghambur ke arahnya, kemudian memeluk manja.
“Kenapa kau lama sekali, Bu?” tanya Blossom bernada protes.
“Maaf. Tadi, ada urusan mendadak.” Emilia berdiri, lalu menuntun Blossom naik ke beranda depan. “Apakah ada yang seru hari ini?” tanyanya.
“Iya, Bu. Paman bertongkat mengajariku menggambar sapi,” sahut Blossom riang.
“Wah! Kedengarannya sangat bagus. Maukah kau memperlihatkan hasil gambarmu padaku, Bee?”
“Tentu, Bu. Aku sudah mewarnai sapi, yang kuberi nama Oscar. "
Emilia tertegun, lalu menatap keheranan. “Kenapa Oscar?” tanyanya penasaran.
“Agar dia bisa menikah dengan Stacey,” jawab Blossom polos, tetapi berhasil membuat Emilia langsung tertawa.
“Kenapa, Bu?” Kali ini, Blossom lah yang menatap keheranan.
“Aku tidak mengerti, kenapa kau ingin menikahkan sapi dengan cacing tanah?"
“Memangnya kenapa? Itu sama seperti kau dengan Paman Eden,” celetuk Blossom, yang membuat wajah Emilia seketika jadi tegang.
“Paman Eden siapa, Bee?” tanya Meredith, yang ternyata mendengar perbincangan ibu dan anak itu.
“Paman yang ___”
“Tidak, Bu. Bukan siapa-siapa. Bee selalu bicara semaunya,” sela Emilia, seraya menoleh kepada sang ibu mertua. “Ayo, Bee. Aku membawa susu murni dari Rogers Farm. Apa kau mau?”
“Kenapa aku harus minum susu sekarang, Bu?” Blossom menatap aneh.
“Um ... kenapa, ya?” gumam Emilia, seakan tak menyadari ucapannya tadi.
“Granny mengatakan waktu terbaik minum susu adalah pagi dan malam hari. Bukan siang hari, Bu.”
Emilia menggaruk kening yang tak gatal. Dia merasa konyol akibat kurang berkonsentrasi. “Ini semua gara-gara Hardin Rogers!” gerutunya dalam hati.
“Apakah Rogers Farm memproduksi susu murni juga?” tanya Grayson. Pria itu muncul dari kamar.
Emilia merasa tertolong dengan pertanyaan dari sang suami. Itu bisa dijadikan sebagai pengalihan perhatian Meredith, yang menatapnya dengan sorot penuh selidik.
“Ya. Rogers Farm memproduksi susu murni, daging sapi segar dan kalengan. Mereka juga memiliki teknologi pengolahan kotoran sapi yang sangat modern. Itu semua karena Tuan Rogers sangat memahami ….” Emilia menjeda kalimatnya karena merasa terlalu banyak bicara.
“Rogers Farm banyak berubah di tangan pemilik yang baru,” jelas Emilia lagi, dengan nada tidak seantusias tadi. Dia dapat menangkap tatapan aneh yang dilayangkan Meredith.
“Sudah seharusnya seperti itu. Sepatutnya, kita mengikuti perkembangan zaman. Pemikiran maju akan menghasilkan banyak terobosan baru yang inovatif. Lagi pula, Tuan Rogers masih muda. Dia juga terlihat sangat cerdas.”
Emilia tidak berani menanggapi secara berlebihan. Dia hanya tersenyum, diiringi anggukan setuju.
“Seandainya kakiku senormal dulu, aku pasti akan meminta pekerjaan di sana,” ucap Grayson.
“Aku masih sanggup mencari uang,” ucap Emilia pelan.
“Millie wanita hebat. Selama ini, dialah yang menjadi tulang punggung, menghidupiku dan Blossom.” Meredith tersenyum lembut, seraya mendekat kepada Emilia. Ditatapnya sang menantu, yang terlihat salah tingkah. “Kau terlalu memikirkan orang lain sehingga lupa memperhatikan diri sendiri.”
“Aku senang melakukannya, Bu,” balas Emilia pelan.
“Ya. Namun, kau juga berhak bahagia,” ucap Meredith, dengan nada dan tatapan tak dapat diartikan.