NovelToon NovelToon
Rahasia Di Balik Kandungan

Rahasia Di Balik Kandungan

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Hamil di luar nikah / Cinta Terlarang / Pengantin Pengganti / Romansa
Popularitas:1.8k
Nilai: 5
Nama Author: Leel K

Semua orang melihat Claire Hayes sebagai wanita yang mengandung anak mendiang Benjamin Silvan. Namun, di balik mata hijaunya yang menyimpan kesedihan, tersembunyi obsesi bertahun-tahun pada sang adik, Aaron. Pernikahan terpaksa ini adalah bagian dari rencana rumitnya. Tapi, rahasia terbesar Claire bukanlah cintanya yang terlarang, melainkan kebenaran tentang ayah dari bayi yang dikandungnya—sebuah bom waktu yang siap menghancurkan segalanya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Leel K, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 21. Aku Harus Pergi

Waktu berlalu dengan cepat. Claire tidak menyadarinya sampai perutnya semakin membesar, dan gerakan kecil di dalamnya kini terasa lebih sering, lebih kuat. Usia kandungannya sudah tujuh setengah bulan, dan bentuk tubuhnya kini benar-benar berbeda.

Selama periode itu, penthouse telah bertransformasi, menjadi rumah bagi rutinitas yang aneh namun mengikat. Sinar matahari pagi menyelinap masuk melalui jendela penthouse, menyinari debu yang menari di udara. Suasana terasa lebih ringan, lebih hidup, sejak Aaron memutuskan untuk menjadikan ruang keluarga sebagai kantor sementaranya. Kehadirannya yang konstan, suara ketikan keyboard yang menenangkan, atau sesekali gumaman seriusnya di telepon, telah menjadi melodi baru dalam hidup Claire.

Pagi itu, Claire terbangun dengan perasaan nyaman, ada seulas senyum yang begitu manis diwajahnya ketika ia baru saja membuka matanya. Ia menuruni tangga menuju ruang makan dan mendapati Aaron sudah di sana, seperti biasa, dengan koran dan secangkir kopi hitam tanpa gula.

Aaron tak lagi sedingin dulu; itu adalah fakta yang sudah Claire terima sepenuhnya. Tatapan matanya kini memiliki kelembutan samar, dan ia tak lagi mengabaikan Claire. Perhatian-perhatian kecil Aaron, yang kini terasa lebih konsisten, telah menjadi bagian tak terpisahkan dari harinya.

"Pagi," sapa Claire, duduk di kursinya.

"Pagi," jawab Aaron, menurunkan korannya. "Bagaimana tidurmu?"

"Cukup nyenyak." Claire tersenyum, merasakan pipinya sedikit menghangat. Aaron memperhatikan. Itu adalah hal yang paling penting baginya saat ini.

Beberapa jam kemudian, di ruang keluarga, Aaron tenggelam dalam dokumen-dokumennya. Claire duduk di sofa yang sama, membaca sebuah novel. Sesekali, ia melirik Aaron, mengamati bagaimana pria itu mengernyitkan dahi saat konsentrasi, atau bagaimana ia memutar penanya di antara jari-jari saat berpikir. Aaron adalah teka-teki yang perlahan mulai terurai, dan setiap petunjuk kecil terasa seperti kemenangan.

Claire merasa sedikit bosan. Ia ingin lebih dari sekadar berada di ruangan yang sama. Ia ingin interaksi. Dengan keberanian yang tumbuh dari kebahagiaan yang meluap, Claire bergeser lebih dekat ke arah Aaron.

"Aaron?" panggilnya pelan.

Aaron mengangkat kepalanya, menatapnya dengan tatapan bertanya. "Ya, Nona Hayes?"

Claire sedikit mengerucutkan bibirnya. Ia sudah lama ingin Aaron memanggilnya dengan nama depan, tanpa embel-embel itu. Ditambah lagi, bukankah dia sudah menjadi seorang wanita bersuami? Kenapa masih dipanggil Nona? "Aku... aku bosan," katanya, dengan nada yang sedikit merajuk. Itu adalah nada yang belum pernah ia gunakan sebelumnya pada Aaron.

Aaron menatapnya, alisnya sedikit terangkat. "Kau ingin melakukan sesuatu?"

"Mungkin... kau bisa menemaniku menonton film?" Claire menawarkan, suaranya sedikit ragu. Ini adalah permintaan yang berani.

Aaron tampak mempertimbangkan. Ia melirik jam tangannya, lalu kembali menatap Claire. "Aku harus menyelesaikan laporan ini."

Hati Claire mencelos. Kekecewaan itu terasa seperti pukulan. Ia merasakan neraka itu lagi, perasaan diabaikan yang sudah lama ia coba kubur. Wajahnya menunjukkan kekecewaan.

Melihat itu, Aaron menghela napas, "Baiklah. Lima belas menit. Aku akan selesaikan ini dulu," kata Aaron.

Senyum merekah di wajah Claire. "Terima kasih, Aaron!"

Lima belas menit kemudian, Aaron memang meletakkan laptopnya. Ia mengambil remote TV dan bertanya, "Apa yang ingin kau tonton?"

Mereka menghabiskan hampir dua jam menonton sebuah film dokumenter sejarah yang Aaron pilih, dengan Claire sesekali menyandarkan kepalanya di bahu Aaron, yang dibiarkan oleh pria itu.

Itu adalah kemenangan kecil. Claire merasakan euforia yang begitu besar. Ia tahu Aaron menuruti kemauannya, bukan karena Aaron sangat ingin menonton film, melainkan karena ia tidak bisa menolak.

...****************...

Beberapa hari berikutnya, pola itu berlanjut. Claire semakin berani meminta perhatian. Ia akan mengeluh kram perut hanya agar Aaron menyuruh Susan membawakan teh herbal

"Susan, bisakah kau ambilkan teh herbal yang kemarin untuk Nona Hayes?" pinta Aaron, matanya menatap Claire yang meringis samar.

"Tidak perlu, Aaron. Hanya sedikit," jawab Claire, namun dengan nada yang menunjukkan ia berharap Aaron bersikeras. Dan Aaron akan bersikeras.

"Tetap saja. Kau perlu itu," kekehnya, nada suaranya tegas, menggambarkan kekhawatirannya.

Ia akan meminta Aaron mengambilkan buku yang berada di rak tinggi, atau memintanya untuk mendengarkan cerita tidak penting tentang harinya.

"Aaron, kau tahu, tadi Susan bercerita tentang bunga-bunga di taman." Claire akan memulai, dengan nada antusias, padahal Aaron sedang membaca laporan penting.

Aaron akan mengangkat kepalanya, menatap Claire. "Oh ya? Menarik." Nada suaranya datar, namun ia mendengarkan. Dan itu sudah cukup bagi Claire. Aaron, yang masih canggung, namun tidak pernah menolak.

Hingga suatu siang, setelah makan siang, Aaron mengenakan jasnya. Claire menatapnya, jantungnya langsung berdesir.

"Kau mau ke mana?" tanya Claire, suaranya sedikit tercekat.

Aaron menatapnya. "Ada pertemuan penting di kantor. Aku tidak bisa menyelesaikannya dari sini."

Kekecewaan itu membanjiri Claire, begitu kuat hingga ia hampir tidak bisa bernapas. Selimut hangat yang melingkupinya sepanjang hari-hari terakhir ini seolah tiba-tiba dicabut. Ia tahu Aaron akan pergi, dan ia akan kembali sendirian ditempat ini. Ingatan akan neraka Benjamin, saat ia terpaksa menempel pada pria itu demi tujuannya, terlintas sekilas.

Tidak, tidak bisa. Kau tidak boleh meninggalkanku!

Ia bangkit dari sofa, bergerak cepat mendekati Aaron, meraih lengan pria itu. "Apa kau harus pergi?" Suaranya berubah menjadi lebih rendah, sedikit merajuk. "Apa kau tidak bisa menyelesaikannya dari sini saja? Aku... aku tidak ingin kau pergi." Claire menatap Aaron dengan mata berkaca-kaca, ekspresi kesedihan yang tulus terukir di wajahnya. Ia tahu ia sedang memanipulasi, namun pada saat yang sama, rasa takut akan ditinggalkan itu begitu nyata.

Aaron melihat Claire, perutnya yang sudah membesar menjadi pengingat yang jelas tentang tanggung jawabnya. Ia terperangkap. Ia melihat kesedihan di mata Claire, melihat bagaimana wanita itu menggenggam lengannya seolah hidupnya bergantung pada Aaron. Hati nuraninya bergejolak. Ia tahu ia harus pergi, pekerjaan penting menunggunya. Tapi, Claire... dan bayi itu.

Aaron menghela napas, panjang dan berat. "Aku... aku harus pergi, Nona Hayes. Ini penting."

Air mata mulai mengalir di pipi Claire. Ia tidak mengeluarkan suara, hanya menatap Aaron dengan mata penuh permohonan. Perutnya terasa melilit lagi, kali ini bukan karena kram, melainkan karena kecemasan. Ia mempererat genggamannya di lengan Aaron, seolah menahan pria itu dengan kekuatan tubuhnya yang rapuh.

Aaron melihat air mata itu, melihat bagaimana bahu Claire sedikit bergetar. Ia terdiam. Pikiran tentang bayi itu, tentang bagaimana David memintanya menjaga Claire, tentang tanggung jawab yang kini ada di pundaknya, memenuhi benaknya. Ia tidak bisa melawan.

"Baiklah." Aaron akhirnya berkata, suaranya sedikit serak. Ia memejamkan mata sesaat, seolah menenangkan diri, lalu membuka matanya. "Aku akan membatalkan pertemuan ini. Aku akan menyelesaikannya dari rumah."

Napas Claire tercekat. Senyum lebar, yang kini tak lagi mengandung kepura-puraan, langsung merekah di bibirnya. Air mata kebahagiaan menggantikan air mata kesedihan. Ia melepaskan lengan Aaron, lalu tiba-tiba memeluk pinggang pria itu, menyandarkan kepalanya di dadanya.

Aaron menegang sesaat, namun kali ini, ia tidak mendorong Claire menjauh. Ia membiarkan wanita itu memeluknya. Merasakan detak jantung Claire yang cepat, dan merasakan bagaimana wanita itu menghirup aromanya dalam-dalam. Canggung, ya, tapi ada kehangatan yang aneh.

Claire mendongak, matanya yang sembap kini bersinar. "Terima kasih, Aaron," bisiknya, suaranya penuh kelegaan dan kebahagiaan.

Aaron hanya mengangguk, masih dengan ekspresi yang sulit diartikan.

Claire menarik Aaron kembali ke sofa. Aaron, dengan patuh, duduk di sampingnya. Claire langsung menempel padanya, menyandarkan kepalanya di bahu Aaron, memeluk lengan pria itu erat-erat. Ia mengusap pipinya di jas Aaron, menghirup aroma aftershave yang ia hafal dari masa SMA. Aroma yang memabukkan, yang telah mengikatnya pada pria ini.

Aaron tidak bergerak, hanya membiarkan Claire menempel padanya sambil membuka laptopnya lagi. Claire merasakan kebahagiaan yang meluap-luap. Dia menurutiku. Dia benar-benar peduli. Aku bisa membuatnya tetap di sini bersamaku. Ini adalah kemenangan besar. Ia berhasil.

1
Ezy Aje
lanjur
Aura Cantika
Kepalang suka deh!
Leel K: Aaah... makasih 🤗
total 1 replies
Coke Bunny🎀
Cerita yang bikin baper, deh!
ナディン(nadin)
Nggak bisa move on.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!