Arif Pradipta, begitu Emak memberiku nama ketika aku terlahir ke dunia. Hidup ku baik-baik saja selama ini, sebelum akhirnya rumah kosong di samping rumah ku di beli dan di huni orang asing yang kini menjadi tetangga baruku.
kedatangan tetangga baru itu menodai pikiran perjakaku yang masih suci. Bisa-bisanya istri tetangga itu begitu mempesona dan membuatku mabuk kepayang.
Bagaimana tidak, jika kalian berusia sepertiku, mungkin hormon nafsu yang tidak bisa terbendung akan di keluarkan paksa melalui jari jemari sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zhy-Chan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
¹² Jamu Kuat?
Pasalnya, kamar ku memang biasa seberantakan ini. Sebuah sarung yang lupa belum ku lipat seusai salat subuh tadi masih teronggok di atas sajadah.
Beberapa baju setengah kotor yang baru ku pakai sekali tergantung di gantungan belakang pintu. Oh astaga, masih ada kain segi tiga yang tergantung di sana. Tuhan, semoga Mbak Rifani gak melihatnya. Malu banget rasanya.
Aku memang seberantakan ini. Bukan karena malas, cuma belum menemukan perempuan yang mau di ajak berbagi kamar dan membantu membereskan kamar ini saja. Ahaii.
Ingin ku tarik tangan Mbak Rifani segera keluar dari ruangan berantakan ini, tapi keadaan tubuhnya belum memungkinkan.
Emak lama banget ngambilin makanannya. Jika berlama-lama berada di satu kamar yang sama dengan Mbak Rifani, aku takut gak bisa menahan gejolak yang ada di hati. Takut kalau aku lepas kendali dan merealisasikan mimpiku malam itu.
Aku segera bangkit dan meninggalkan Mbak Rifani di kamarku sendirian. Bodo amatlah, jika perempuan itu melihat benda keramat ku. Dia seorang istri, pasti sudah sering melihat dan mengelus-elus yang begituan. Njir, pikiran ku jadi traveling ke mana-mana 'kan.
"Kok, Neng Rifani di tinggal sendirian? Nanti kalo dia kenapa-napa lagi, gimana?" tanya Emak sewot, pas kami berpapasan di ruang tengah.
"Ehe... lagi kebelet pipis, Mak."
Ku garuk tengkuk yang gak gatal. Aku bertolak ke kamar mandi. Berbeda dengan rumah Mbak Rifani yang setiap kamar punya kamar mandi sendiri-sendiri, di rumah Emak ini hanya ada satu, berada di ujung belakang.
Bergegas aku masuk ke ruangan lembab itu. Selain untuk membuang air seni, aku juga mau membasuh wajah, membilas otak biar waras dan gak mikir yang macem-macem pada kesempitan yang ada.
Sambil menunggu Mbak Rifani pulih, aku memilih menonton televisi di ruang tengah. Gak mungkin kembali ngojek. Di sana pun, pasti pikiran ku gak akan tenang. Selalu memikirkan Mbak Rifani di perjalanan, 'kan malah berbahaya bagi pengguna jalan lainnya.
Suara deheman seseorang membangunkan ku. Yaelah, malah aku yang ketiduran di depan televisi.
...🌸🌸🌸...
POV : Rifani
Aku berpamitan pada suami untuk tidur lebih dulu, karena memang sudah sangat mengantuk. Kelopak mataku seperti tidak bisa di ajak kompromi, sepet banget.
Ku biarkan Mas Nata, Angga, Arif, dan rekan kerja Mas Nata menikmati pesta malam ini. Pesta kecil-kecilan merayakan kenaikan jabatan suamiku menjadi seorang sekretaris di sebuah perusahaan yang selama ini menjadi tempatnya bekerja.
Aku terbangun ketika belaian halus mendarat pada kulitku. Namun, aku tak bisa melihat apapun, lampu di ruangan ini mati, sama sekali tidak ada pencahayaan kecuali semburat sinar rembulan yang mengintip lewat pori-pori kain kelambu pada jendela.
Terasa sedikit aneh memang, tapi bukan masalah besar. Mungkin karena sedang ada beberapa tamu yang menginap di rumah kami, jadi suamiku sengaja menekan tombol off pada saklar lampu kamar. Agar aktivitas kami tidak di ketahui orang lain.
Aku tak bisa melihat wajahnya, tapi sentuhannya malam ini sangat luar biasa, dan itu membuatku bahagia. Aku merasakan kembali, semangat Mas Nata yang dulu. Dalam keadaan gelap, seperti biasa, aku melakukan beberapa ritual, agar benih yang Mas Nata taburkan padaku segera membuahkan hasil.
Aku berbaring telentang dengan posisi kepala di bawah dan kedua kaki ku angkat ke atas, menempel dinding, agar cairan bibit bayi memiliki kesempatan yang lebih baik untuk mencapai sel telur. Tidak lupa, ku taruh ganjalan bantal pada pinggul agar cairan cinta itu dapat terus masuk ke rahim.
Mungkin karena saking lelahnya, aku sampai ketiduran lagi dengan posisi seperti ini. Lamat-lamat aku mendengar Mas Nata pamit keluar kamar sebentar.
"Yang, saya keluar sebentar ya, menengok teman-teman, ada yang mereka butuhkan atau tidak."
Aku hanya membalas dengan deheman. Entah berapa lama Mas Nata berada di luar, biar dia urus sendiri keperluan teman kantornya. Aku sudah tidak punya tenaga untuk membantunya.
Mungkinkah sebelum melakukannya tadi, Mas Nata minum jamu kuat? Tenaganya kembali menjadi prima hingga membuatku kewalahan melayani. Whatever, aku bahagia malam ini.
"Sudah, kakinya di turunin. Jangan lama-lama di angkatnya, nanti capek," ujar Mas Nata setelah beberapa menit waktu berlalu.
Dan aku belum menunjukkan tanda-tanda mengakhiri aktivitasku satu itu. Rupanya aku tadi ketiduran dalam posisi kaki yang masih terangkat menempel tembok. Aku pun menurut.
Ku tarik kaki dari dinding lalu ku selonjorkan, sejajar dengan kaki berbulu lebat di samping ku.
Lampu kamar sudah kembali menyala. Mas Nata merengkuhku dalam pelukannya hingga aku kembali terlelap.
Pagi hari setelah mandi keramas, aku keluar kamar. Sepi, pintu-pintu kamar masih tertutup rapat. Sepertinya belum ada yang bangun. Aku pun bertolak ke ruang makan, membereskan meja yang berantakan seperti kapal pecah.
Di sela-sela membersihkan meja, aku mendengar langkah kaki yang mendekat. Aku menoleh, oh rupanya Arif. Bocil yang seumuran dengan Angga.
Hubungan kami bisa di katakan dekat. Aku yang sudah menganggapnya seperti adik sendiri, tidak jarang berbagi cerita padanya.
Dia adalah pemuda baik yang bisa di percaya. Apapun yang ku ceritakan padanya, tidak pernah bocor ke mana-mana.
"Sudah bangun, Rif?" tanyaku berbasa-basi.
"Ah, i-iya Mbak. Aku mau pulang," jawab Arif. Kalimatnya terdengar canggung.
Ada apa dengan dia? Apa dia malu berada di hadapan ku, sementara belum mandi dan gosok gigi? Tapi, bocil itu sudah tampak segar seperti baru saja mandi.
"Ya sudah, biar saya bukakan pintu ruang tamunya."
Setelah ngobrol-ngobrol sebentar, tetanggaku itu berpamitan pulang. Aku kembali membereskan meja Makan. Hingga, semua pekerjaan ku selesai, gak ada tanda-tanda pintu kamar mereka di buka.
Sepertinya mereka semalam mabuk berat, hingga belum bisa membuka mata. Padahal matahari sudah merangkak naik, hendak menemani manusia menjalankan aktivitasnya.
Entah, semalam suamiku dan rekan kantor nya terjaga sampai jam berapa. Ketika Mas Nata memberiku nafkah semalam pun, aku sudah tidak tahu jarum jam menunjukkan pukul berapa.
Karena tidak tahu apa yang harus aku lakukan sendirian, akhirnya aku kembali ke kamar. Hendak menghampiri suamiku yang masih bergelung di bawah selimut. Sesampainya di kamar, ranjang ku kosong. Tertinggal selimut yang berserakan di atasnya.
Melihat selimut tersebut, membuatku senyum-senyum sendiri. Aku teringat aktivitasku semalam bersama Mas Nata.
Pasalnya, akhir-akhir ini, lebih tepatnya dua bulan terakhir ini, aku merasa tidak di cintai suami lagi seperti dulu. Entah hanya perasaanku atau apa, dia berubah, tidak seaktif dulu, tidak lagi menginginkanku.