"Lebih baik, kau mati saja!"
Ucapan Bram membuat Cassandra membeku. Dia tidak menyangka sang suami dapat mengeluarkan pernyataan yang menyakiti hatinya. Memang kesalahannya memaksakan kehendak dalam perjodohan mereka hingga keduanya terjebak dalam pernikahan ini. Akan tetapi, dia pikir dapat meraih cinta Bramastya.
Namun, semua hanya khayalan dari Cassandra Bram tidak pernah menginginkannya, dia hanya menyukai Raina.
Hingga, keinginan Bram menjadi kenyataan. Cassandra mengalami kecelakaan hingga dinyatakan meninggal dunia.
"Tidak! Kalian bohong! Dia tidak mungkin mati!"
Apakah yang terjadi selanjutnya? Akankah Bram mendapatkan kesempatan kedua?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Yune, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
06. Permintaan
"Aku hari ini sudah pulang ke rumah. Bisakah kamu menjengukku?"
Permintaan Raina ketika Bram mengangkat panggilannya membuat pria itu tidak bisa menolaknya. Bukan dia ingin merajut kembali hubungan mereka, atau meneruskan apa yang telah dia lakukan di belakang Cassie.
Bram ingin meluruskan sesuatu. Dia ingin mengakhiri semua kegilaan yang pernah dilakukannya. Dia ingin berhenti membuat Cassie sakit dan terluka karenanya.
Udara sore tampak mendung, seolah tahu bahwa hati Bramastya dipenuhi badai penyesalan. Mobil yang ia kendarai melaju perlahan menuju sebuah rumah berpagar putih di sudut komplek perumahan. Di sinilah Raina tinggal, setelah pulang dari rumah sakit tempat ia dan Cassie pernah dirawat dalam waktu hampir bersamaan.
Bram menggenggam erat kemudi, pikirannya kembali pada kejadian beberapa waktu lalu—saat Cassie hanya mendorong Raina pelan karena tak kuat menahan emosi. Tapi Raina, yang terlalu lihai memainkan perasaan, langsung jatuh seolah didorong dengan kasar, lalu mengadu pada Bram dengan air mata sebagai senjatanya.
Saat itu, Bram tak berpikir panjang. Amarah dan ego menguasai dirinya. Teringat kalimat yang tidak akan dapat dia tarik lagi hingga saat ini.
"Lebih baik, kau mati saja!"
Ucapan itu masih menggema di benaknya, menghantui setiap detik hidupnya. Ucapan yang telah menghancurkan seorang perempuan yang hanya ingin dicintai oleh suaminya sendiri. Dan sekarang, Cassie terbaring dalam keadaan rapuh, kehilangan bayi mereka—calon buah cinta yang tak sempat merasakan dunia.
Entah dia harus bersyukur atau tidak dengan hilangnya ingatan Cassie padanya. Akan tetapi, dia harus berusaha untuk membuat Cassie kembali padanya. Tatapan asing itu cukup membuatnya terpaku. Ada perasaan tidak rela Cassie tidak mengenalinya sama sekali.
Bram keluar dari mobil dan menatap rumah Raina. Ia mengetuk pintu, beberapa kali, sebelum suara langkah kaki terdengar dari dalam.
Pintu terbuka perlahan. Raina berdiri di ambang pintu, masih terlihat pucat namun cukup sehat untuk berdiri sendiri. Tatapan matanya melembut saat melihat Bram.
"Bram... aku tidak menyangka kamu secepat ini datang. Maaf, aku baru tahu dari Ayah kalau Cassie juga baru pulang dari rumah sakit, seharusnya aku, tidak..."
"Sudahlah, aku tidak ingin banyak berbasa-basi, Raina," tukas Bram.
Bram tidak membalas ucapannya dengan senyum. Biasanya, pria itu akan menanggapinya dengan lembut. Justru, ada dingin yang menyelimuti wajahnya. Dingin yang tak pernah Raina lihat sebelumnya.
"Kita perlu bicara," ucap Bram singkat.
Raina membuka pintu lebih lebar, memberi isyarat agar Bram masuk. Mereka duduk di ruang tamu yang rapi, tapi suasananya penuh ketegangan.
"Aku tidak ingin berlama-lama," ujar Bram. "Aku datang bukan untuk marah, tapi untuk menyelesaikan semua."
Raina mencoba tersenyum. "Kalau ini tentang Cassie, kamu tahu sendiri—dia yang menyerangku lebih dulu. Aku hanya—"
"Cukup, Rai," potong Bram tegas. "Aku sudah tahu semuanya. Aku sudah lihat rekaman CCTV dari rumah kami. Cassie tidak mendorongmu keras. Kau jatuh sendiri karena ingin membuat drama."
Wajah Raina berubah tegang. Ia mencoba membela diri. "Tapi aku benar-benar sakit waktu itu..."
"Dan Cassie kehilangan anak kami. Apa kamu tahu itu? Calon anakku meninggal karena kecelakaan yang terjadi setelah aku mengusirnya. Setelah aku berkata kalau lebih baik dia mati. Kau puas?"
Raina tertunduk. Tangannya menggenggam lutut, tidak berani menatap mata Bram. Air mata mulai mengalir di pipinya. Bram melengos tidak ingin luruh akan air mata yang ditampilkan oleh Raina.
"Aku tidak tahu... Aku tidak pernah berniat sejauh itu, Bram. Aku hanya... aku mencintaimu."
"Dan aku tidak pernah mencintaimu," kata Bram pelan, namun setiap katanya seperti peluru.
"Kamu tahu dengan jelas kalau aku menganggapmu hanya sebagai adik. Dan kedekatan kita hanya sebatas itu, keluargaku menyokong kebutuhanmu karena ayahmu adalah pekerja di rumahku," lanjut Bram.
"Bram, kamu harus merasakan debaran ini. Kamu tahu dengan jelas kalau aku mencintaimu. Aku yakin kamu pun pasti mencintaiku," tukas Raina sambil mendekati Bram.
"Aku hanya mencintai Cassie. Mungkin selama ini aku tidak menyadarinya karena hatiku tertutup gengsi. Tapi sekarang, saat dia hampir meninggal dan aku tidak bisa menemuinya, semuanya menjadi jelas."
Raina menitikkan air mata. "Lalu kau ke sini hanya untuk menyakitiku?"
"Aku ke sini untuk mengakhiri semuanya. Tidak ada lagi perasaan, tidak ada lagi harapan. Aku akan memperbaiki semuanya dengan Cassie. Bukan demi penyesalanku saja, tapi karena aku benar-benar mencintainya."
Keheningan menyelimuti ruangan. Raina hanya bisa menangis, menyesali semua intrik yang telah ia mainkan.
Bram bangkit dari duduknya. "Mulai sekarang, jangan pernah menghubungiku lagi."
Ia berjalan menuju pintu dan keluar tanpa menoleh ke belakang.
Langit sore kini gelap. Bram masuk ke dalam mobil, menarik napas dalam-dalam. Di balik semua kekacauan yang telah ia ciptakan, ia tahu jalannya masih panjang.
Keluarga Cassie masih menolak kehadirannya. Gunawan dan Clarissa bersikeras menjaga putri mereka dari laki-laki yang telah menghancurkan hatinya. Tapi Bram tak ingin menyerah.
Dia akan berjuang.
Bukan hanya untuk diampuni, tapi untuk mencintai Cassie dengan cara yang benar.
Ia memandang ke luar jendela. Hujan mulai turun perlahan, seperti menghapus jejak luka, memberi harapan baru bagi hati yang patah.
Sementara itu, Raina mengepalkan tangannya, dia tidak akan menyerah begitu saja. Tidak setelah berbagai cara dia tempuh untuk menghancurkan hubungan Bram dan Cassie selama ini.
"Kau harus menjadi milikku, Bram. Apa pun yang terjadi, kamu akan menjadi milikku," gumam Raina penuh tekad.
***
Bersambung...
Terima kasih telah membaca. 🥰
Dan juga keluarga Adrian kenapa tdk menggunakan kekuasaannya untuk menghadapi Rania yg licik?? dan membiarkan Bram menyelesaikannya sendiri?? 🤔😇😇
Untuk mendapatkan hati & kepercayaannya lagi sangat sulitkan?? banyak hal yg harus kau perjuangan kan?
Apalagi kamu harus menghadapi Rania perempuan licik yg berhati ular, yang selama ini selalu kau banggakan dalam menyakiti hati cassie isteri sahmu,??
Semoga saja kau bisa mendapatkan bukti kelicikan Rania ??
dan juga kamu bisa menggapai hati Cassie 😢🤔😇😇
🙏👍❤🌹🤭
😭🙏🌹❤👍