NovelToon NovelToon
MEMPERBAIKI WALAU SUDAH TERLAMBAT

MEMPERBAIKI WALAU SUDAH TERLAMBAT

Status: sedang berlangsung
Genre:Bapak rumah tangga / Selingkuh / Percintaan Konglomerat / Crazy Rich/Konglomerat / Aliansi Pernikahan / Mengubah Takdir
Popularitas:683
Nilai: 5
Nama Author: frj_nyt

Ongoing

Feng Niu dan Ji Chen menikah dalam pernikahan tanpa cinta. Di balik kemewahan dan senyum palsu, mereka menghadapi konflik, pengkhianatan, dan luka yang tak terucapkan. Kehadiran anak mereka, Xiao Fan, semakin memperumit hubungan yang penuh ketegangan.

Saat Feng Niu tergoda oleh pria lain dan Ji Chen diam-diam menanggung sakit hatinya, dunia mereka mulai runtuh oleh perselingkuhan, kebohongan, dan skandal yang mengancam reputasi keluarga. Namun waktu memberi kesempatan kedua: sebuah kesadaran, perubahan, dan perlahan muncul cinta yang hangat di antara mereka.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon frj_nyt, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

23

Ada masa ketika Xiao Fan masih percaya bahwa menangis bisa mengubah sesuatu. Bahwa jika ia menangis cukup keras, seseorang akan datang. Bahwa jika air matanya jatuh cukup banyak, dunia akan melunak. Bahwa rasa sakit di dadanya akan dipeluk dan diredam.

Masa itu perlahan berlalu. Tidak hilang sekaligus tidak dramatis melainkan menguap sedikit demi sedikit, seperti udara hangat yang keluar dari balon bocor. Tidak terlihat, tapi terasa.

Pagi itu, Xiao Fan duduk di lantai ruang tamu dengan sebuah mobil mainan di tangannya. Rodanya sudah tidak seimbang, satu sisi macet. Ia memutar-mutar mobil itu pelan, tanpa suara.

Di dapur, Feng Niu berdiri dengan ponsel di tangan, tertawa kecil pada sesuatu yang hanya ia pahami sendiri. Rambutnya dibiarkan terurai, masih harum oleh parfum yang tidak pernah berubah—tajam, dewasa, asing bagi seorang anak.

Xiao Fan melirik sekilas. Ia tidak memanggil Dulu, ia akan berkata, “Mama, lihat mobilnya.” Dulu, ia akan menyeret mainannya mendekat, berharap mata itu menoleh. Sekarang, ia hanya menunduk lagi. Diam.

Hari-hari setelah kejadian semalam berlalu tanpa bentuk yang jelas. Feng Niu semakin sering pulang larut, atau pulang dalam keadaan yang membuat udara rumah terasa berat bukan karena teriakannya, tapi karena cara ia berjalan, cara ia membanting tas, cara ia meletakkan kunci terlalu keras. Ji Chen semakin sering pulang terlambat juga. Bukan karena ingin menghindar, melainkan karena kantor menjadi satu-satunya tempat di mana ia bisa bernapas tanpa rasa bersalah. Mereka bertiga hidup dalam satu rumah yang sama, tapi seolah terpisah oleh dinding yang tak terlihat.

Suatu sore, Xiao Fan menumpahkan air minumnya sendiri. Gelas plastik itu terguling saat ia mencoba meraih buku gambar di meja. Air merembes ke lantai, membentuk genangan kecil yang berkilau di bawah cahaya sore. Ia menatapnya lama. Jantungnya berdebar cepat bukan karena takut pada air, melainkan pada kemungkinan.

Feng Niu muncul dari kamar mandi, rambutnya basah, handuk melingkar di bahu. Pandangannya langsung jatuh ke lantai..“Apa ini?” suaranya datar, tapi dingin.

Xiao Fan berdiri perlahan. Tangannya kecil, gemetar. “A… aku—” Kata-kata itu terhenti di tenggorokannya. Ada jeda. Jeda yang panjang dan sunyi. Feng Niu menghela napas kesal. “Tidak bisa lebih hati-hati?” Ia tidak menampar. Tidak berteriak. Tidak melakukan apa pun yang bisa disebut kekerasan secara nyata.

Namun ekspresinya cukup. Xiao Fan menunduk lebih dalam. “Maaf,” katanya lirih. Kata itu keluar begitu cepat, begitu otomatis, seolah ia sudah melatihnya berkali-kali di kepalanya. Feng Niu menggerutu, mengambil lap, dan membersihkan lantai tanpa melihatnya lagi. Seolah Xiao Fan hanya bagian dari furnitur yang merepotkan. Anak itu berdiri di sana beberapa detik lebih lama, lalu duduk kembali. Ia tidak menangis.

Malam itu, Ji Chen pulang lebih awal dari biasanya. Ia menemukan Xiao Fan duduk di sudut kamar, memeluk bantal kecilnya. “Kamu sudah makan?” tanyanya sambil berlutut. Xiao Fan mengangguk. “Dengan Mama?” Anggukan itu lebih ragu. Ji Chen mengusap rambut anaknya, merasakan sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan bukan luka fisik, tapi jarak. Anak itu terlalu tenang untuk usianya.

“Kamu kenapa, Fan?” tanyanya pelan. Xiao Fan membuka mulutnya, menutupnya lagi. Ia ingin berkata bahwa ia takut. Ia ingin berkata bahwa suara langkah ibunya membuat dadanya sesak. Ia ingin berkata bahwa ia bermimpi buruk hampir setiap malam. Tapi yang keluar hanya, “Tidak apa-apa.” Ji Chen terdiam. Malam itu, Xiao Fan tertidur tanpa cerita. Tanpa lagu. Tanpa tangisan.

Beberapa hari kemudian, di taman kecil dekat rumah, seorang anak lain mendorong Xiao Fan hingga jatuh. Lututnya tergores, darah tipis mengalir. Anak-anak lain menangis keras dalam situasi seperti itu. Xiao Fan tidak. Ia hanya duduk di tanah, menatap lukanya, lalu bangkit pelan dan berjalan ke bangku. Seorang ibu yang melihat kejadian itu mendekat dengan panik.

“Aduh, kamu tidak apa-apa?” tanyanya. Xiao Fan menggeleng. “Tidak sakit?” Ia menggeleng lagi. Ibu itu bingung. “Kamu harus bilang kalau sakit, ya.” Xiao Fan menunduk. Ia tidak tahu bagaimana menjelaskan bahwa mengatakan sakit tidak selalu membawa hasil yang baik.

Malamnya, Feng Niu pulang dalam keadaan kesal. Qin Mo mengirim pesan panjang yang membuat kepalanya pening. Dunia terasa menekan, dan rumah tidak memberinya pelepasan. Xiao Fan sedang duduk di sofa, menggambar.

Pensil warnanya jatuh ke lantai. Bunyi kecil hampir tak terdengar. Namun Feng Niu menoleh dengan cepat. “Berisik.” Xiao Fan membeku. Ia tidak mengambil pensilnya. Ia tidak bergerak. Ia hanya menatap ke depan, seolah jika ia cukup diam, ia akan menghilang.

Ji Chen yang baru keluar dari kamar mandi melihat pemandangan itu dan dadanya terasa ditekan sesuatu yang berat. “Fan,” panggilnya pelan. Anak itu menoleh, matanya kosong, terlalu patuh. Ji Chen berjongkok dan mengambil pensil itu. “Tidak apa-apa. Papa ambilkan.” Xiao Fan mengangguk.

Tidak tersenyum. Tidak berterima kasih. Hanya diam..Malam itu, Ji Chen duduk sendirian di ruang kerja setelah semua tertidur. Pikirannya dipenuhi potongan-potongan kecil tatapan kosong, anggukan terlalu cepat, permintaan maaf yang terlalu sering.

Ia membuka pintu kamar anaknya perlahan. Xiao Fan tidur menyamping, memeluk bantal seolah itu satu-satunya benda yang bisa dipercaya. Napasnya teratur, tapi alisnya sedikit berkerut, bahkan dalam tidur. Ji Chen berdiri lama di sana. Ia sadar, dengan rasa bersalah yang menusuk, bahwa anaknya sedang belajar sesuatu yang tidak pernah seharusnya dipelajari oleh seorang anak seusianya.

Bukan cara membaca. Bukan cara menghitung. Melainkan cara untuk tidak menyusahkan siapa pun. Cara untuk mengecilkan diri. Cara untuk diam.

Beberapa minggu berlalu. Xiao Fan semakin jarang menangis. Bahkan ketika jatuh. Bahkan ketika lapar. Bahkan ketika rindu. Feng Niu tidak menyadari perubahan itu. Atau mungkin ia menyadarinya, tapi memilih untuk tidak peduli. Ketika seorang anak menjadi “mudah diatur”, dunia terasa lebih ringan bagi orang dewasa yang egois.

Suatu malam, Feng Niu lewat di depan kamar Xiao Fan dan melihat anak itu duduk di lantai, memeluk lutut. “Kenapa belum tidur?” tanyanya dingin. Xiao Fan menoleh. “Aku tunggu Papa.” Itu satu-satunya kalimat utuh yang ia ucapkan hari itu. Feng Niu terdiam sesaat. Ada sesuatu di dada yang bergerak bukan rasa bersalah, melainkan iritasi.

“Papa sibuk,” katanya. “Tidur saja.” Xiao Fan mengangguk. Ia bangkit, naik ke tempat tidur, menarik selimut sampai ke dagu. Tidak membantah. Tidak bertanya lagi. Saat lampu dimatikan, kamar itu tenggelam dalam gelap.

Dan di dalam gelap itu, Xiao Fan menatap langit-langit, matanya kering. Ia tidak menangis. Ia sudah belajar bahwa diam adalah cara paling aman untuk bertahan.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!