Sugar Baby Om Sagara

Sagara membawa gadis itu ke apartemennya, dia merasa tempat ini adalah tempat yang paling aman untuk Laura saat ini. Gadis itu terdiam, bahkan saat Sagara mengobati luka di kakinya, gadis itu hanya diam tanpa sepatah kata pun.

"Jadi, begitu cara mereka memperlakukanmu, Laura?" Tanya Sagara. Gadis itu melirik ke arah Sagara lalu menganggukan kepalanya pelan. 

"Kau tidak bisa pergi dari tempat itu?"

"Pergi kemana? Aku sendirian, aku tidak senekat itu awalnya." Jawab Laura pelan. 

Sagara menatap gadis itu dengan iba, tapi kemudian dia memeluk lembut gadis itu. Tidak tahu kenapa, dia hanya mencari seorang sugar baby untuk mewarnai harinya, plus memberikan pelayanan untuknya. Tapi, saat melihat keadaan Laura membuatnya kasihan dengan gadis ini. 

Pantas saja Lily sangat gencar meminta Sam untuk mengenalkan Laura padanya, ternyata ini alasannya. Dia tak mau melihat Laura terus-menerus menderita karena tak bisa keluar dari rumah terkutuk itu. 

"Setelah bersamaku, kau akan tenang. Takkan ada yang menyakitimu, siapapun itu. Dia pasti akan berhadapan denganku." 

"Terima kasih.."

"Jadi, kau ingin membalas dendam pada mereka dengan cara apa, baby?" Tanya Sagara. 

"Terlalu jahat kah kalau aku ingin mereka hancur, Dad?"

"Termasuk ayahmu?"

"Aku membencinya." Jawab Laura yang membuat pria itu mengangguk-anggukan kepalanya.

"Daddy bisa melakukan apapun yang kau mau, baby. Secepatnya, kau akan mendapatkannya."

"Aku tidak sabar, Daddy.."

"Kau terlihat senang."

"Aku sudah menunggu momen ini, hanya saja aku tidak seberani itu untuk mencari gadun, hehe." Jawab Laura sambil cengengesan. 

"Harus temanmu yang mencarikan?"

"Sebenarnya, aku gak minta Lily buat cariin aku papa gula sih, tapi dia sendiri yang keukeuh, bujukin aku terus buat jadi sugar baby. Tujuannya baik sih, dia gak mau aku terus-terusan sakit karena tetap berada di rumah itu."

"Hmm.."

"Daddy.."

"Ya, kenapa baby?" Tanya Sagara. Pria itu masih memeluk tubuh mungil gadis itu, mengusap punggungnya dengan lembut. Akhirnya, Laura tahu kenapa Lily kekeuh memintanya jadi sugar baby, nyatanya dia mendapatkan semuanya dari sosok pria yang asing itu. 

"Jadi, tugasku selain melayani Daddy apalagi?"

"Menghabiskan uangku."

"Hah?"

"Kamu hanya perlu duduk dan habiskan uangku, baby. Tapi, satu hal yang harus kau ingat, kau harus memberiku timbal balik yang setimpal dengan apa yang aku berikan."

"Kepuasan ya?" Tanya Laura dan Sagara tersenyum sambil menganggukan kepalanya. 

"Aku masih virgin kok, Dad. Mau test drive?" Tawar Laura dengan senyum nakalnya. 

"Kau menginginkannya hmm?" Tanya Sagara lagi. 

"Tapi aku sedang datang bulan."

"Kau membohongiku, gadis kecil?"

"Haha, maaf.."

"Kau membuatku tegaang, baby." Bisik Sagara, telat di daun telinga Laura yang membuat gadis itu merinding seketika. 

"Bersihkan tubuhmu, setelah itu kita tidur."

"Tapi, pakaianku?"

"Sam sudah menyiapkan semuanya, baby." Jawab Sagara. Laura mengangguk-angguk kecil lalu pergi ke kamar yang ditunjukkan oleh Sagara. Tanpa menunggu waktu, Laura segera membersihkan tubuhnya di bilik shower. Dia tidak tertarik untuk berendam di dalam bathtub, dia ingin segera beristirahat. 

"Awwsshh.." Laura meringis saat merasa nyeri di betisnya karena pukulan ibu tirinya. Gagang sapu itu cukup besar ukurannya dan sangat menyakitkan saat mengenai kaki. 

"Baby, kenapa lama sekali?"

"Maaf, Dad. Sebentar lagi keluar kok." Jawab Laura. Jujur, dia tidak terbiasa dengan kehidupan seperti ini. Belum genap sehari dia menjadi sugar baby, tapi hidupnya benar-benar telah berubah drastis. 

Laura mengenakan handuk berbentuk kimono dan keluar dengan tubuh yang menggigil. Pria itu mengernyitkan keningnya saat melihat gadis itu keluar dari kamar mandi. 

"Kau mandi air dingin?"

"Iya, kan cuma ada air dingin." Jawab Laura dengan senyuman kecilnya. Dia mengusap-usap kedua tangannya untuk memberikan sensasi hangat. 

"Kamu mandi di shower?" Laura menganggukan kepalanya mengiyakan. 

"Padahal kan ada pengatur suhunya, kamu bisa mengatur suhu airnya menjadi hangat."

"Benarkah? Aku tidak tahu, hehe."

"Berpakaian lah.." Pinta Sagara. Laura menganggukan dan berjalan pelan menuju walk in closet. Laura terjingkat kaget saat melihat banyak sekali pakaian yang ada disana, berbagai macam jenis ada disana, mulai dari dress, blouse, pakaian rumahan, bahkan piyama tersusun rapi disana. Ada sepatu dan beberapa tas mahal keluaran terbaru juga disana. 

"Astaga, orang kaya memang gini yaa? Ini mah udah kayak mini butik." Gumam Laura. Dia mengambil satu stel piyama dan memakainya. Sayangnya, modelnya memang begini semua, piyama pendek dan ada juga pakaian tidur kekurangan bahan disana. Sudah jelas itu adalah pakaian dinas untuk perempuan, bahannya tipis menerawang, seksii sekali kelihatannya. 

"Apa-apaan ini baju, kayak puring nasi. Daripada pakai beginian, mendingan langsung tel*njang aja, tanggung." Gumam Laura sambil menyentuh pakaian kurang bahan itu dengan perlahan. Semua pakaian yang ada disini adalah pakaian baru, tak ada bekas pakai siapapun. Sagara memastikan semua keperluan Laura sudah tersedia disini. Termasuk dalaaamannya juga. 

Pekerjaan Sam sedikit lebih muda karena dia mengetahui ukuran dalamaan dan ukuran pakaian Laura dari Lily. Jadi, dia tak perlu menanyakannya pada Laura, informasi dari Lily juga akurat dan sangat bisa di percaya. 

"Lama sekali, apa kau tidur disana, baby?"

"Astaga.." Laura menyelesaikan berpakaiannya dengan cepat lalu keluar dengan langkah pincang, kakinya sakit dan itu membuatnya tak bisa berjalan dengan cepat. 

"Kakimu memerah, Baby."

"Hmm, agak pedih tapi gapapa."

"Beristirahatlah.." 

"Disini?" Tanya Laura. 

"Lantas, kau akan tidur dimana? Di sofa itu?" Balik tanya Sagara membuat Laura menggeleng, rasanya itu sedikit tidak mungkin kan? Jadi, yang paling mungkin adalah tidur di kasur berdua dengan pria itu. 

"Tidurlah.."

"Iya, Daddy." Jawab Laura. Dia berjalan ke arah kasur dan segera merebahkan tubuhnya disana. Laura tersenyum, ternyata tempat tidur orang kaya rasanya sangat empuk dan nyaman. Dia akan mudah sekali terlelap, kasurnya sangat berbeda dengan kasur lipat yang ada di rumahnya. Sudah buluk, kucel, kotor, tipis pula. Tapi, dia tak bisa mengeluh atau memberi komentar apapun, kalau tidak pasti ibu tirinya akan marah besar.