Prediksi Karmina mengenai kehidupan Dewa--ketua OSIS di sekolahnya--serta kematian misterius seorang mahasiswi bernama Alin, justru menyeret gadis indigo itu ke dalam kasus besar yang melibatkan politikus dan mafia kelas kakap. Akankah Karmina mampu membantu membalaskan dendam Dewa dan Alin? Ataukah justru mundur setelah mengetahui bahwa sasaran mereka bukanlah orang sembarangan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ira Adinata, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dugaan
Karmina tertegun. Kabar sang Ketos yang tak masuk sekolah lagi, membuat hatinya bergetar. Berita kematian ibu Dewa menyebar begitu cepat, sehingga batin Karmina tak karuan serasa dihantam ledakan besar.
Akibat terlalu memikirkan kilasan peristiwa yang terjadi pada ibu Dewa semalam, Karmina tak bisa konsentrasi belajar. Alih-alih mengikuti mata pelajaran selanjutnya, gadis itu meminta izin pulang lebih pagi.
"Kenapa kamu minta pulang lebih awal? Kamu nggak enak badan?" tanya Bu Aisyah, guru pelajaran matematika yang sedang mengajar di kelas Karmina.
"Iya, Bu. Perut saya mual," dalih Karmina menunjukkan wajah lesu, sambil sesekali berpura-pura mual dan memegangi perutnya.
"Ya udah, Ibu bikinin surat izin buat kamu dulu, ya. Nanti pas di depan, kasih ke satpam sebagai bukti kalau kamu benar-benar pulang karena sakit," tutur Bu Aisyah, sembari mengambil salah satu kertas keterangan dari bukunya.
"Terimakasih, ya, Bu," ucap Karmina, kembali ke bangkunya.
Mengetahui Karmina akan pulang lebih dulu, Fransisca mencolek lengan Gracia. Seketika, teman sebangkunya itu menoleh sambil mengangkat dagu dan mengerutkan dahi.
"Si Jadul mau ke mana tuh? Jangan-jangan dia minta pulang duluan sama Bu Aisyah." Fransisca menduga-duga, matanya tertuju pada Karmina yang sedang membereskan buku-bukunya ke dalam tas.
Gracia memperhatikan Karmina sejenak, lalu menatap teman sebangkunya. "Sialan! Padahal hari ini kesempatan bagus buat ngerjain dia lagi, mumpung Ketos nggak masuk sekolah."
Fransisca menyipitkan mata seraya bertanya, "Apa jangan-jangan dia nyari aman biar bisa lari dari kita?"
"Keparat emang kalau sampai si Jadul kepikiran ke situ. Awas aja nanti! Gue nggak bakal biarin dia bebas gitu aja, sekalipun kepergok Ketos," geram Gracia mengepalkan tangannya.
Bu Aisyah memanggil Karmina. Ia menyerahkan secarik kertas pada Karmina, sambil menyarankan gadis berambut pendek itu untuk beristirahat. Adapun Karmina, mengucapkan terimakasih banyak pada sang guru, kemudian melenggang keluar.
Menyadari Gracia dan Fransisca tak menyukai kepulangannya yang lebih awal, Karmina mendelik pada mereka berdua. Bibirnya menyungging sinis, seolah melontarkan ejekan paling sadis pada kedua perundung. Tentu saja, Gracia dibuat gusar karenanya.
Kendati demikan, Karmina besikap acuh tak acuh dengan raut wajah kesal Gracia yang begitu kentara. Ia tetap berjalan menuju gerbang sekolah, lalu menyerahkan surat keterangan pada satpam. Ketika melihat angkot berhenti, gadis berambut pendek itu segera menaikinya.
Alih-alih pulang ke rumah, Karmina mendatangi kediaman Dewa. Setibanya di tempat tujuan, gadis berambut pendek itu tercengang melihat kerumunan warga sekitar. Disibaknya orang-orang yang berkerumun itu, hingga tampak dua polisi sedang membawa sang ketua OSIS.
"Pak, mau dibawa ke mana teman saya ini?" tanya Karmina tatkala polisi yang membawa Dewa hendak berjalan ke arahnya.
"Kami akan meminta keterangan dari saksi pembunuhan Bu Dahlia. Sebaiknya, Adek jangan menghalangi tugas kami," jelas pria berseragam polisi itu.
Karmina tak melepaskan pandangannya dari kedua polisi yang membawa Dewa. Ia berlari, berusaha mengikuti ke mana mereka akan pergi. Hatinya tak tenang, seolah sesuatu yang janggal akan terjadi.
Sebab rasa penasarannya itu, Karmina yang semula berusaha untuk tak memedulikan Dewa, diam-diam mengikuti polisi. Setibanya di kantor kepolisian, Karmina bergegas mencari tempat Dewa akan ditanyai. Ditelusurinya semua ruangan, hingga mendapati Dewa sedang duduk berhadapan dengan dua orang investigator.
Farhan, anggota reserse kepolisian berkulit putih dengan cambang di kedua pipi serta kumis dan janggut tipis di wajahnya, menyadari kehadiran Karmina. Pria yang kerap berpenampilan rapi dengan rambut klimis, setelan kemeja putih dan celana bahan berwarna hitam yang dilengkapi dasi merah pada kerah bajunya, langsung menyapa gadis bertubuh mungil itu.
"Adek ini siapa?" tanya Farhan, dengan suaranya yang berat, tapi terdengar lebih halus di telinga Karmina.
"Saya temannya Dewa, sekaligus saksi dari pembunuhan Bu Dahlia," jawab Karmina, berusaha terlihat meyakinkan.
"Silakan masuk," ujar teman Farhan.
Dewa merasa risi dengan kehadiran Karmina di sana. Ingin sekali ia mengusir gadis itu, tapi proses penyelidikan lebih penting untuk saat ini.
Adapun Karmina, duduk di bangku lain yang berada di belakang Dewa. Disimaknya pertanyaan yang dilontarkan Farhan pada Dewa dengan saksama.
"Coba jelaskan bagaimana kronologi awal pembunuhan ibu kamu terjadi," ujar Farhan, sembari menyiapkan buku catatan serta pena.
"Malam itu, pelaku mengetuk pintu rumah saya. Ibu saya bukain pintu lebih dulu, tapi ternyata orang yang pakai topeng dari bahan rajut itu malah mengincar saya. Dia bawa pisau buat nyerang saya. Ibu saya berusaha melerai kami, tapi justru terkena tebasan pisau dari orang itu. Saya minta bantuan sama warga sekitar buat nangkap orang itu, tapi keburu hilang. Yang ada, warga bantuin saya ngantar Mama ke RS, tapi sayangnya, nyawa Mama udah nggak ketolong," jelas Dewa memaparkan.
Karmina mengangguk takzim. Sejauh ini, penjelasan Dewa sama persis dengan penerawangan yang dilihatnya kemarin.
"Lalu, apa kamu masih ingat ciri-ciri pembunuhnya?" tanya Farhan.
"Saya cuma ingat, kalau fisiknya sedikit lebih tinggi dari saya. Kira-kira seratus delapan puluh dua senti," tutur Dewa, sembari menatap ke arah kanan atas sesekali.
"Apa sebelumnya kamu pernah terlibat konflik dengan seseorang atau kelompok tertentu seperti geng motor misalnya?" tanya Farhan sambil mencatat keterangan Dewa.
"Ya, saya pernah terlibat konflik kecil dengan seorang anggota geng motor. Saya pikir, orang itu mengincar saya karena motif dendam," kata Dewa, berusaha tetap tenang.
"Apa Adek tahu siapa yang patut dicurigai saat ini?" tanya Farhan memandang pada Dewa.
Dewa menggeleng. "Saya nggak tahu nama anggota geng motor satu per satu, termasuk orang yang menyerang saya malam itu. Saya cuma tahu wajahnya, tapi sayang, pria itu memakai topeng saat datang ke rumah. Jadi, saya kesulitan mengenalnya."
"Baiklah, jadi untuk sementara bisa disimpulkan, kalau kasus pembunuhan Bu Dahlia ini merupakan ketidaksengajaan pelaku, bahkan salah sasaran," kata Farhan mengangguk pelan, sambil menyelesaikan catatannya. "Terimakasih atas keterangannya."
Setelah menyimak tanya jawab antara Farhan dan Dewa, Karmina tampak gusar. Penuturan Dewa sangat jauh berbeda dari sekelebat bayangan yang mengusik batinnya sejak tadi. Ia bergegas menghampiri meja Farhan, sebelum sang ketos berdiri dari kursi.
"Ini nggak benar, Pak! Pembunuhan Bu Dahlia nggak ada kaitannya sama geng motor!" bantah Karmina memandangi dua polisi dan Dewa secara bergantian.
Sontak, Farhan mengernyitkan kening. "Apa maksud Adek bilang begitu? Duduklah dulu!"
Karmina duduk di sebelah Dewa dengan mata melebar sambil mengembuskan napas. Adapun Dewa, mendelik tajam pada gadis berambut pendek itu.
"Lo ngapain ikut campur urusan gue? Gue nggak butuh bantuan lo," bisik Dewa menggerutu.
"Siapa yang mau bantuin lo? Nggak usah geer deh." Karmina berkelit sambil memelototi Dewa.
"Baiklah, sekarang jelaskan semua yang Adek ketahui," perintah Farhan.
"Ini nggak ada kaitannya sama geng motor, Pak. Pelaku ini sebenarnya disuruh sama seorang wanita kaya buat menghabisi Dewa," jelas Karmina dengan tegas.
Dewa membelalakkan mata, menoleh pada Karmina.
"Kira-kira, apa Adek tahu motif sebenarnya?" tanya Farhan mulai menatap Karmina lekat-lekat.
Karmina menghela napas sejenak, sambil melirik sepintas pada Dewa yang masih memperhatikannya dalam diam. Sejenak, gadis itu memejamkan mata, melihat lagi penerawangannya. Setelah merasa yakin, Karmina menatap Farhan seraya mengangguk pelan.
"Ancaman," ungkap Karmina. "Wanita itu mengirim seseorang untuk menghabisi Dewa karena takut kebusukannya bersama suami terungkap ke publik."
Dewa tertawa pahit, seakan menampik pernyataan Karmina. "Omong kosong macam apa yang lo bilang itu? Memangnya lo tahu siapa orang yang mengirim pembunuh ke rumah gue?" cecarnya menatap sinis Karmina.
Karmina termenung sejenak. "Sepertinya kerabat atau istri dari Sahar Muzakir," lirihnya sembari menduga-duga.
"Pak, sepertinya sudah cukup Bapak menanyai perempuan ini. Pernyataannya nggak berdasar. Bukankah sudah jelas, kalau pernyataan dari saya lebih akurat?" ujar Dewa mulai ketar-ketir.
Farhan mengangguk takzim, lalu menatap Karmina. "Dek, kasus ini bukan main-main. Kalau Adek cuma berandai-andai, sebaiknya nulis novel kriminal aja," ujar Farhan.
Karmina tercengang. "Tapi saya serius, Pak. Tolong pertimbangkan pernyataan saya," pintanya.
"Terimakasih atas keterangan kalian berdua, ya. Untuk hari ini, cukup sampai sini saja penyidikan kami. Nanti kalau ada perkembangan, kami akan memanggil Adek-adek lagi kemari," ucap temannya Farhan.
"Pak, saya nggak bohong! Orang itu suruhan wanita kaya. Tolong, Pak. Pertimbangkan lagi perkataan saya," kata Karmina memohon.
Dewa yang merasa geram, segera menarik tangan Karmina hingga gadis itu beranjak dari kursi. "Udahlah! Lo nggak usah banyak ngomong! Kalau prosesnya udah selesai, biarin aja. Polisi bukan instansi yang bodoh," tegurnya.
Farhan dan temannya mempersilakan kedua siswa SMA itu meninggalkan ruangannya. Karmina ditarik oleh Dewa hingga benar-benar menjauh dari tempat anggota reserse kriminal menanyai mereka.
Setibanya di halaman kantor polisi, Karmina melepaskan genggaman Dewa dengan kasar. Ia memasang wajah memberengut seolah tak terima jika prediksinya ditolak oleh polisi.
"Kenapa, sih, lo tiba-tiba nyela omongan gue?" gerutu Karmina memonyongkan bibirnya.
"Karena omongan lo nggak berdasar. Apa-apa itu harus dipertimbangkan dengan bukti nyata, bukan asal jeplak aja," jawab Dewa bersungut-sungut. "Lagian, lo itu sok-sokan banget ya. Makam nyokap gue tanahnya masih merah, dan lo malah sekonyong-konyong dateng buat nambah beban hidup gue."
"Gue bukan mau nambah beban hidup lo. Justru gue pengin semuanya terbuka jelas biar lo nggak diteror lagi sama orang kaya itu," tegas Karmina.
Dewa mendesah kasar, lalu menatap tajam pada Karmina. "Lo nggak usah lagi, deh, ikut campur urusan gue, ya. Lo itu murid paling lemah di sekolah, nggak ada gunanya lo bantuin gue. Bukannya bikin beban gue ringan, yang ada malah makin berat gara-gara elo," keluh Dewa.
"Tapi, Dewa ... gimana urusan lo sama Sahar Muzakir?"
"Nggak usah bawa-bawa nama dia lagi. Ngapain juga gue nyari masalah sama orang yang udah mati?" ketus Dewa, sambil melengos menuju trotoar.
Sementara itu, Farhan masih termenung di ruangannya. Temannya yang baru saja pergi keluar, membawakan secangkir kopi untuk pria itu.
"Lagi mikirin apa?" tanya pria berseragam polisi itu.
"Apa lo tahu soal keluarga Bu Dahlia? Bukannya dia janda Pak Guntur, ya, anggota intelkam yang meninggal dikeroyok preman?" Farhan bertanya balik pada temannya.
"Iya. Emangnya kenapa?"
"Coba ingat-ingat lagi soal kematian Pak Guntur. Apa dulu pernah ada kaitannya dengan Sahar Muzakir?" ujar Farhan memandang pria berseragam polisi itu sembari mengetuk-ngetuk pulpen ke meja.
"Dulu Sahar Muzakir pernah menjadi terduga dalang pengeroyokan itu, tapi setelah diperiksa lebih lanjut, tak ada tanda-tanda mengarah padanya. Bahkan para preman yang mempersekusi Pak Guntur pun nggak kenal sama Pak Sahar," terang teman Farhan.
"Kayaknya gue harus mempertimbangkan ucapan temennya Dewa," gumamnya, lalu menyeruput secangkir kopi sambil menatap nanar.