Setiap kali Yuto melihat bebek, ia akan teringat pada Fara, bocah gendut yang dulunya pernah memakai pakaian renang bergambar bebek, memperlihatkan perut buncitnya yang menggemaskan.
Setelah hampir 5 tahun merantau di Kyoto, Yuto kembali ke kampung halaman dan takdir mempertemukannya lagi dengan Bebek Gendut itu. Tanpa ragu, Yuto melamar Fara, kurang dari sebulan setelah mereka bertemu kembali.
Ia pikir Fara akan menolak, tapi Fara justru menerimanya.
Sejak saat itu hidup Fara berubah. Meski anak bungsu, Fara selalu memeluk lukanya sendiri. Tapi Yuto? Ia datang dan memeluk Fara, tanpa perlu diminta.
••• Follow IG aku, @hi_hyull
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hyull, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26 | Papa Fara udah tahu, kok.
Fara menatap aspal di bawahnya, mencari cara untuk menenangkan pikirannya yang kacau.
Ini pertama kalinya untuknya.
Pertama kalinya ada seseorang menatapnya seolah dirinya berharga. Pertama kalinya ada yang mengingat dengan sangat detail tentang dirinya, bahkan dirinya pun sudah melupakan banyak momen di masa itu. Dan tentu saja, ini pertama kalinya ia merasa... dihargai.
Namun, Fara tak sepenuhnya bahagia. Hatinya juga kacau.
"Fara bingung, Bang..." katanya akhirnya, masih menunduk. Suaranya kecil, seperti anak kecil yang mengaku salah. "Ini pertama kalinya, ada orang yang bilang kayak gini sama Fara."
Yuto mengangguk, tentu ia bisa mengerti itu. "Jangan lihat ke bawah. Lihat ke abang," katanya lembut. "Dan abang juga nggak mau pengakuan abang jadi beban untuk Fara," kata Yuto lagi tepat saat Fara kembali menatapnya.
"Fara..." Yuto menganggil pelan. "Abang ngomong kayak tadi, cuma karena mau Fara tahu perasaan abang. Jujur, abang juga baru tadi merasa yakin sama perasaan abang. Sebelumnya abang masih ragu, berpikir apa abang cuma sayang sama Fara sama seperti abang sayang sama sepupu abang yang lain. Tapi, tiga hari bersama, perlahan abang mulai sadar, ternyata apa yang abang rasakan jelas berbeda."
Yuto lekas menambahkan, "Tapi, abang nggak minta Fara jawab sekarang. Abang ungkapkan malam ini juga, karena abang takut kehilangan kesempatan untuk jujur."
Ia menghela napas, lalu melanjutkan dengan nada yang lebih tenang.
"Ke depannya, abang bakal kayak biasa. Abang nggak mau bikin Fara nggak nyaman kalau terlalu berlebihan. Yang penting, abang mau Fara tahu, kalau ada seseorang yang menganggap Fara sangat berarti dan sangat layak untuk disayangi."
Kata-kata itu menampar lembut hati Fara yang selama ini kering dan penuh luka yang tertanam lama.
Tak ingin kecanggungan itu berlanjut lebih lama lagi, terlebih lagi Fara tampak semakin bingung harus merespon bagaimana, Yuto pun mundur dua langkah, memberi ruang yang lebih luas untuknya.
“Ayo, abang antar sampai depan rumah.”
“Tapi bang…”
“Fara…” Yuto tahu Fara merasa tidak enak hati. “Abang kan udah bilang, Fara nggak perlu jawab sekarang. Nggak usah terlalu dipikirkan. Cukup jalani aja. Kalau memang nantinya Fara merasa punya rasa yang sama, kasih tahu abang. Tapi kalau ternyata nggak ada yang berubah dan nggak ada harapan, kasih tahu juga sama abang. Nggak masalah."
“Abang nggak mau Fara tertekan. Abang ngerti… perasaan itu nggak bisa dipaksakan.”
Yuto sentuh punggungnya, menepuknya pelan dan berkata, “Ayo cepat. Tadi abang udah janji sama papa Fara mau antar jam 9.”
Saat Fara mulai ikut melangkah, keduanya sama-sama menoleh ke kiri tepat ketika melintas di depan kedai.
Mereka melihat Pak Iyon tampak tertidur di kursinya, di balik kasir yang sunyi. “Kenapa tetap jualan sampai semalam ini kalau yang beli pun hampir nggak ada?” tanya Yuto pelan. Mereka masih berdiri di depan pintu.
“Mama nggak bolehin tutup, Bang,” jawabnya, memandang kasihan papanya di dalam sana. “Sampai sini aja, Bang. Fara mau jumpai papa aja. Kasihan papa, biar Fara yang gantikan.”
Yuto menjadi cemas mendengarnya. “Fara, ini udah jam 9 lewat. Kenapa nggak langsung pulang aja?”
“Nggak apa-apa, Bang. Biasanya pun kadang sampai jam 10 lewat.”
“Fara…”
“Kasihan papa, Bang…”
Hening sesaat. Yuto tahu dia tidak punya hak melarang Fara. Meskipun ia ingin Fara segera pulang ke rumah dan beristirahat, ia sadar Fara melakukan ini karena cinta yang besar pada papanya. Dan cinta itu… salah satu hal yang membuat Fara begitu istimewa di matanya.
“Fara…” gumamnya pelan, ragu sejenak. Tapi akhirnya ia berkata, “Kalau gitu, biar abang temani sampai tutup kedai.”
Fara langsung menoleh, tentu saja terkejut. “Jangan, Bang… nanti papa salah paham. Lagian, Fara malu…”
Yuto mengangkat alis. “Kenapa harus malu?”
“Takut papa mikir yang aneh-aneh. Fara sama abang kan…”
Belum sempat Fara menyelesaikan kalimatnya, Yuto memotong dengan santai, “Papa Fara udah tahu, kok.”
Fara membelalak. “Hah? Tahu apa?”
“Kalau abang berniat serius deketin Fara.”
Wajah Fara memanas, dan desir hangat itu seketika menjalar ke seluruh tubuhnya. Ternyata, pria di hadapannya ini benar-benar seserius itu. “Abang bilang ke papa? Kapan?”
Yuto tersenyum kecil. “Tadi. Waktu pulang salat Magrib. Sebenarnya sih, tadi niat abang cuma mau bilang jemput Fara. Tapi, waktu udah jalan, abang bilang aja sekalian semuanya. Tentang perasaan abang ke Fara. Tentang niat abang.”
Fara merapatkan bibirnya, tak tahu harus bereaksi bagaimana. Di satu sisi, ia malu setengah mati. Tapi di sisi lain, ia juga tidak bisa menyangkal bahwa pengakuan Yuto itu membuat jantungnya berdetak lebih keras dan ia menyukainya. Mungkin bakal melompat keluar dari dadanya.
Yuto tertawa kecil melihat wajah Fara yang kebingungan dan merah padam.
“Papa Fara cuma senyum, terus bilang, ‘*Kalau memang serius, jaga anak Om baik-baik*.’ Kayak gitu papa Fara bilang.”
“Gimana? Boleh abang temani Fara jaga kedai sampai tutup?”
Fara yang masih canggung, ragu-ragu menjawab, “Abang pulang aja, ya…” Nggak enak hati sebenarnya dia jawab kayak gitu, tapi terpaksa demi menjaga debaran di dadanya.
Dia ingin, setidaknya, diberi waktu untuk bernapas, merenung, memikirkan semua yang telah Yuto katakan padanya tadi.
Yuto mengamati wajahnya, beberapa saat, mencoba memahami. Lalu kemudian, ia mengangguk. Dan dengan berat hati menyerahkan rantang stainless yang sejak tadi bersamanya. “Yasudah, ini jangan lupa dibawa.”
Fara menerima rantang itu, jelas kali ia tampak tak enak hati karena telah menolak.
“Abang pulang dulu, ya.”
Fara mengangguk. “Makasih ya, Bang…”
Akhirnya Yuto melangkah pergi, dan Fara segera masuk ke dalam kedai. Ia menghampiri papanya yang masih tidur dalam posisi duduk di balik meja kasir. Dengan hati-hati, ia menegur, “Pa…”
Pak Iyon tidak langsung terbangun. Mengantuk kali kayaknya. Tentu saja. Papanya ini sudah terbiasa tidur setelah salat isya, karena selalu bangun di jam empat pagi untuk salat tahajud.
Fara mencoba memanggil lagi, “Pa…”
Tiba-tiba pintu kedai terbuka keras diiringi suara tawa dua remaja perempuan. “Kak… ada Indomie Mie Goreng Aceh?” tanya mereka tanpa menyadari ada yang sedang tidur di sana.
Tapi, Pak Iyon sudah terlanjut terbangun.
“Ada…” jawab Fara dan papanya serentak.
“*Yes, ada. Penasaran kali aku, kek mana rasa mie kalajengking*,” celoteh mereka yang lanjut cekikikan menuju rak mie instan.
“*Enak, loh. Nggak percaya kali kau sama aku. Mana pula rasa kalajengking. Muncung youtuber itu aja yang paok*!” jawab temannya masih cekikikan. \[Paok \= Bodoh\].
Sementara itu, di meja kasir, Pak Iyon baru menyadari kehadiran Fara di sana. “Gantian, ya. Papa ngantuk kali,” kata papanya tanpa basa basi, malah sudah bangkit dari kursi plastik dan mulai melangkah.
“Pa, sekalian bawa rantang ini. Masukkan ke dalam kulkas aja.”
“Rantang dari siapa?”
“Dari rumah Bang Yuto.”
Pak Iyon mengangguk, lalu tanpa mengatakan apapun lagi, sudah keluar dari kedai.
.
.
.
.
.
Continued...
Untung Yuto baru blgnya ke papanya Fara aja bkn ke mama nya,bisa heboh 1 komplek ntar sblm akad nikah,dasar ibu2 rumpi /Smug/
sama kita fara, banyak yg ngira lagi hamil gara2 gendut, 🤣🤣🤣🤣