NovelToon NovelToon
Kejamnya Mertuaku

Kejamnya Mertuaku

Status: sedang berlangsung
Genre:Ibu Mertua Kejam
Popularitas:5.8k
Nilai: 5
Nama Author: Mira j

Anjani, gadis manis dari kampung, menikah dengan Adrian karena cinta. Mereka tampak serasi, tetapi setelah menikah, Anjani sadar bahwa cinta saja tidak cukup. Adrian terlalu penurut pada ibunya, Bu Rina, dan adiknya, Dita. Anjani diperlakukan seperti pembantu di rumah sendiri. Semua pekerjaan rumah ia kerjakan, tanpa bantuan, tanpa penghargaan.

Hari-harinya penuh tekanan. Namun Anjani bertahan karena cintanya pada Adrian—sampai sebuah kecelakaan merenggut janin yang dikandungnya. Dalam keadaan hancur, Anjani memilih pergi. Ia kabur, meninggalkan rumah yang tak lagi bisa disebut "rumah".

Di sinilah cerita sesungguhnya dimulai. Identitas asli Anjani mulai terungkap. Ternyata, ia bukan gadis kampung biasa. Ada darah bangsawan dan warisan besar yang tersembunyi di balik kesederhanaannya. Kini, Anjani kembali—bukan sebagai istri yang tertindas, tapi sebagai wanita kuat yang akan menampar balik mertua dan iparnya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mira j, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 22

Saat Wiliam mendapatkan telepon dari Mami Elisabet, ekspresinya langsung berubah. Awalnya santai, tapi perlahan-lahan wajahnya mengeras, jelas ada sesuatu yang mengganggu pikirannya.

Mereka sedang duduk berdampingan, fokus mengerjakan laporan proyek yang baru saja dikunjungi. Anjani, yang duduk di sampingnya, memperhatikan perubahan sikap Wiliam dengan rasa penasaran.

Setelah panggilan berakhir, Wiliam masih menatap layar ponselnya dengan pandangan kosong.

"Will?" panggil Anjani pelan, menepuk pundaknya dengan hati-hati. "Kamu kenapa? Dari tadi kelihatan aneh."

Tersentak dari lamunannya, Wiliam menoleh. "Hah? Nggak, nggak ada apa-apa, Jani." Tapi jelas dari nada suaranya ada yang ia sembunyikan.

Anjani mengerutkan kening, tidak percaya dengan jawabannya. "Serius, Will? Ekspresi kamu barusan kayak habis dengar berita buruk."

Wiliam menarik napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya. "Barusan... itu telepon dari Mami Elisabet."

"Mami Elisabet?" ulang Anjani, semakin bingung.

"Iya. Saat video call, dia sempat melihatmu di layar... dan reaksinya—aneh. Seperti terkejut atau melihat sesuatu yang nggak dia duga," jelas Wiliam pelan.

Anjani mengernyit, mencoba memahami maksud Wiliam. "Mungkin aku mirip seseorang yang dia kenal?"

"Mungkin," gumam Wiliam sambil mengusap tengkuknya, terlihat gelisah. "Tapi... aku nggak tahu, rasanya ini lebih dari sekadar kemiripan, Jani."

Anjani tertawa kecil, mencoba mencairkan suasana. "Will, jangan terlalu dipikirkan, deh. Bisa jadi cuma kebetulan."

Wiliam mengangguk pelan, meskipun pikirannya masih diliputi tanda tanya besar. Ada sesuatu yang mengganjal.

Setelah semua pekerjaan selesai, suasana kamar hotel terasa tenang. Lampu remang-remang menyisakan nuansa hangat di ruangan itu.

Anjani duduk di tepi ranjang dengan gugup, memainkan ujung selimut di tangannya. Sementara itu, Wiliam sedang merapikan dokumen terakhir sebelum tidur.

Wiliam melirik sekilas, menyadari kegugupan Anjani. Ia tersenyum tipis, lalu perlahan mendekat dan duduk di sisi ranjang.

"Tenang aja, Jani," ucap Wiliam dengan nada santai. "Aku nggak akan melakukan apa-apa… kecuali kamu yang mulai duluan."

Anjani langsung menoleh, menatap Wiliam dengan ekspresi terkejut. "Will!" serunya dengan suara setengah berbisik, wajahnya langsung merona.

Melihat reaksi Anjani, Wiliam terkekeh pelan. "Aku cuma bercanda, kok. Kamu terlalu mudah dipancing, ya."

Anjani mengalihkan pandangan, mencoba menyembunyikan wajahnya yang semakin panas. "Nggak lucu, Will. Ini situasi yang aneh, tahu nggak?"

Wiliam menghela napas panjang, lalu bersandar di sandaran ranjang. "Aku tahu. Tapi serius deh, kamu nggak perlu tegang gitu. Aku janji, nggak akan macam-macam. Kita cuma... dua orang yang kebetulan harus berbagi kamar, nggak lebih."

Anjani menunduk, lalu perlahan merebahkan tubuhnya di ranjang, membelakangi Wiliam. "Ya udah... aku tidur duluan, ya." Suaranya pelan, hampir seperti bisikan.

Wiliam tersenyum, meski Anjani tak bisa melihatnya. "Tidurlah, Jani. Aku bakal jaga jarak, janji."

Beberapa menit berlalu dalam keheningan, hanya terdengar suara napas teratur mereka. Tapi sebelum tertidur, Wiliam berkata dengan nada lembut, "Kamu tahu, Jani... entah kenapa, aku nyaman deket kamu."

Anjani membuka mata, terdiam sejenak, tapi tak berkata apa-apa. Di dalam hatinya, ia merasakan sesuatu yang tak bisa dijelaskan.

Anjani yang belum tertidur perlahan membuka matanya kembali. Wiliam, yang menyadari gerakannya, tetap berbaring diam, tapi tatapannya jelas tertuju ke langit-langit kamar. Suara rendahnya terdengar pelan, seperti sebuah bisikan yang penuh makna.

"Jani… kamu sadar nggak, betapa bahayanya tidur seranjang sama aku kayak gini?" Suaranya dalam, mengandung godaan yang halus tapi terasa jelas.

Anjani terdiam, tubuhnya kaku sejenak. "Maksud kamu apa, Will?" tanyanya dengan suara sedikit bergetar, berusaha menjaga nada suaranya tetap tenang.

Wiliam perlahan membalikkan tubuh, wajahnya kini hanya beberapa inci dari wajah Anjani. "Maksudku… kamu itu bikin aku susah tidur. Dan aku nggak yakin bisa terus bersikap baik kalau kamu terus-terusan deket kayak gini," bisiknya, matanya menatap bibir Anjani seolah mengisyaratkan sesuatu yang lebih dalam.

Anjani menelan ludah, jantungnya berdegup lebih cepat. "Will… jangan macam macam deh…," gumamnya, meski tatapannya tetap terkunci dengan mata Wiliam.

Wiliam mendekatkan wajahnya sedikit lagi, hingga napasnya terasa di kulit Anjani. "Mungkin kemarin aku bisa menyembunyikan rasa ini, Tapi di sini? Di kamar ini? Aku nggak cuma ngeliat kamu tapi kamu begitu dekat dengan ku  Jani."

Anjani membalikkan tubuhnya, mencoba menghindari tatapan Wiliam, tapi pria itu dengan santai meletakkan tangannya di pinggang Anjani, menghentikan gerakannya.

"Kamu tahu kan, aku nggak akan nyentuh kamu... kecuali kamu yang minta," bisik Wiliam di dekat telinganya, suaranya serak, penuh godaan.

Anjani memejamkan matanya, mencoba menenangkan degup jantungnya yang makin cepat. "Will… jangan seperti ini ," suaranya pelan, nyaris seperti bisikan.

"Aku nggak main-main, Jani. Kamu sadar, kan? Ada sesuatu di antara kita… dan aku yakin kamu juga ngerasain," jawab Wiliam dengan nada lebih rendah, jemarinya perlahan mengusap punggung tangan Anjani dengan lembut.

Suasana di antara mereka semakin intens, udara terasa berat seolah penuh dengan ketegangan yang belum terselesaikan. Anjani menggigit bibirnya, berusaha keras menahan diri.

"Will… apakan nanti kamu tidak akan menyesal ,pikirkan dengan baik. Sebentar lagi aku hanya janda yang di buang oleh suamiku. Kamu berhak mendapatkan wanita yang lebih baik dari aku.  jangan bikin aku nyerah sama perasaan ini,"

bisik Anjani akhirnya, suaranya terdengar seperti pengakuan yang setengah ditahan.

Wiliam tersenyum kecil, lalu membisikkan kata-kata terakhir sebelum membiarkan keheningan menguasai ruangan.

"Aku tidak akan menyesal , kalau aku sudah menginginkan berarti itu sudah aku pikirkan dengan baik , Jani… sampai kamu sendiri yang nggak bisa menahan diri lagi."

Anjani hanya bisa menatap dalam ke mata Wiliam, mencari kebenaran dari setiap kata yang diucapkannya. "Apa benar kamu ingin memulai hubungan yang lebih dari sekadar rekan kantor, Will?" suaranya bergetar, seolah takut mendengar jawaban yang tak diharapkannya.

Wiliam mengangguk pelan, tapi penuh keyakinan. "Iya, Jani. Aku serius. Bukan cuma karena momen ini, tapi karena aku udah lama ngerasain hal ini… dan aku nggak mau terus pura-pura nggak peduli.sejak pertama melihatmu terbaring di rumah sakit aku sudah ada rasa padamu tapi aku simpan karena kamu masih bersuami.”

Anjani terdiam sejenak, mencoba meresapi setiap kata. Lalu, dengan pelan, ia mengangguk sebagai tanda setuju. "Kalau kamu serius, aku akan coba percaya."

“ Benarkah Jani..”

Saking senangnya, Wiliam tanpa sadar menarik Anjani ke dalam pelukannya, erat dan hangat. Tubuh Anjani kaku sejenak, tapi kemudian ia merasakan ketulusan di balik pelukan itu.

Begitu Wiliam sadar akan apa yang baru saja ia lakukan, ia hendak melepaskan pelukan itu. Tapi saat ia menunduk, matanya langsung bertemu dengan bibir Anjani yang begitu dekat—terlalu dekat.

"Jani... boleh aku?" bisik Wiliam, suaranya rendah, penuh rasa hormat dan keinginan yang ditahan.

Anjani hanya menjawab dengan menutup matanya perlahan, memberi isyarat diam yang jelas.

Tak ingin menyia-nyiakan momen itu, Wiliam dengan hati-hati mendekatkan wajahnya, lalu mengecup bibir Anjani dengan lembut. Bukan ciuman penuh nafsu, tapi satu sentuhan yang dalam, menyampaikan perasaan yang selama ini terpendam.

Saat bibir mereka terpisah, Wiliam menatap Anjani dengan tatapan penuh arti. "Ini…  awal kita memulai perjalan cinta kita  Jani. Yang harus Kamu tau  aku akan selalu ada buat kamu."

Anjani membuka matanya perlahan, senyum tipis terukir di wajahnya. "Aku juga nggak mau sembunyikan perasaan ini lagi, Will."

Malam itu, mereka akhirnya menemukan kejelasan di antara kebingungan yang selama ini mereka rasakan.

Malam itu, Anjani dan Wiliam akhirnya tertidur dalam pelukan satu sama lain. Bukan hanya kehangatan fisik yang mereka rasakan, tapi juga kenyamanan emosional yang selama ini sulit mereka dapatkan.

Tidak ada kata-kata lagi yang perlu diucapkan, karena pelukan itu sudah mewakili rasa aman, ketulusan, dan perasaan yang akhirnya menemukan tempatnya masing-masing.

Esok paginya, sinar matahari yang masuk melalui celah tirai membangunkan mereka perlahan. Anjani membuka matanya lebih dulu, menyadari bahwa ia masih berada aqdalam pelukan Wiliam. Alih-alih merasa canggung, kali ini ia justru merasa tenang.

Wiliam mengerjapkan matanya dan tersenyum melihat Anjani yang sudah terjaga. "Pagi, Jani," bisiknya lembut, jarinya mengusap pipi Anjani dengan penuh sayang.

"Selamat pagi, Will," balas Anjani, suaranya pelan tapi penuh makna.

Mereka saling bertukar pandang sejenak, hingga Wiliam akhirnya berkata, "Mulai hari ini, kita harus saling terbuka sayang .aku tidak mau kamu merasa sendiri lagi ok…”

Anjani mengangguk, merasa siap menghadapi babak baru dalam hidupnya. "Kita hadapi semuanya bersama, tapi aku mau kalau di kantor kita rahasiakan hubungan kita dulu sampai persidangan ku selesai .bagai mana?”

"Siap  sayang …." jawab Wiliam sambil mengecup kening Anjani.

Tak terasa tiga hari telah berlalu di kota kecil itu. Udara sejuk, suasana tenang, dan kebersamaan yang hangat membuat waktu terasa begitu cepat bagi Anjani.

Semua beban masa lalu perlahan memudar, tergantikan oleh senyum yang mulai sering menghiasi wajahnya. William, yang awalnya hanya sebatas rekan kerja, kini menjadi sosok yang menghadirkan kenyamanan baru dalam hidupnya.

"Semua pekerjaan akhirnya selesai," gumam Anjani saat mereka duduk di sebuah kafe kecil, menikmati matahari sore yang perlahan tenggelam di balik bukit.

William menatapnya dengan senyum tipis. "Dan kamu terlihat lebih segar sekarang, Jani. Aku senang lihat kamu bisa lepas dari bayangan masa lalu."

Anjani mengangguk pelan, menatap matahari yang mulai menghilang. "Mungkin... aku memang sudah waktunya melepaskan semua itu. Aku butuh memulai hidup dari awal."

Keesokan paginya, mereka memulai perjalanan pulang ke Jakarta. Mobil melaju menyusuri jalanan yang dipenuhi pepohonan hijau, membelah udara pagi yang masih segar.

Tak banyak kata-kata terucap sepanjang perjalanan—keheningan di antara mereka justru terasa nyaman, diisi oleh tawa kecil dan obrolan ringan yang mengalir alami.

Ketika gedung-gedung tinggi Jakarta mulai terlihat di kejauhan, Anjani menarik napas panjang. "Aku nggak nyangka perjalanan ini bakal berarti banyak buatku," ucapnya pelan.

William meliriknya sebentar sebelum fokus kembali ke jalan. "Kadang, yang kita butuhkan cuma waktu sejenak untuk menjauh dari semuanya. Kamu pantas dapat yang lebih baik, Jani."

Sore itu, mobil akhirnya berhenti di depan kontrakan sederhana Anjani. Tempat kecil itu mungkin tak mewah, tapi punya arti besar baginnya.

Saat Wiliam membantu menurunkan tas dari bagasi, Anjani menatapnya ragu. "Mau masuk sebentar? Kita ngobrol sebelum kamu pulang," ajaknya, suaranya terdengar lembut.

William mengangguk, mengikuti Anjani masuk ke dalam kos sederhana tapi rapi itu. Begitu pintu tertutup, keheningan sejenak menyelimuti mereka. Tatapan mereka bertemu, berbicara lebih banyak dari kata-kata.

"Aku nggak tahu gimana harus balas semua bantuanmu," bisik Anjani, berdiri begitu dekat dengan William.

William menatapnya dalam-dalam. "Kamu nggak perlu balas apa-apa, Jani. Cukup... izinkan aku ada di sisimu."

Perlahan, tanpa banyak kata, Anjani meraih wajah Wiliam dan menempelkan bibirnya ke bibir pria itu. Ciuman lembut yang singkat, tapi penuh dengan emosi yang terpendam. Namun, saat Wiliam menariknya lebih dekat, ciuman itu berubah menjadi lebih dalam, lebih hangat, seolah keduanya menemukan tempat aman dalam pelukan satu sama lain.

Tangan William membelai rambut Anjani dengan lembut, sementara jemari Anjani mencengkeram kerah kemeja pria itu. Nafas mereka terengah pelan, tapi tak ada yang terburu-buru. Hanya momen intim, penuh rasa nyaman yang tak butuh banyak penjelasan.

Saat akhirnya mereka berpisah, dahi mereka masih bersandar satu sama lain.

"Jani..." bisik William, suaranya berat menahan emosi.

Anjani membuka mata, menatapnya dengan penuh keyakinan. "Aku nggak tahu apa yang akan terjadi nanti, tapi... aku nggak mau menghindar lagi."

William tersenyum kecil, jarinya menyentuh pipi Anjani dengan lembut. "Aku di sini. Selalu untuk kamu."

Setelah beberapa saat, Wiliam akhirnya pamit. Meski berat, ia melangkah pergi dengan janji dalam hatinya—bahwa ini bukan akhir dari mereka, melainkan sebuah awal yang baru. Anjani berdiri di depan pintu, menatapnya sampai bayangannya menghilang dari pandangan, membawa harapan yang perlahan tumbuh di hatinya.

1
Anto D Cotto
menarik
Anto D Cotto
lanjut crazy up Thor
Arsyi Aisyah
Ya Silahkan ambillah semua Krn masa lalu Anjani tdk ada hal yang membahagiakan kecuali penderitaan jdi ambil semua'x
Arsyi Aisyah
katanya akan pergi klu udh keguguran ini mlh apa BKIN jengkel tdk ada berubahnya
Linda Semisemi
greget ihhh.... kok diem aja ya diremehkan oleh suami dan keluarganya....
hrs berani lawan lahhh
Heni Setianingsih
Luar biasa
Petir Luhur
seru banget
Petir Luhur
lanjut.. seru
Petir Luhur
lanjut kan
Petir Luhur
lanjut thor
Petir Luhur
bagus bikin geregetan
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!