Penculikan yang terjadi membuatnya merasa bersalah dan bertekad untuk pergi dan menjadi lebih kuat agar bisa melindungi seorang gadis kecil yang sangat ia sayangi yaitu cucu dari Boss ayahnya. Tanpa ia sadari rasa sayangnya terhadap gadis kecil itu berubah menjadi rasa cinta yang sangat mendalam saat mereka tumbuh besar namun menyadari statusnya yang merupakan seorang bawahan, ia tidak berani mengungkapkan hati kepada sang gadis.
Namun siapa sangka saat mereka bertemu kembali, ternyata menjadi kuat saja tidak cukup untuk melindungi gadis itu. Nasib buruk menimpa gadis itu yang membuatnya hidup dalam bahaya yang lebih dari sebelumnya. perebutan kekayaan yang bahkan mengancam nyawa.
Apakah pria tersebut dapat melindungi gadis yang disayanginya itu? dan apakah mereka bisa bersama pada akhirnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Skyla18, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31
Jam 6 pagi di taman belakang mansion utama Hartono, embun pagi masih menggantung di ujung-ujung daun. Alya duduk di bangku kayu yang menghadap kolam koi. Setelan olahraga dan rambut yang belum di tata sempurna menunjukkan ia baru saja selesai jogging keliling taman. Jogging merupakan salah satu kebiasaan barunya akhir-akhir ini. Tapi ada satu alasan kenapa ia tetap duduk di sana dan diam menunggu setelah selesai jogging hari ini.
Langkah kaki yang tak asing akhirnya terdengar di belakangnya.
“Masih pagi, tapi kamu udah kelihatan mikirin sesuatu yang berat,” kata Azka, muncul dengan dua botol air mineral di tangan.
“Mungkin karena aku nggak pernah benar-benar berhenti mikir,"ucap Alya yang menoleh ke arah Azka dan tersenyum kecil.
Azka duduk di sampingnya, menyerahkan satu botol air mineral kepadanya.
“Tapi kamu harus belajar berhenti, walau cuma sebentar. Supaya bisa tetap waras,"ucap Azka
“Kalau kamu yang bilang, rasanya seperti perintah yang wajib diikuti,"ucap Alya sambil tertawa pelan
“Bukan perintah. Cuma saran dari orang yang selalu ngelihat kamu terlalu keras sama diri sendiri,"ucap Azka
Ada jeda. Keduanya diam, membiarkan angin pagi jadi pengantar rasa yang belum bisa diungkapkan. Alya mencuri pandang ke arah Azka. Sementara Azka menatap lurus ke depan, berusaha tak terjebak dalam tatapan itu.
“Kamu pernah mikir buat ninggalin semua ini, Azka?”tanya Alya pelan
“Dulu, iya. Tapi sekarang... aku sadar aku nggak bisa,"ucap Azka sambil menoleh sedikit ke Alya
“Kenapa?”tanya Alya
Azka menunduk. Menggenggam botolnya erat.
“Karena seseorang di sini butuh aku. Dan aku nggak akan ninggalin dia,"ucap Azka
Alya tidak bertanya siapa. Tapi senyumnya mengembang, tipis, lembut. Ada perasaan yang ia sembunyikan di balik alis yang terangkat pelan.
Mereka tidak bersentuhan. Tidak saling tatap terlalu lama. Tapi pagi itu terasa penuh—penuh dengan hal yang tak terucap, tapi terasa di dada.
________________
Jam 9 pagi di ruang kerja Alya di kantor pusat, Alya duduk di belakang mejanya, menatap layar komputer penuh grafik dan angka. Di seberangnya, Azka berdiri dengan tenang, menjelaskan strategi pemisahan anak usaha yang selama ini menjadi beban keuangan.
“Kalau kita jalankan skema ini, tiga bulan pertama mungkin terasa berat. Tapi di bulan keempat, arus kas bersih akan meningkat setidaknya 28%. Divisi lama bisa ditutup bertahap, dan tim baru kita bentuk dari jaringan Mehendra Pasifik Grup,” jelas Azka.
Alya mengangguk pelan, memahami semua penjelasan Azka dengan baik.
“Kamu yakin orang-orang dari pihak Mahendra bisa dipercaya?"tanya Alya
“Mereka dulu bekerja sama dengan ayahmu,” jawab Azka tanpa ragu, tapi tidak melanjutkan dengan penjelasan lebih lanjut. “Dan aku sudah seleksi ulang. Mereka hanya menjawab ke aku, semua sesuai fakta tanpa menutup apapun"lanjut Azka
Alya memperhatikan cara Azka yang bicara dengan tegas dan penuh pertimbangan, tapi menyimpan sesuatu. Sejak beberapa minggu terakhir, Alya mulai melihat Azka berbeda. Ia bukan lagi hanya pelindung. Ia seperti seseorang yang telah melewati badai panjang dan kini tahu cara memimpin di tengah hujan.
“Kamu berubah,” ucap Alya tiba-tiba.
“Maksud kamu?”tanya Azka sambil mengangkat alisnya bingung mendengar ucapan Alya
“Dulu kamu selalu berdiri tiga langkah di belakangku. Sekarang kamu duduk di sampingku, bahkan kadang... seperti mendahului aku,"ucap Alya
Azka tidak langsung menjawab. Tapi ada senyum samar di wajahnya.
“Karena sekarang kamu nggak bisa jalan sendirian. Aku harus di samping kamu. Apakah boleh?"jawab Azka sambil menatapnya
Alya menatapnya lama. Ada sesuatu di dada yang ingin keluar seperti sebuah rasa yang terlalu sering ia tekan. Tapi lagi-lagi, ia hanya mengangguk.
“Terima kasih, Azka,"ucap Alya sambil tersenyum manis
“Selalu, Alya,"ucap Azka
_______________
Jam 1 siang di ruang rapat tertutup perusahaan Hartono, rapat kakek Alya dan dua penasihat senior berlangsung serius. Salah satu agenda penting mereka adalah surat ancaman merger paksa dari investor asing yang diduga kuat bekerjasama dengan paman Alya.
Azka memaparkan hasil investigasinya di depan mereka semua.
“Ini bukan hanya ancaman bisnis. Ini sabotase dari dalam. Dan saya yakin seseorang di antara kita ikut terlibat,"ucap Azka
“Siapa yang kamu curigai?”ucap Kakek Alya dengan tatapan tajam
“Saya masih mengumpulkan bukti. Tapi semua mengarah ke pamannya Nona Alya yang lainnya, Pak Jiwan”
Kakek Alya mengetukkan jari di meja dan tampak berpikir sejenak.
“Kalau dugaanmu benar, aku beri kamu wewenang penuh untuk mengamankan perusahaan ini. Tapi kamu harus berhati-hati. Dia punya banyak simpatisan,"ucap Kakek Alya
“Saya tidak akan mengecewakan Anda,"ucap Azka dengan pasti
_____________
Jam 5 sore, saat turun ke lobi utama kantor pusat perusahaan Hartono, Azka mendapati Alya sedang berdiri menunggu dengan ponsel di tangan, tampak lelah tapi tetap elegan. Saat melihat Azka, ia tersenyum lelah.
“Aku butuh udara segar,”ucap Alya “Mau temenin aku sebentar?”lanjutnya
Azka mengangguk. Tanpa kata, mereka keluar dan berjalan kaki menyusuri trotoar menuju taman kota kecil di seberang gedung.
Alya duduk di bangku kayu, menatap langit yang mulai memerah. Azka duduk di sebelahnya, menjaga jarak cukup agar tak menimbulkan gosip, tapi cukup dekat agar bisa melindungi.
“Kadang aku mikir... gimana jadinya kalau ayah dan ibu masih hidup,” gumam Alya. “Mungkin aku nggak harus jadi sekuat ini,"lanjut Alya
“Tapi kalau mereka masih ada, mungkin kamu nggak akan jadi sekuat ini,"ucap Azka sambil menoleh ke arah Alya
“Jadi kamu pikir... semua penderitaan ini ada gunanya?”tanya Alya yang menatap Azka
“Kamu nggak akan tahu seberapa kuat kamu sampai nggak punya pilihan selain jadi kuat,"ucap Azka
Alya memejamkan mata, membiarkan angin sore menyapu pipinya. Lalu, tanpa sadar, ia bersandar pelan ke bahu Azka. Bukan karena lelah semata. Tapi karena ia merasa aman.
Azka diam. Ia bisa merasakan rambut Alya menyentuh lengannya. Ia bisa mendengar napasnya yang berat tapi teratur. Dan saat itu, seluruh dunia seolah berhenti.
Tapi ia tidak bergerak. Tidak membalas. Tidak melingkarkan tangan. Karena ia tahu bahwa sentuhan itu bukan untuk dimiliki. Hanya untuk dijaga.
_______________
Jam 11 malam di balkon kamar Alya, Azka berdiri di bawah, di taman, menatap ke atas. Lampu balkon kamar Alya masih menyala. Lalu tirainya tersibak, dan Alya muncul, mengenakan piyama satin warna lembut, rambut terurai.
Mereka saling tatap dari kejauhan.
Alya mengangkat tangan, seolah berkata “Kamu masih di sana?”
Dan Azka hanya mengangguk pelan. Lalu membungkukkan sedikit tubuhnya sebagai salam malam.
Alya tersenyum.
Dan malam itu, mereka kembali tidur dalam diam. Tapi hati mereka, keduanya, tak bisa tidur.
Bersambung