Teror pemburu kepala semakin merajalela! Beberapa warga kembali ditemukan meninggal dalam kondisi yang sangat mengenaskan.
Setelah dilakukan penyelidikan lebih mendalam, ternyata semuanya berkaitan dengan masalalu yang kelam.
Max, selaku detektif yang bertugas, berusaha menguak segala tabir kebenaran. Bahkan, orang tercintanya turut menjadi korban.
Bersama dengan para tim terpercaya, Max berusaha meringkus pelaku. Semua penuh akan misteri, penuh akan teka-teki.
Dapatkah Max dan para anggotanya menguak segala kebenaran dan menangkap telak sang pelaku? Atau ... mereka justru malah akan menjadi korban selanjutnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dae_Hwa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TPK6
Bab 6: Pengkhianatan.
Satu bulan telah berlalu, kasus Anna masih menemui jalan buntu dan kini teror pemburu kepala kembali menelan korban.
Clara berdiri di depan papan besar yang penuh dengan foto dan catatan. Profiler forensik itu sedang menganalisis pola pembunuhan yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir. Kini dia benar-benar resmi bergabung dengan tim Max, dan kehadirannya membawa perspektif baru.
“Jadi, apa yang kamu lihat di sini?” tanya Max, berdiri di sampingnya.
Clara mengamati papan itu dengan saksama. “Pembunuh ini bukan orang sembarangan. Dia tahu apa yang dia lakukan. Setiap langkahnya terencana dengan baik.”
Max mengangguk. “Kami juga berpikir begitu. Tapi, apa yang membuat kamu yakin?”
Clara menunjuk salah satu foto. “Lihat ini. Cara dia meninggalkan tubuh korban. Ini bukan sekadar pembunuhan. Ada pesan di baliknya.”
Max mengerutkan kening. “Pesan apa?”
Clara menatapnya. “Aku belum tahu pasti, Max. Tapi, aku yakin pembunuh ini mengenal korban secara pribadi. Ada hubungan emosional di sini. Jika luka di tubuh korban lainnya menyiratkan dendam, tapi ... di tubuh Anna, luka tusuknya seolah menunjukkan amarah yang meledak.”
Max terdiam. Kata-kata Clara membuat pikirannya berputar. Anna bukan type orang yang suka mencari permusuhan. —Jika pembunuh itu mengenal Anna, maka kemungkinan besar dia juga mengenal Max. Tapi siapa?
“Max,” suara Clara memecah lamunannya. “Kamu baik-baik saja?”
Max mengangguk pelan. “Ya, aku cuma ... mencoba mencerna semuanya.”
Clara tersenyum tipis. “Aku tahu ini berat. Tapi, kita akan menemukan jawabannya. Aku janji.” Clara menatap Max lembut.
Max ingin percaya, tapi rasa ragu masih menghantuinya. Dia tahu Clara adalah ahli di bidangnya, tapi kasus ini terasa terlalu personal. Dan semakin dalam mereka menyelidiki, semakin banyak rahasia yang terungkap.
“Tapi, ngomong-ngomong ... apa kamu sedang tidak fit? Kamu demam?” tanya Max serius.
“Hngg?” Clara menggeleng. “Aku baik-baik aja. Memangnya kenapa, Max? Ada yang aneh dariku?”
Max mengangguk. “Kedua pipimu selalu merah jika kita bertemu. Aku mengira kamu demam. Apa kamu alergi dengan parfum ku?”
Clara berbalik badan, lalu berjalan sedikit menjauh. Ia mengkibas-kibas wajah sembari menggerutu di dalam hati. ‘Sekarang aku paham kenapa Anna selalu memanggilmu dengan sebutan Stupid Max!’
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Di sebuah bar yang remang-remang, Liam duduk sendirian dengan segelas minuman di tangannya. Dia menatap kosong ke depan, pikirannya penuh dengan berbagai hal. Dia tahu dia tidak bisa terus hidup seperti ini, kematian Anna seolah mengekangnya.
“Liam!” Suara seorang pria memanggilnya. Liam menoleh dan melihat seorang pria berdiri di depannya. Pria itu tersenyum tipis. “Lama nggak ketemu.”
Liam tersenyum kecil. “Ya, lama nggak ketemu.”
Pria itu duduk di sebelahnya. “Gimana hidup lo sekarang?”
Liam mengangkat bahu. “Biasa aja. Lo sendiri?”
Pria itu tertawa kecil. “Sama aja. Tapi, gue denger-denger lo sekarang udah bisa membuka hati. Selamat, Bro.”
Liam tersenyum tipis. “Thanks.” Sesekali, ia mencuri pandang ke arah pria itu. Pria yang berasal dari masa lalu nya.
---
Clara masih berdiri di depan papan analisisnya. Dia memandangi foto-foto korban dengan saksama, mencoba menemukan pola yang mungkin terlewat.
“Clara ....” Suara Ethan memanggilnya. Pemuda itu masuk dengan laptop di tangan. “Gue nemu sesuatu.”
Clara menoleh. “Apa itu?”
Ethan menunjukkan rekaman CCTV yang sama yang dia tunjukkan pada Max. “Ini orang yang gue curigai. Gue lagi coba lacak dia lewat rekaman lain.”
Clara mengamati video itu dengan saksama. “Dia memang mencurigakan. Tapi, kita butuh lebih dari ini untuk memastikan.”
Ethan mengangguk. “Gue ngerti. Tapi ini langkah awal, kan?”
Max yang ikut menyimak pun menyahut. “Ya, ini langkah awal. Terusin pekerjaan lo, Ethan. Kita butuh semua informasi yang bisa kita dapatkan.”
Setelah Ethan pergi, Clara kembali memandangi papan analisisnya. Dia merasa ada sesuatu yang dia lewatkan, sesuatu yang penting. Tapi apa?
Clara tak menyerah, ia masih bekerja hingga larut malam. Dia memandangi papan analisisnya, mencoba menyusun potongan-potongan puzzle yang berserakan. Dan tiba-tiba, sebuah pendapat muncul di kepalanya.
“Max,” panggilnya. Max yang sedang duduk di mejanya menoleh. “Aku pikir aku tahu sesuatu.”
Max berdiri dan mendekatinya. “Apa itu?”
Clara menunjuk salah satu foto. “Aku sudah yakin, pembunuh ini memang mengenal korban secara pribadi. Dan aku pikir dia juga mengenal kita. Menurutku, pembunuh ini ada di sekitar kita.”
Clara menatap Max dengan serius. “Kita harus hati-hati, Max.”
Max terdiam, mencoba mencerna kata-kata itu. Jika Clara benar, maka mereka sedang berhadapan dengan seseorang yang jauh lebih berbahaya daripada yang mereka bayangkan.
Max menghela napas panjang, menekan rasa frustasi yang mulai muncul. “Kalau memang benar dia ada di sekitar kita, itu artinya dia tahu setiap langkah kita. Kita nggak bisa sembarangan lagi dalam bertindak.”
Clara mengangguk. “Betul sekali. Aku akan coba analisis pola pembunuhan ini lebih dalam. Tapi, Max, aku rasa kita perlu menggali lebih jauh masa lalu para korban. Ada sesuatu yang menghubungkan mereka. Ini bukan kebetulan.”
“Aku tahu, sebenarnya ... aku sudah mencari tahu," kata Max terdengar ragu.
Clara duduk di kursi di seberang meja, wajahnya serius. “Kamu udah nemu sesuatu?”
Max menggeleng pelan. “Belum, tapi ada sesuatu yang mengganggu pikiranku. Semua ini kayaknya bukan pembunuhan acak. Ada pola di sini.”
Max berdiri dan menunjuk salah satu foto. “Korban pertama. Dia dibunuh di rumah lamanya. Korban kedua, di tempat dia pernah bekerja. Korban ketiga, di taman publik yang sering dia kunjungi waktu kecil.”
Clara memandang foto-foto itu dengan saksama. “Jadi benar, lokasi pembunuhannya selalu punya hubungan dengan masa lalu korban?”
Max mengangguk. “Iya. Pelaku ini nggak asal pilih tempat. Dia tahu setiap detail masa lalu korban, dan itu artinya dia mempelajari mereka sebelum membunuh.”
Suara derit pintu membuat pembicaraan mereka tertunda, Jessie masuk ke dalam ruangan dengan wajah lelah.
“Jam berapa kita pulang, Max? Ini hampir pukul 2 pagi. Apa penyelidikan ini nggak bisa dilanjutkan besok?” Jessie menghampiri Max. “Kita perlu istirahat, terutama kamu, Max. Kamu terlihat sangat ... lelah.”
Jessie memijat lembut pundak Max. Clara menyaksikan itu dengan senyuman getir.
“Sebentar lagi,” sahut Max.
Jessie menggigit ujung bibirnya, tampak ragu ingin berbicara. “Max, sejak tadi aku ingin berbicara empat mata. Tapi, kamu dan Clara terlalu serius dalam bekerja—"
"Mau bicara apa?" Tanya Max tanpa menoleh ke belakang. Kematian Anna membuat pria itu tak sempat memikirkan perasaan cintanya terhadap Jessie.
Jessie berdiri di depan Max, menatap pria itu dalam-dalam. Kemudian menyodorkan sesuatu, sebuah undangan pernikahan. “Aku dan Liam akan menikah, Max.”
Gendang telinga Max langsung berdenging, ia menatap Jessie sengit. Wanita itu jelas tau bahwa dia sangat menyukainya, dan Liam jelas tau bahwa dirinya sudah lama menyukai Jessie. Pengkhianatan ini, menghantam telak dirinya.
“Apa kau bilang?” Max mencengkram kedua bahu Jessie dengan amat erat. Maniknya menyiratkan amarah tertahan dan nyaris akan meledak.
*
*
*
kembali kasih Kaka...🥰🥰
w a d uuuuuuhhhhh Bellaaaaa....
jadi inspirasi kalau di dunia nyata besok ada yg jahat² lagi mulutnya, siapkan jarum bius😅🤣😂.
tapi sayangku aku takut jarum suntik😅