NovelToon NovelToon
Fragmen Yang Tertinggal

Fragmen Yang Tertinggal

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta Seiring Waktu / Romansa / Enemy to Lovers / Cintapertama / Cinta Murni / Berbaikan
Popularitas:27
Nilai: 5
Nama Author: tanty rahayu bahari

​Di antara debu masa lalu dan dinginnya Jakarta, ada satu bangunan yang paling sulit direnovasi: Hati yang pernah patah.
​Lima tahun lalu, Kaluna Ayunindya melakukan kesalahan terbesar dalam hidupnya: meninggalkan Bara Adhitama—pria yang memujanya—dan cincin janji mereka di atas meja nakas tanpa sepatah kata pun penjelasan. Ia lari ke London, membawa rasa bersalah karena merasa tak pantas bersanding dengan pewaris tunggal Adhitama Group.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon tanty rahayu bahari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 6: Pemain Ketiga

​Pagi itu, udara di ruang rapat kecil di lokasi proyek Hotel Menteng terasa lebih segar dari biasanya. Mungkin karena jendela-jendela yang sudah dibersihkan, atau mungkin karena kehadiran pria yang duduk di seberang meja Kaluna.

​"Saya suka konsep open kitchen yang kamu tawarkan di sini, Kaluna. Jenius," puji pria itu sambil menunjuk blueprint di atas meja. "Memasukkan elemen ubin tegel kunci klasik di area dapur modern? Itu perpaduan yang seksi."

​Kaluna tersenyum sopan, sedikit tersipu mendengar pilihan kata pria itu. "Terima kasih, Pak Julian. Saya pikir itu cara terbaik untuk menghormati sejarah bangunan ini tanpa mengorbankan fungsi dapur komersial."

​Julian Pradana (30 tahun). Chef selebriti sekaligus pemilik jaringan restoran Fine Dining yang sedang naik daun di Jakarta. Dialah penyewa utama area restoran di lantai dasar Hotel Menteng. Berbeda dengan Bara yang selalu tampil kaku dengan jas gelap, Julian mengenakan kemeja linen warna olive yang santai dengan lengan digulung, memperlihatkan tato artistik bergambar pisau koki di lengan bawahnya. Wajahnya ramah, dengan senyum yang memancarkan kehangatan matahari.

​"Panggil Julian saja," koreksi pria itu, matanya menatap Kaluna intens. "Kita seumuran, kan? Lagipula, bekerja dengan wanita berbakat sepertimu membuat saya merasa muda kembali."

​Kaluna tertawa kecil. "Baik, Julian."

​Di ujung meja, duduklah sang CEO, Bara Adhitama.

​Sejak tadi, Bara tidak bersuara. Ia duduk bersedekap, matanya menatap tajam interaksi di depannya. Jika tatapan bisa membakar, Julian mungkin sudah menjadi abu sekarang.

​Setelah kejadian di lift semalam—momen intim yang hampir saja melewati batas—Bara kembali memasang tembok pertahanannya setinggi langit. Pagi ini, dia menyapa Kaluna hanya dengan anggukan kaku, seolah pelukan dan usapan air mata semalam tidak pernah terjadi.

​"Fokus ke anggaran," potong Bara tiba-tiba, suaranya dingin membelah tawa renyah Julian.

​Julian menoleh, alisnya terangkat santai. "Tenang, Pak Bara. Anggaran aman. Saya siap investasi tambahan untuk interior kalau desainnya sebagus ini." Ia kembali menatap Kaluna. "Kaluna benar-benar menangkap visi saya."

​"Desainnya standar," komentar Bara ketus, mengambil lembar sketsa Kaluna dan meletakkannya kembali dengan kasar. "Terlalu banyak ornamen. Dapur restoran harusnya efisien, bukan galeri seni."

​Kaluna menahan napas. Ia sudah menduga Bara akan mencari celah untuk mengkritiknya.

​"Sebenarnya, Pak Bara," Julian membela, "di dunia culinary sekarang, ambiance adalah segalanya. Dan sentuhan Kaluna memberikan soul pada ruangan ini. Saya justru heran Bapak sempat meragukan kapabilitasnya."

​Bara menyipitkan mata. "Saya tidak meragukan kapabilitasnya. Saya mempertanyakan efisiensinya. Kita punya deadline enam bulan, ingat?"

​"Ah, ya. Deadline gila itu," Julian terkekeh santai, tidak terintimidasi sama sekali oleh aura gelap Bara. "Jangan terlalu keras pada timmu, Bar. Nanti arsitek cantik ini stres, kerutannya muncul lho."

​Rahang Bara mengeras. Dia tidak suka Julian memanggilnya 'Bar' seolah mereka teman akrab, dan dia sangat tidak suka cara Julian menyebut Kaluna 'cantik'.

​"Kita lanjut ke pembahasan lighting," ujar Bara kaku, berusaha mengalihkan topik.

​Rapat berlanjut selama satu jam. Sepanjang waktu itu, dinamika di ruangan itu sangat jelas: Julian terus-menerus mencoba menarik perhatian Kaluna dengan lelucon cerdas dan pujian tulus, sementara Bara terus-menerus memotong pembicaraan dengan hal-hal teknis yang membosankan.

​Kaluna merasa terjepit. Di satu sisi, ia merasa nyaman dengan kehangatan Julian. Pria itu mengingatkannya pada Bara yang dulu—humoris dan ringan. Di sisi lain, tatapan tajam Bara dari ujung meja membuatnya gelisah.

​"Oke, saya setuju dengan semua rancangannya," putus Julian akhirnya sambil menutup berkas. Ia melirik jam tangannya. "Sudah jam dua belas. Waktunya makan siang."

​Julian berdiri, lalu menatap Kaluna dengan senyum menawan. "Kaluna, kebetulan saya mau test food menu baru di restoran saya di Senopati. Mau ikut? Saya butuh opini orang dengan selera seni tinggi."

​Itu ajakan kencan terselubung. Semua orang di ruangan itu tahu, termasuk Rian yang senyum-senyum sendiri.

​Kaluna ragu. "Eh, saya..."

​"Dia sibuk," potong Bara cepat.

​Julian dan Kaluna menoleh serentak ke arah Bara.

​Bara masih duduk, wajahnya datar tanpa ekspresi, tapi tangannya meremas pulpen mahal di mejanya hingga buku-buku jarinya memutih.

​"Kaluna harus merevisi denah MEP (Mechanical, Electrical, Plumbing) lantai dua. Harus selesai hari ini," lanjut Bara, menatap Kaluna tajam. "Benar kan, Kaluna?"

​Kaluna mengerjap. "Sebenarnya revisi MEP sudah selesai kemarin sore, Pak. Sudah saya email ke—"

​"Saya minta revisi ulang," potong Bara, matanya menyiratkan ancaman jangan-bantah-aku. "Ada kalkulasi beban listrik yang salah. Kamu harus hitung ulang manual. Sekarang."

​Itu bohong besar. Kaluna tahu perhitungannya akurat. Bara hanya sengaja menahannya.

​Julian tertawa kecil, menyadari permainan yang sedang terjadi. Ia menatap Bara dengan tatapan geli bercampur menantang.

​"Wow, Pak CEO posesif sekali dengan waktunya arsiteknya," sindir Julian halus.

​"Saya profesional. Waktu kerja adalah untuk bekerja," balas Bara dingin.

​Julian mengedikkan bahu. Ia beralih pada Kaluna, mengambil ponselnya. "Sayang sekali. Ya sudah, boleh minta nomor WhatsApp kamu? Biar kita bisa diskusi soal detail interior tanpa harus lewat rapat formal yang... kaku."

​Bara hendak memprotes lagi, tapi Kaluna sudah lebih dulu menjawab.

​"Boleh," kata Kaluna sambil menyebutkan nomornya. Ia melakukan itu sebagian karena Julian memang klien penting, dan sebagian lagi karena ia kesal dengan sikap otoriter Bara.

​Julian mengetik nomor itu, lalu melakukan missed call. Ponsel Kaluna bergetar.

​"Sip. Sudah masuk," Julian mengedipkan sebelah matanya. "Nanti malam saya telpon, ya. Siapa tahu Pak Bos sudah tidak menahanmu lagi."

​Julian menyalami Kaluna—lagi-lagi menahan tangannya sedikit lebih lama dari yang diperlukan—lalu mengangguk sopan pada Bara dan melenggang keluar ruangan dengan bersiul pelan.

​Begitu pintu tertutup, suhu ruangan seolah turun sepuluh derajat.

​Bara berdiri mendadak, kursinya berdecit keras bergesekan dengan lantai. Ia berjalan mendekati Kaluna.

​"Kamu memberikannya nomormu?" tanya Bara, nadanya rendah dan berbahaya.

​Kaluna memberanikan diri menatap mata Bara. "Dia klien, Pak. Wajar kalau dia punya kontak arsiteknya."

​"Dia bukan mau bahas arsitektur, Kaluna. Kamu tidak sebodoh itu untuk tidak menyadari dia sedang mendekatimu," geram Bara.

​"Lalu kenapa kalau dia mendekati saya?" tantang Kaluna. Emosi yang dipendamnya sejak semalam mulai meluap. "Saya single. Dia single. Dan yang terpenting, dia sopan. Dia menghargai hasil kerja saya, tidak seperti Bapak yang bisanya cuma cari-cari kesalahan!"

​Bara terdiam, rahangnya berkedut. Kata-kata Kaluna menohoknya.

​"Saya tidak cari kesalahan," elak Bara. "Saya memastikan fokusmu tidak terbagi. Proyek ini butuh konsentrasi penuh, bukan main-main dengan tukang masak."

​"Dia Chef, Bara. Bukan tukang masak," koreksi Kaluna. "Dan berhenti mengatur kehidupan pribadi saya. Bapak membayar saya untuk mendesain hotel, bukan untuk menjadi biarawati yang tidak boleh bergaul dengan lawan jenis."

​Bara maju selangkah, mengikis jarak. "Kehidupan pribadimu menjadi urusan saya kalau itu melibatkan klien saya di properti saya."

​"Oh ya?" Kaluna mendongak, menantang tatapan intimidasi itu. "Kalau begitu, jelaskan kenapa Bapak tadi berbohong soal revisi MEP? Bapak cuma tidak suka melihat saya makan siang dengan dia, kan?"

​Skakmat.

​Bara terpojok. Dia tidak mungkin mengakui bahwa darahnya mendidih melihat Julian tersenyum pada Kaluna. Dia tidak mungkin mengakui bahwa dia takut Kaluna akan jatuh hati pada pria yang hangat dan baik itu—pria yang bisa memberikan kebahagiaan yang gagal Bara berikan.

​Bara memalingkan wajah, enggan menjawab.

​"Kembali bekerja," perintah Bara kaku, suaranya kehilangan tenaga. "Dan jangan lupa revisi MEP bodoh itu. Saya tunggu di meja saya jam 5 sore."

​Bara berbalik dan berjalan keluar ruangan dengan langkah cepat, melarikan diri dari konfrontasi perasaan yang semakin tidak terkendali.

​Sepeninggal Bara, Kaluna menghempaskan tubuhnya kembali ke kursi. Jantungnya berdebar kencang karena adrenalin perdebatan tadi.

​Ponselnya bergetar. Pesan WhatsApp masuk.

​Julian Pradana:

Pak Bos galak banget ya? Haha. Semangat kerjanya, Kaluna. Btw, tawaran makan malam masih berlaku lho. Nggak usah bilang-bilang Pak CEO. ;)

​Kaluna menatap layar ponselnya. Untuk pertama kalinya dalam lima tahun, ada pria lain yang mencoba mengetuk pintu hatinya. Julian tampak sempurna—baik, mapan, dan hangat.

​Tapi kenapa saat membaca pesan Julian, yang ada di pikiran Kaluna justru wajah Bara yang tadi terlihat cemburu setengah mati?

​"Dasar bodoh," bisik Kaluna pada dirinya sendiri.

BERSAMBUNG....

Terima kasih telah membaca💞

Jangan lupa bantu like komen dan share❣️

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!