Arnests (32) dan Vanesa (29) adalah pasangan muda yang tinggal di sebuah klaster perumahan di Jakarta Selatan. Mereka dikenal sebagai pasangan yang solid dan adem ayem. Arnests, seorang manajer proyek dengan karir yang mapan, dan Vanesa, seorang desainer freelance yang ceria, sudah terbiasa dengan rutinitas manis pernikahan mereka: kopi pagi bersama, weekend di mall, dan obrolan santai di sofa. Rumah mereka adalah zona damai, tempat Arnests selalu pulang dengan senyum setelah penatnya macet Jakarta.
Kedamaian itu mulai bergetar seiring kedatangan si tetangga baru (25), tetangga baru mereka di rumah tepat sebelah. Vika adalah seorang wanita muda yang mandiri, enerjik, dan punya aura santai khas anak Jakarta. Awalnya, Vanesa yang paling cepat akrab. Vika sering mampir untuk meminjam bumbu dapur atau sekadar curhat ringan tentang susahnya mencari tukang di Jakarta. Vanesa melihat Vika sebagai partner ngobrol yang seru.
Namun, perlahan Vanesa mulai menyadari ada perubahan halus pada sua
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon gilangboalang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
2023 MENDATANG
Jakarta, 2023
Harmoni Pagi yang Teratur
Pukul 06.30 pagi, Vanesa (29) sudah sibuk di dapur mewah mereka. Cahaya pagi yang lembut membanjiri ruang bernuansa modern minimalis itu. Hari itu, Vanesa memutuskan untuk membuat sarapan spesial: pancake tebal ala Amerika dengan maple syrup dan scramble egg yang sempurna.
Ia bergerak lincah dan bersemangat. Mulai dari mengeluarkan mangkuk-mangkuk keramik dari lemari, memecahkan telur, mengocok adonan hingga rata, lalu menuangkannya ke atas teflon panas. Aroma manis mentega yang meleleh dan kopi Robusta yang baru diseduh mulai mengisi setiap sudut rumah. Vanesa melakukan semua itu dengan hati, ia senang melihat suaminya, Arnests, menikmati masakannya. Setelah 11 tahun menikah, ritual sarapan ini adalah salah satu jangkar yang menjaga hubungan mereka tetap terasa hangat.
Akhirnya, hidangan pagi itu tersaji sempurna di meja makan kaca. Pancake tertumpuk rapi, taburan berry segar menjadi hiasan yang cantik, berdampingan dengan kopi hitam pekat kesukaan Arnests.
Vanesa berjalan ke kamar. Arnests (32) masih bergumul dengan selimut, menikmati menit-menit terakhir sebelum harus berhadapan dengan macet dan hiruk pikuk Jakarta.
Vanesa duduk di tepi ranjang, tangannya membelai lembut rambut suaminya. "Sayang, bangun. Sarapan sudah siap, lho. Kamu hari ini ada meeting pagi, kan?" bisiknya lembut.
Arnests menggeliat, perlahan membuka matanya. Senyumnya muncul saat melihat wajah istrinya. Ia langsung meraih tangan Vanesa dan menciumnya.
"Makasih banyak, Sayang. Smells so good! Kamu memang istri paling niat di dunia," ucap Arnests, suaranya serak khas bangun tidur, namun penuh cinta. "Aku mandi sebentar, ya."
Mereka pun menikmati sarapan. Suasana hening, diselingi bunyi dentingan sendok dan gumaman pujian dari Arnests. "Ini pancake-nya enak banget, Van. Enggak kalah sama yang di kafe-kafe mahal," katanya, sambil menyuap potongan besar.
"Masak buat kamu itu selalu jadi mood booster aku, Nests," jawab Vanesa, matanya memancarkan ketulusan.
Pelukan Perpisahan
Setelah sarapan, Arnests bergegas merapikan diri. Mengenakan kemeja biru muda yang rapi, suit hitam, dan dasi sutra, ia terlihat siap memimpin proyek di kantornya. Ia mengambil tas kerja, dompet, dan kunci mobil, lalu berdiri di ambang pintu.
Vanesa menghampirinya. Dengan gerakan yang sudah menjadi kebiasaan selama lebih dari satu dekade, Vanesa menyambut tangan suaminya.
"Hati-hati, Sayang," katanya sambil bersalim (mencium punggung tangan) Arnests. Tindakan ini bukan sekadar adat, tapi simbol penghormatan dan kasih sayang mereka.
Arnests menatap mata Vanesa, matanya kembali melembut. Ia lalu menunduk, mengangkat wajah istrinya, dan mencium keningnya dalam-dalam. Ciuman itu terasa lama, menenangkan, dan meyakinkan Vanesa akan janji yang mereka buat di tahun 2012.
"Aku berangkat ya, Sayang. Kamu juga semangat kerjanya. Kalau ada apa-apa, langsung telepon aku. Love you," ujar Arnests.
"Aku juga, Love you more. Semangat!" balas Vanesa, melambaikan tangan saat Arnests masuk ke mobilnya yang mewah.
Saat pintu gerbang otomatis tertutup, Vanesa masih berdiri di teras. Pagi ini, semua terasa sempurna. Hubungan mereka terasa harmonis, kokoh, dan penuh cinta. Ia tidak tahu, bahwa keretakan tidak selalu dimulai dari pertengkaran, melainkan dari masuknya pihak ketiga yang datang dari atap sebelah.Ibu dan Para Jagoan Kecil
Setelah mengantar Arnests berangkat, Vanesa kembali masuk ke dalam rumah. Pagi yang harmonis belum selesai. Kini, gilirannya menjalankan peran sebagai ibu dari dua jagoan kembar mereka.
Ia melangkah pelan menuju kamar tidur anak-anak yang dihiasi tema Avengers. Jhonatan dan Noah, keduanya berusia 6 tahun, masih terlelap pulas. Vanesa duduk di antara kedua ranjang kecil itu, mengelus kepala mereka satu per satu.
"Jon, No, bangun, Sayang. Sudah pagi, lho. Hari ini sekolah, kan? Nanti telat, Nak," bisik Vanesa dengan nada lembut, namun tegas.
Satu per satu, si kembar mulai menggeliat. Jhonatan, yang lebih pendiam, biasanya bangun duluan. Noah, yang selalu penuh energi, butuh sedikit bujukan ekstra.
"Lima menit lagi, Ma..." rengek Noah, suaranya lucu khas anak kecil yang baru bangun.
"Enggak ada lima menit lagi, Sayang. Mama sudah bikin pancake lho. Ayo, nanti dingin! Jon, No, hari ini kalian mau ketemu Miss baru, kan? Harus semangat!" bujuk Vanesa, akhirnya berhasil membuat kedua mata bulat itu terbuka.
Setelah sukses membangunkan, adegan di kamar mandi berjalan dengan sedikit drama sikat gigi dan seragam sekolah yang harus dipasang rapi. Akhirnya, mereka bertiga duduk di meja makan. Jhonatan dan Noah menyambut pancake buatan Mama dengan gembira, melahapnya dengan cepat karena sudah terdesak waktu.
Setelah memastikan semua bekal masuk tas, Vanesa menggandeng tangan si kembar menuju mobil.
Sahabat Lintas Iman
Tak lama, mobil Vanesa tiba di sekolah International tempat Jhonatan dan Noah bersekolah. Suasana di depan gerbang sudah ramai dengan para ibu yang mengantar anak-anak. Saat si kembar bergegas masuk ke barisan, Vanesa merasakan tepukan lembut di bahunya.
"Wih, pengantin baru. Pagi-pagi sudah kinclong aja, Van," sapa sebuah suara yang sangat ia kenal.
Vanesa menoleh dan senyumnya langsung melebar. Itu Amel.
Amel adalah sahabat Vanesa sejak kuliah, dan meskipun mereka memiliki latar belakang keyakinan yang berbeda—Vanesa dengan Katolik dan Amel dengan Islam—persahabatan mereka tak pernah goyah. Amel berdiri tegak dengan busana Muslimah yang minimalist namun sangat elegan—paduan tunik panjang berwarna oat dan pashmina senada, membuat penampilannya selalu terlihat profesional.
"Lo ya, Mel. Udah cantik, pakai busana apa aja cocok. Gimana, anak lo aman? Enggak drama kan pagi ini?" tanya Vanesa, memeluk erat sahabatnya.
"Aman, Vika! Anak gue sudah gede, sudah bisa dilepas sendiri. Eh, Vanesa, gue mau banget ngajak lo ngobrol santai nih. Project desain interior yang di BSD itu progress-nya sudah sampai mana? Gue butuh lo cek lagi buat penyesuaian budget."
"Astaga, iya! Gue juga mau ketemu lo. Tadi pagi Arnests buru-buru banget, jadi gue enggak sempat atur jadwal. Gimana kalau kita meeting di kafe yang di Senopati nanti siang? Sekalian kita gosip dikit," usul Vanesa.
"Ide bagus. Jam dua belas? Coffee atau lunch sekalian?"
"Jam dua belas pas, ya. Lunch sekalian. Jangan telat, bestie," ujar Vanesa, lalu mereka berpisah dengan janji bertemu.
Kolaborasi Sempurna
Pukul 12.00 siang, Vanesa sudah duduk di kafe chic di kawasan Senopati. Tak lama kemudian, Amel datang. Mereka berpelukan lagi.
"Oke, sebelum kita serius bahas budget dan deadline yang bikin pusing, lo cerita dulu dong. Gimana kabar Arnests? Kalian bulan depan anniversary ke berapa belas, sih? Kayaknya lo awet muda banget," Amel memulai obrolan ringan.
Vanesa tertawa. "Enggak usah dibahas! Anniversary ke sebelas, Mel. Eleven years! Capek enggak tuh? Arnests sehat kok. Biasa, lagi padat banget project-nya. Tadi pagi sih baik-baik aja, malah bikinin gue kopi sebelum berangkat. Lo sendiri, gimana sama suamilo?"
Obrolan santai itu berlangsung sekitar setengah jam. Mereka saling bertukar cerita tentang anak dan suami, mencerminkan betapa terorganisirnya kehidupan mereka sebagai wanita karir sekaligus ibu rumah tangga. Semua berjalan sempurna—persahabatan yang kuat dan kehidupan yang mapan.
Setelah mood mereka bagus, Amel mengeluarkan laptopnya. "Oke, back to business. Jadi gini, Van. Desain walk-in closet yang lo buat sudah mantap, cuma..."
Mereka kemudian tenggelam dalam diskusi profesional, memadukan selera desain Vanesa dengan keahlian manajerial proyek Amel. Suasana kerja sama mereka sangat efisien dan efektif. Vanesa merasa beruntung memiliki sahabat sekaligus rekan kerja sehebat Amel.
Saat Vanesa selesai dengan meeting kerjanya, ia mengecek ponsel. Pukul tiga sore. Ia merasa puas. Pagi yang romantis, dilanjutkan dengan peran ibu yang sukses, dan diakhiri dengan meeting kerja yang produktif.
Vanesa tidak tahu, saat ia sedang asyik membahas pekerjaan dan persahabatan, di rumahnya—tepat di samping rumahnya—suaminya sedang menjalani sore yang sama sekali berbeda dengan Vika.