EGO

“Kamu kemana sih yang?” gumam Arlo merasa pusing.

Sejak tadi Xania tak mau mengangkat panggilannya, Ia tahu kalau kekasihnya itu marah karena sudah mengabaikan panggilan darinya beratus-ratus kali. Karena dirinya memang tak sempat memegang ponselnya sejak pagi.

“Arlo, ngapain?” tanya sebuah, menampakkan seorang wanita cantik menghampiri pria itu.

“Sher. Aku lagi hubungin Xania, dia gak mau angkat sejak tadi.” Ungkap Arlo apa adanya.

Shera menunduk lesu, wajahnya terlihat merasa bersalah pada sepupunya itu. “Maafin aku ya Ar, gara-gara aku kamu jadi berantem sama Xania.” Shera merasa take nak hati pada Arlo maupun Xania.

Arlo tersenyum manis, mengusap lembut Pundak Xania. “It’s ok, ini bukan salah kamu. Jangan menyalahkan diri seperti itu Sher, aku gak suka.”

Tangan Arlo perlahan terulur untuk meraih wajah Shera, menyentuhnya dengan lembut. “Wajah kamu makin pucat, kamu baik-baik aja?” tanya Arlo terlihat khawatir.

Shera mengangkat tangannya untuk menyentuh tangan Arlo yang sedang berada di pipinya, menggenggamnya erat. “Aku baik-baik aja, maafin aku nyusahin kamu.”

“Aku udah bilang jangan merasa seperti itu, aku sama sekali gak merasa direpotin sama kamu.”

“Aku pergi dulu Sher, aku harus temuin Xania” pamitnya hingga berlalu pergi meninggalkan Shera.

“Andai aku gak pernah pergi, Ar” lirih Shera menatap punggung Arlo yang semakin jauh berlalu pergi.

***

Xania tampak lesu menelungkupkan wajahnya di lipatan tangannya yang Ia tumpukan di atas meja belajarnya. Niatnya ingin mengerjakan tugas kuliahnya, namun tak memiliki semangat sama sekali untuk sekedar menyentuh laptop yang sudah menyala di hadapannya. Menjadi saksi bisu kegalauannya.

Drrrt

Drrrt

Drrrt

Dilihatnya siapa yang tengah menghubungi, tertera nama kekasihnya di sana. Xania memilih mengacuhkan panggilan itu. Bukankah pria itu juga melakukan hal yang sama sejak tadi pagi. Jadi bukan salahnya membalas perbuatan pria itu.

“Lo harus dikasih pelajaran Ar.” Gumamnya dengan gigi saling bergemelutuk.

Baru kali ini Arlo bertingkah aneh seperti ini. Entah apa yang sedang terjadi pada kekasihnya itu, tapi yang jelas dirinya tak akan mudah memaafkan pria itu. Mengabaikan panggilannya yang berates kali menghubungi pria itu. Tak tau apa kalau dirinya tengah khawatir pada kekasihnya itu.

“Kamu pulang aja, aku mau nginep di sini aja sayang.”

Sebuah suara mengusik Indera pendengaran Xania. Dengan rasa penasaran, kakinya Ia bawa untuk keluar dari kamar mengintip siapa yang berada di luar kamarnya.

“Agatha?” gumamnya.

“Hai Xan, gue mau nginep di rumah lo gak mau kesepian.” Tutur Agatha memasang wajah mengiba nya.

Xania mengangguk, sudah biasa Agatha menginap di tempatnya atau bahkan di rumah Qara. Mereka pun paham kalau Agatha butuh seseorang untuk mengusir rasa kesepiannya.

“Aku pulang ya” pamit Cheva menangkup kedua sisi wajah Agatha, melabuhkan kecupan hangatnya di kening kekasihnya dengan dalam.

“Hati-hati sayang” ucap Agatha tersenyum malu-malu, dirinya salah tingkah dengan perbuatan Cheva barusan.

Xania mengajak Agatha untuk masuk ke dalam kamarnya. “Bisa-bisanya kalian adegan kayak gitu di depan gue?” kesalnya tak mampu menahan rasa galaunya.

“Ya sorry kali Xan, gue mana tau kalau Cheva bakal ngelakuin itu di depan lo.” Agatha menyengir tanpa merasa bersalah.

“Hem. Emm Tha lo bisa bantuin gue gak ya buat tugas. Gue pusing gak paham tugas kuliah gue. Udah gak paham malah galau, jadi makin menjadi kemalasan gue buat ngerjainnya. Lo kan pinter, jadi bisalah bantuin gue please.” Pinta Xania memohon dengan wajah iba.

Meskipun mereka berbeda jurusan, namun tak menutup kemungkinan kalau Agatha mampu mengerjakan tugas kuliahnya. Karena selama yang mereka tahu, banyak hal terkait bisnis yang Agatha kuasai sedari belia.

Namun sayangnya Agatha tak mengambil jurusan itu, karena tak berniat sama sekali untuk meneruskan bisnis keluarganya. Hingga pada akhirnya, wanita cantik itu memilih mengambil jurusan seni music. Bakat sekaligus hobi sahabatnya itu.

“Ck lo kebiasaan, ya udah entar gue bantuin. Tapi gue mau istirahat dulu sekarang, jangan ganggu gue. Entar malam deh gue bantuinnya.” Jelas Agatha berlalu merebahkan tubuhnya di kasur empuk Xania.

Xania mengangguk pelan menyaksikan Agatha yang mulai terbuai mimpi, hingga focusnya teralih saat ponselnya Kembali bedering. Saat dilihat layer, masih dari orang yang sama. Malas sekali untuk mengangkat panggilan itu. Tapi penasaran juga kemana Arlo semalam sampai pagi tadi kenapa tak menjawab panggilannya.

“…” Xania hanya berniat mengangkat saja tak berniat untuk bicara, jadilah dirinya hanya diam.

“Sayang, akhirnya kamu angkat juga. Kamu di mana? Di rumah? Aku ke rumah kamu sekarang oke.” Ujar Arlo dengan nada khawatir sekaligus lega.

“Gak usah” jawab Xania dengan dingin. Malas bertemu Arlo, biarlah pria itu kemana sesuai inginnya.

“Yang, maafin aku ya. Aku bakal jelasin kenapa gak sempet angkat panggilan dari kamu.” Pinta Arlo tampak mengiba.

“Kenapa?” tanya Xania dengan singkat.

“Aku ke rumah kamu sekarang” Ujar Arlo tanpa menunggu respon Xania segera bergegas melajukan mobilnya ke rumah kekasihnya itu.

Setelah beberapa saat, Xania dapat mendengar bunyi bel rumahnya. Sudah pasti itu kekasihnya. Dengan Langkah malas sekaligus rindu, dirinya meninggalkan kamarnya untuk menuju ke depan.

Arlo langsung merengkuh tubuh kekasihnya, Ia begitu khawatir karena Xania tak mengangkat panggilannya berkali-kali.

“Kamu bikin aku khawatir, yang” Ujar Arlo pelan.

“Kamu duluan yang bikin aku khawatir” bantah Xania tak terima, karena memang Arli dulu yang memulainya.

“Iya sayang, maafin aku ya.” Ujarnya mengiba.

“Jelasin” titah Xania melepaskan pelukan mereka.

Arlo menatap lekat Xania dengan penuh cinta. “Ada sepupu aku datang dari luar negeri, dia sakit parah dan harus diperiksa rutin. Tadi aku nemenin dia buat berobat, karena dia gak mau berobat kalau gak sama aku. Maafin aku ya gak bolang-bilang kamu dulu.” Jelas Arlo dengan jujur, meskipun tak sepenuhnya terbuka.

“Astaga? Siapa yang? Kok aku gak tau sepupu kamu ada yang sakit parah? Harusnya kamu bilang, jadi aku bisa nemenin kamu sekalian jengukin dia.” Ujar Xania menjadi iba.

“Aku gak salah milih kamu memang” tutur Arlo tersenyum mengusap lembut pipi Xania. Tingkat kepedulian Xania pada semua keluarganya memang patut diacungi jempol. Xania memang tak tegaan orangnya.

“Ih malah gombal kamu, jadi gimana keadaan sepupu kamu itu?” tanya Xania khawatir.

“Dia harus control setiap minggu.” Tutur Arlo dengan lesu, mengingat keadaan Shera. “Jadi gak marah lagi sama aku sekarang?” tanya Arlo terkekeh pelan.

“Jahat banget aku kalau marah karena kamu bantuin keluarga kamu yang sakit. Cuma lain kali kamu bilang biar aku gak khawatir. Mana tingkah kamu kayak mencurigakan, jadi bikin aku overthinking.” Ujar Xania mengomel.

“Iya sayang iya, lain kali aku kabarin ya.”

Next …….