NovelToon NovelToon
Inginku Bukan Ingin_Nya

Inginku Bukan Ingin_Nya

Status: tamat
Genre:Teen / Romantis / Tamat / Cerai / Teen Angst / Diam-Diam Cinta / bapak rumah tangga
Popularitas:2.2k
Nilai: 5
Nama Author: Imas

Kisah ini berlatar belakang tentang persahabatan dan percintaan. Menceritakan kisah seorang gadis yang hidup penuh keberantakan, Jianka namananya.

Jianka mempunyai seorang sahabat dekat yang dia pikir benar-benar seorang sahabat. Namun tidak, dia adalah orang yang paling tidak rela melihat Jianka bahagia.

Beruntung dalam dunia percintaan. Jianka dicintai dengan hebat oleh dua lelaki yang memiliki latar dan gaya hidup yang berbeda.

Jianka menjalin hubungan dekat dengan seorang lelaki bernama Arbian. Remaja zaman sekarang biasa menyebut hubungan ini dengan HTS. Meski demikian, kesetiaannya tak dapat diragukan.

Selain itu, Jianka juga dicintai oleh seorang Gus Muda yang mampu menjaga kehormatannya dan bersikap sangat dewasa.

Bagaimana kisah lengkap mereka? Cinta manakah yang mampu memenangkan Jianka? Kuy, ikuti ceritanya ....

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Imas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

The Story Of Mahza

"Astaga, Jianka tidak bisa dihubungi."

Setelah sampai di rumah. Arbian sibuk dengan ponselnya. Berjalan mondar-mandir dengan penuh rasa khawatir.

"Kenapa, Kak?"

"Jianka, Za."

"Kenapa?"

"Dia nggak bisa dihubungi."

"Ya, mungkin sibuk," jawab Iza enteng tanpa peduli wajah Arbian yang tampak begitu khawatir.

Tak lagi peduli dengan adiknya tersebut, Arbian bergegas mengenakan jas hujannya dan pergi ke rumah Jianka.

"Khawatir banget sampai rela nerjang hujan," ketus Iza menatap kepergian Arbian.

Pintu gerbang yang sudah terbuka, membuat Arbian merasa bingung. Tidak biasanya dia datang dalam kondisi terbuka seperti ini.

Adik perempuan Jianka yang tampak duduk di teras dengan wajah kosong. Wajah itu tampak bekas tangisannya.

"Permisi, kakak kamu ada?"

Adik perempuan Jianka memasang wajah kesal, "Kakak yang mana?" tanyanya sinis.

"Jianka."

"Dia belum pulang."

"Tolong cari dia, Kak. Kata kakak aku dia sudah pulang tadi, tapi dia pergi lagi setelah melihat ayah bunda bertengkar."

Jawaban itu membuat Arbian tak berdaya. Tubuhnya kaku seketika. Wajahnya beku dengan datarnya.

Kedua tangan Arbian mengepal seolah ingin menghantam dirinya sendiri, "Jadi, Jianka tadi sedang tidak baik-baik saja? Dan ...."

Napasnya terhembus panjang secara perlahan, "Dan dia melihat aku bersama Fiana. Astagaaa!"

"Kak? Kenapa Kakak hanya diam? Tolong cari kak Jianka!"

"Iya, aku cari."

Di atas sepeda motor itulah, Arbian melaju kencang dengan penuh penyesalan. Matanya menyorot tajam setiap sudut jalan, "Bodoh lo, Arbian! Lo bodoh! Hati yang berusaha lo jaga, berusaha lo bahagiain. Malah lo sakiti!"

...

"Duduk sini dulu, Mbak. Saya ambilin baju."

"Emang punya baju cewek?"

"Saya punya ibu, Mbak."

Jianka menatap langkah pergi pria berpeci itu dengan seksama. Langkahnya yang tampak berwibawa, "Lah, rumahnya deket banget."

"Assalamualaikum, Umma?"

"Wa'alaikumussalam. Iya, Nak?"

"Umma, boleh pinjem gamisnya?"

Mendengar permintaan putra semata wayangnya tersebut, ekspresi wajah sang ibunda tampak terkejut, "Buat apa, Nak?"

"Umma lihat gadis itu? Mahza nemuin dia di pinggir jalan, Umma."

Muhammad Mahza Mahendra, seorang pendakwah muda atau biasa disebut Gus muda di pesantren tempat dia tinggal. Lelaki yang akrab disapa Mahza ini, merupakan seorang cucu sekaligus putra seorang Kyai.

Tinggal dan dibesarkan di lingkungan yang paham akan aturan agama, wajar jika pria ini mengerti cara menjaga batasannya.

...

Pernyataan yang tidak masuk akal itu semakin membuat ibunda merasa bingung.

"Iya, Umma. Kasian sekali, dia kehujanan. Boleh Mahza pinjam gamisnya?"

"Bawa ke sini aja, Nak. Kok malah kamu suruh duduk di teras masjid? Mana masih kena hujan."

"Biarin, Umma. Terlanjur basah."

"Bawa ke sini, Nak," ulang sang ibunda dengan nada bicara yang semakin lembut.

Mematuhi perintah ibundanya, Mahza kembali menghampiri Jianka dan mengajaknya pulang.

...

Gamis hitam yang tampak anggun dan cantik begitu Jianka mengenakannya, "Gila! Aku pake baju kek gini? Udah kayak Ustadzah aja," celetuknya di depan cermin kamar.

Jianka menatap diam pantulan dirinya yang berada di cermin, "Kapan terakhir kali aku pakai baju kayak gini, ya? Aku Islam, tapi ...."

"Sayang, habis ini adzan isya'. Sekalian wudhu dan pergi ke masjid, ya. Kita shalat berjamaah."

Panggilan yang begitu lembut dari seorang ibu itu membuat hati Jianka tersentuh. Seolah, ini adalah kali pertamanya dia mendengar panggilan selembut itu.

Seperti mendapat sinar hidayah. Jianka hanya bisa mengangguk mendapat perintah lembut tersebut.

Jianka keluar kamar tepat saat Mahza keluar rumah untuk pergi ke masjid juga. Sosoknya ditangkap oleh Jianka dengan senyum yang tampak tak biasa, "Kok aku ngerasa setenang ini, ya, sejak ketemu dia?"

Mukena yang tampak cantik menutup rapi bagian tubuh Jianka. Lantunan Al-Qur'an sang Imam masjid yang begitu indah, membuat Jianka merasa nyaman mendengarnya.

Dalam sujud terakhir itulah, air matanya kembali turun. Bukan soal luka, kali ini Jianka benar-benar tidak mengerti, mengapa air matanya jatuh dengan sendirinya.

Selesai menunaikan shalat berjamaah, ibunda Mahza mengulurkan tangannya yang ditangkap oleh Jianka.

"Kamu mau ikut kajian?"

"Kajian apa, Umm ... ma?" tanya Jianka bingung untuk memanggil wanita yang setia mendampinginya tersebut.

Senyum ibunda Mahza yang tampak begitu indah, "Umma, Mahza biasa manggil Umma dengan sebutan itu."

"Mahza?"

"Iya, Mahza. Dia putra tunggal Umma. Setelah isya' ini, dia ngisi kajian di serambi. Kamu mau ikut?"

"Boleh, Umma."

Jianka yang sudah siap bersama kerudung segi empat hitam dengan corak coklat yang tampak cantik dan rapi meski tak pernah memakainya.

Mata Mahza yang sempat membeku menatap langkahnya yang duduk bersama ibunda tercinta. Pakaiannya tampak selaras dengan pakaian yang Mahza pakai. Mata yang masih menatap penuh makna, berusaha dia palingkan seketika.

Tak hanya Mahza, seluruh pemuda-pemudi yang juga tampak menatap penuh heran sosok yang asing itu, tampak begitu dekat dengan wanita yang mereka hormati tersebut.

Menangkap seluruh mata yang memandang Jianka, Jianka tertunduk diselimuti rasa malu sekaligus takut.

"Karena abah sedang ada acara, kajian hari ini saya yang akan menggantikan beliau."

"Imam tadi juga Mahza, Umma?"

"Iya, Nak."

Jianka menatap kagum lelaki yang tampak masih muda itu. Yang dengan pandai menyampaikan setiap materi dengan lancarnya.

"Ada yang perlu ditanyakan?"

"Tidak, Gus," jawab mereka serentak.

"Gus?" sahut Jianka tanpa sadar dengan suara yang mampu didengar oleh para jamaah.

"Iya? Gimana, Mbak?"

Jianka yang baru menyadari hal tersebut, seketika bingung dan tampak gugup. Bibirnya yang gemetar ditangkap jelas oleh Mahza yang masih menunggu pertanyaannya.

"Gimana, Mbak? Apa yang ingin ditanyakan?"

"Nggak, maksudnya ...."

"Maksudnya apa, Mbak?" tanya Mahza yang tak mendengar kelanjutan dari Jianka.

"Nggak, saya nggak mau nanya."

"Terus, tadi kenapa manggil?"

Jianka semakin dibuat bingung untuk mencari alasan, "Sial! Lo emang sengaja bikin gue malu, ya?"

"Nggak, tadi cuma ... kelepasan aja, Za."

Seluruh mata menatap Jianka seketika. Lelaki yang tidak pernah mereka panggil dengan namanya secara langsung itu, mendadak dipanggil secara langsung oleh wanita asing yang baru saja mereka lihat.

Jianka semakin dibuat takut, "Umma, kenapa mereka ngelihatin Jianka?" tanya polos Jianka sambil menggeser duduknya untuk lebih menempel pada ibunda Mahza.

Beliau hanya tersenyum melihat Jianka yang merasa gugup, "Nggak papa, kamu cantik."

Begitu juga Mahza, senyumnya tersembunyi di balik kepala yang ia tundukkan.

"Udah, jangan dilihatin gitu. Anaknya takut," ucap Mahza sambil menahan tawanya.

"Ini tempat apaan, sih? Gila banget, sumpah! Emang kenapa kalau aku manggil dia Mahza? Kan emang namanya," kesal Jianka dalam hati.

Ponsel ibunda yang berdering, membuat beliau berpamitan meninggalkan Jianka terlebih dahulu. Setelah acara ditutup, jamaah yang tak kunjung bangkit membuat Jianka merasa sungkan juga untuk bangkit.

Itulah adab, mereka tak beranjak sebelum sang pemateri beranjak. Tak peduli siapa pun yang menyampaikan kajian, adab itu selalu berlaku.

Jianka yang hanya tertunduk diam ditangkap oleh sudut mata Mahza yang memahami keadaannya, "Aduh, Umma kok nggak balik-balik. Ini kalau aku tinggal, kasian banget," gelisah Mahza yang ingin meninggalkan tempat.

Langkahnya yang mendekati Jianka, ditatap rinci oleh para jamaahnya.

"Mbak, mau pergi sekarang?"

"Saya malu," balas Jianka tanpa menaikkan wajahnya.

"Silahkan berdiri dan kembali ke rumah."

"Saya nggak berani, Mahza."

Mahza merendahkan posisinya, "Berdiri saja, saya temani."

Mahza mengambil beberapa langkah untuk mundur. Setelah Jianka berdiri, Mahza berjalan lebih dulu dan diikuti Jianka yang berjalan di belakangnya.

Seluruh jamaah hanya dibuat bingung oleh keduanya. Beberapa tanda tanya hanya sibuk bermain di kepala mereka.

"Ceweknya Gus Mahza?"

"Nggak mungkin. Masa beliau pacaran."

"Saudaranya mungkin."

...

"Abah?" tanya Mahza pada ibundanya yang baru saja menutup panggilan.

"Iya, Nak. Katanya, Gus Hayyan minta kamu buat segera balik."

Tidak seperti biasanya, Mahza tampak tertunduk berat saat mendengarnya.

"Kenapa? Tumben lemes gitu?"

"Mahza baru di rumah satu minggu lho, Umma," jawab Mahza memelas.

"Iya, iya, Nak. Kalau masih pengen di rumah, bilang aja sama Gus Hayyan."

...***...

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!