🌹Alan Praja Diwangsa & Inanti Faradiya🌹
Ini hanya sepenggal cerita tentang gadis miskin yang diperkosa seorang pengusaha kaya, menjadi istrinya namun tidak dianggap. Bahkan, anaknya yang ada dalam kandungannya tidak diinginkan.
Inanti tersiksa dengan sikap Alan, tapi tidak ada yang bisa dia lakukan selain berdoa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Red Lily, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tetap Mencintainya
🌹VOTE🌹
Nyatanya, kerja di sini tidaklah selelah yang Inanti bayangkan. Dokter Imam buka praktek pagi dari jam tujuh sampai jam sembilan, lalu dia ke rumah sakit dan kembali lagi jam empat sore sampai jam sembilan malam.
"Nan, saya berangkat dulu."
"Dok, boleh tidak jika Inan selesai bersih bersih pergi ke kantor polisi?"
Dokter Imam mengerti apa maksudku. "Tentu, hati hati di jalan."
"Iya, Dok."
"Assalamualikum."
"Waalaikum salam."
Dia pergi, dengan mobil berwarna biru yang sama dengan kemejanya. Dokter Imam sangat perhatian, dia baik sekali. Sayangnya, hati ini tidak diberikan Allah pada pria sepertinya, Inanti mencintai suaminya, yang dingin dan juga kejam. Setiap harinya hanya memarahi. Ah, mengingatnya saja membuat Inanti ingin kembali menangis.
Asisten dokter Imam yang biasanya jadi resepsionis juga bekerja di rumah sakit, yang mana meninggalkannya sendirian di sini.
Lantai satu adalah tempat praktek dokter, sementara lantai dua adalah rumahnya.
Uang di dompetnya masih cukup banyak, mengingat Mama memberi uang pada Inanti lima ratus ribu kemarin. Sebenarnya mereka baik, tapi tidak terlalu peduli pada hubungan Inanti dengan Alan. Lagipula mereka ada di Bogor, tidak mungkin tahu bagaimana Inanti di tempatkan di rumah Alan, mengingat Papa Riganta masih sangat membenci Alan atas apa yang dia lakukan, yaitu memberi aib pada keluarga Praja Diwangsa.
Tidak jauh dari klinik, tapi tempat Bapak berada melewati kampus Alan. Saat angkot melewatinya, Inanti menunduk enggan melihat atau memastikan apakah dia ada.
Sampai tidak sadar Inanti sampai di kantor polisi, mereka yang sudah mengenalnya menuntunnya untuk bertemu Bapak. Dan mereka hanya terhalang kaca tebal.
Yang Inanti lihat, mata sendunya sembab.
"Bapak….. Bapak sehat?"
Dia terdiam, tanpa menatap mata anaknya.
"Bapak…." Inanti mencoba menarik kesadarannya. "Bapak kenapa?"
Dan Inanti terkejut saat air matanya menetes. "Bapak, Bapak kenapa? Bapak, ada apa?"
Pelan, dia membalas tatapanku. "Maafkan Bapak, Nan."
"Bapak…."
"Maafkan Bapak."
"Bapak kenapa?" Inanti panik melihat dia menangis tersedu sedu.
"Bapak janji akan jadi Bapak yang baik untukmu, menggantikan Ibumu."
Sampai akhirnya Inanti sadar apa yang terjadi. "Bapak…"
"Jangan nangis, Nan. Kalau Bapak keluar dari penjara nanti, Bapak akan bawa kamu pergi dari keluarga Praja Diwangsa. Jangan khawatir, sabar sebentar lagi…"
"Bapak, Inan ga papa kok."
"Kamu pikir Bapak gak tau? Kamu gak bahagia kan di keluarga itu? Kamu sedih kan di sana? Tenang, Nan, Bapak akan bawa kamu jika keluar nanti."
Inanti tersenyum. "Iya, Pak. Inan ngerti kok."
Dan itulah moment pertama Inanti dan Bapak saling bertukar kasih sayang. Sosok Bapak yang dulunya tukang pukul, meludahi, bahkan mencaci anaknya sendiri, kini telah hilang. Terhapus oleh air mata penyesalan dan sebutan Allah dalam janjinya. Bapaknya berubah, dan Inanti senang.
Bahkan saat waktu kunjungan selesai pun, Inanti masih menangis sambil menunggu angkot.
"Hei, Manis."
Bapak adalah sosok yang Inanti takuti dulu, dia bahkan pernah hampir melayangkan pisau pada Ibu hanya karena tidak memberinya uang.
"Hai, Manis. Kok nangis?"
Ya Allah, kini dirinya semakin percaya padamu.
"Hei, Manis, kok dianggurin sih?"
Terima kasih atas semua ya--
"Inanti, woy! Kenapa sih?"
"Eh, Judi?" Inanti menghapus air matanya seketika.
"Kenapa nangis?" Dia turun dari motor Ninja dan duduk di bangku terminal. "Nunggu angkot?"
"Iya."
"Terus karna angkotnya gak dateng lu nangis?"
"Engga, apasih." Inanti memalingkan wajah dan menutup sebagian muka dengan kerudung.
"Adem, Nan, apalagi liat lu. Tadikan di jalan panas, terus dalem hati bertanya tanya, itu siapa cewe cantik yang nunggu angkot."
"Apaan sih basi amat." Inanti enggan tertawa, aalagi saat Judi tertawa keras.
"Hehe, manyun terus itu bibir. Ngapain sih di sini?"
"Nunggu angkot, kan tadi tau."
"Ya ella galak amat sih."
"Lagian kamu ga ada kerjaan gitu nguntit terus?" Inanti mulai berani karena kesal.
Dan Judi malah tertawa keras. "Udah geer galak lagi, untung cantik ya."
"Ya iyalah, kalau ganteng mah Inan jadi laki."
"Ih gemesin banget, lucu deh."
"Apasih!" Inanti menepak tangan Judi yang mencoba menyentuh pipinya. "Sana pergi, gaaada kerjaan apa?"
"Tadi nangis, sekarang marah. Kenapa sih lu? Pms?"
Inanti diam, enggan berkata kata lagi.
"Nan…" Dia mengarahkan tubuhnya pada Inanti. "Cewek sensi banget sih, ga bisa ya dimainin kode?"
"Apa sih."
"Mau to the point?"
"Hah?"
"Lu tau ga, lu tuh manissssssssss banget, cantik. Sadar gak?"
"Apasih?"
"Gini nih, sebenernya sejak awal kita ketemu, gue su--"
"Aku udah nikah."
Inanti menatap wajah Judi terkejut. "Gak lucu, Nan."
"Inanti udah nikah, sekarang lagi hamil."
"Umur lu be--"
"Inanti udah nikah." Dan Inanti memilih meninggalkannya saat angkot datang.
🌹🌹🌹
Kenyataannya, bukan Inanti yang pulang paling malam. Alan pulang pukul 11 malam. Lebih parah lagi, saat Inanti mengintip dari balik jendela depan, dia turun dari mobil pink yang Inanti yakini di dalamnya adalah Vanesa.
"Kakak kok baru pulang?" Tanya Inanti saat pintu terbuka.
Seperti biasa, dia tidak menjawab.
"Mobil kakak kemana?"
Inilah kenyataannya, apa yang Inanti katakan tidak dihiraukan. Kenyataan lannya, Inanti mencintai Alan. Sejak Inanti masuk kuliah, melihatnya sibuk dengan ponsel dan langkahnya yang gagah. Alan membuatnya terpana.
"Kakak udah makan?"
"Kamu kerja?" Suara beratnya terdengar, berdiri menjulang di hadapan Inanti. "Kamu kerja?"
"Iya, Kak."
"Kenapa kamu kerja? Bi Idah ga cukup kamu suruh suruh? Kamu mau cari uang buat nambah pembantu? Atau mau keluar ketemu sama selingkuhan kamu?"
"Hah? Maksud kakak apa?"
"Kamu pikir saya ga liat kamu ngobrol sama laki laki lain?" Nada suaranya meninggi, dan Inanti melihat wajahnya merah melepuh seolah kepanasan.
"Itu temen Inan."
Dia berdecak, hendak meninggalkannya jika saja Inanti tidak menahannya. "Inan kerja juga buat anak Inan, Kak."
Dia berbalik mengerutkan kening.
Inanti melepaskan tangannya pelan. "Inan kerja juga buat anak Inan."
Inanti menghapus kasar air mata sialan yang keluar. "Kakak gak pernah peduliin anak ini, Kakak gak pernah kasih uang buat periksa kandungan, gak pernah kasih uang buat beli persiapan anak ini atau buat kenyamanan Inan."
Alan malah terkekeh, yang mana membuat air mata Inanti berjatuhan. Apalagi Alan memalingkan wajah datarnya yang tampan.
Inanti tahu Alan marah, apalagi saat mengeluarkan kartu kredit dari dalam dompet. "Pake ini, jangan buat saya semakin malu dengan keberadaan kamu, dengan keberadaan anak kamu. Di mana pun kamu berada, nama saya akan di bawa bawa, nama baik saya dipertaruhkan. Udah nyusahin orang, bikin malu saya juga, dasar bodoh."
🌹🌹🌹
Tbc