Bagi orang lain, aku adalah Prayasti Mandagiri Bhirawa.
Tapi bagimu, aku tetaplah Karmala Bening Kalbu.
Aku akan selalu menjadi karma dari perbuatanmu di masa lalu.
Darah yang mengalir di nadi ini, tidak akan mencemari bening kalbuku untuk selalu berpihak pada kebenaran.
Kesalahan tetaplah kesalahan ... bagaimanapun kau memohon padaku, bersiaplah hadapi hukumanmu!!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ➖ D H❗V ➖, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
06. BERITA HOAX
Kembali ke polisi yang melanjutkan pencarian ...
Masih menyusuri jalan setapak, sampai berakhir di sebuah kolong jembatan. Tidak ada aktifitas yang mencurigakan di sana. Dulunya memang tempat itu digunakan sebagai tempat tinggal oleh para tunawisma, pengemis dan gelandangan, sebelum pemda setempat menggusur dan memindahkan mereka ke rumah susun yang lebih layak huni. Tempat itu sudah tidak lagi kumuh seperti dulu.
"Kami dari kepolisian, apakah kalian lihat ada beberapa orang yang lewat ke sini?" Seorang polisi menghampiri dua pemuda yang sedang memancing. Seorang berambut ikal berwarna hitam dan seorang lagi tanpa rambut alias botak plontos.
"Maksud Anda?"
"Jawab saja pertanyaan saya!"
"Oh, tadi memang ada seorang nenek tua lewat di sini Pak. Memetik daun singkong liar di pinggir sungai dan setelah itu pergi ke arah sana. Apakah dia ibu Anda?" pemuda berkepala plontos itu menjawab, sambil menunjuk arah dengan tangan kanannya.
"Bukan, ibu saya di rumah baik-baik saja." Polisi itu mulai kesal. Tampaknya pemuda itu sengaja mengerjainya.
"Saya mencari beberapa orang yang melarikan diri dari bangunan tua itu." Polisi yang lain mencoba menjelaskan.
"Maaf Pak, kami tidak tahu siapa yang Anda maksud. Kami juga baru tiba di sini beberapa menit yang lalu. Anda bisa melihat kami belum mendapat ikan seekorpun. Lihatlah, ember ini masih kosong," jawab pemuda berambut ikal dengan ekspresi takut, sambil mengangkat ember.
Lalu menoleh ke arah temannya yang botak, "Jangan membuat pak polisi marah, nanti kita dalam masalah. Kita harus dapat ikan untuk makan malam nanti."
Sepertinya ucapan pemuda berambut ikal itu, bisa meyakinkan polisi. Polisi kembali menyusuri area itu untuk memeriksa apakah ada tempat persembunyian di sana.
"Kita kehilangan jejak mereka. Sebaiknya kita segera kembali ke kantor."
Beberapa saat kemudian, polisi meninggalkan tempat itu.
Setelah polisi tidak tampak lagi, dua pemuda tadi segera membereskan peralatan pancing mereka. Pemuda berambut ikal melepas wig sambil menggaruk kepalanya. "Sial*n gatal sekali," keluhnya.
"Setidaknya kita sudah berhasil mengelabuhi polisi bodoh itu. Dengan begitu mereka tidak akan menemukan markas kita."
Polisi kembali ke gedung tua itu.
"Lelaki ini ternyata pak Sabda, pengusaha terkenal yang sedang naik daun."
"Tapi kenapa dia bisa di sini? Bukankah dia selalu diikuti pengawal ke mana pun dia pergi?"
"Sepertinya dia sudah dijebak. Kita lihat saja hasil pemeriksaan nanti."
Rombongan polisi membawa Sabda dan beberapa barang bukti yang mereka temukan di gedung tua itu ke kantor. Semoga ada petunjuk sidik jari yang ditinggalkan di barang bukti itu.
Sayang sekali CCTV di bangunan tua itu sudah tidak berfungsi. Hanya Sabda satu-satunya yang diharapkan sebagai saksi kunci.
Di komplek kantor polisi itu, ada sebuah unit bangunan khusus kesehatan, sejenis klinik kecil untuk perawatan darurat.
Seorang dokter memeriksa kondisi Sabda yang terbaring lemah dan belum sadar dari pingsan, akibat obat bius dosis tinggi. Setelah perawat memasang infus di tangan kiri Sabda, dokter keluar dari ruangan itu.
"Setelah sadar, berikan makanan dan minuman padanya. Pasien mengalami dehidrasi dan kekurangan nutrisi," dokter memberikan instruksi pada seorang perawat.
"Baik Dok."
Beberapa waktu berlalu, kasus Sabda belum juga menemukan titik terang. Barang bukti yang dibawa oleh polisi, tidak meninggalkan jejak sidik jari sedikitpun. Sehingga tidak ada petunjuk yang bisa diharapkan dari sana. Sabda hanya bisa memberikan keterangan sesuai yang dilihat dan didengarnya saat tersadar. Selebihnya Sabda tidak tahu apapun. Penyelidikan dan pencarian tersangka masih terus berlangsung.
*
Sementara itu, waktu dini hari di sebuah rumah di mana penghuninya masih terlelap ...
Prado terbangun dari tidurnya ketika mendengar suara dering ponsel. Awalnya dia mengira sedang bermimpi, hingga menyadari ketika suara dering ponselnya terus bersambung tanpa jeda.
Masih menahan rasa kantuk, dengan mata setengah terpejam, Prado berusaha meraih ponsel di atas meja nakas di samping tempat tidurnya.
“Sh*t ... siapa yang meneleponku di jam segini?” Umpatannya berhenti setelah mengecheck ponselnya, kening Prado berkerut heran.
“Ada apa Papa meneleponku?” sapanya setelah panggilannya tersambung.
“Hope telah diculik dan terluka. Tapi sekarang dia sudah ada di tangan yang aman. Aku sudah menugaskan seseorang untuk menjaganya. Juga beberapa pengawal bayangan.”
Mr. Anthony Garcia menceritakan siapa dalang dari kekacauan itu. Dan juga kondisi Hope dan rencana ke depan untuk memperbaiki kondisi matanya.
“Hope belum mengetahui apapun tentang ini semua. Kupikir itu akan lebih aman untuknya. Dan kau tidak perlu menemuinya dalam waktu dekat. Kau tak perlu kawatir, di tubuhnya mengalir darah Garcia.”
Mr. Anthony Garcia tersenyum mengingat kembali kejadian dimana Hope tidak menangis sedikitpun ketika disekap dan dilukai matanya. Bahkan bisa beracting lupa ingatan dan menyembunyikan identitasnya.
Mendengar semua itu, rasa kantuk Prado langsung lenyap.
Bruk ...
Suara bantal dan selimut terjatuh di lantai karena terkena tendangan kaki kiri Prado. Dia menggeram menahan amarahnya, “Kita harus segera bertindak, Pa!”
“Tenang dulu, kita ikuti saja permainan musuh. Kita harus bermain strategi, dan memastikan keluarga kita tetap aman. Papa punya rencana besar ke depan.”
Prado hanya mengangguk, dia sadar ... papanya selalu selangkah lebih maju daripada dirinya. Dan Prado harus banyak belajar dari papanya.
“Sabda ditahan di kantor polisi. Papa tahu dia tidak bersalah. Adik ipar bodohmu itu sudah ditipu mentah-mentah oleh sahabatnya sendiri. Kau ... temuilah dia di sana.”
“Baik, Pa.”
“Prada, Love dan Faith kau saja yang urus. Untuk sementara biarkan mereka tinggal di rumahmu. Kalau kondisi Prada sudah membaik, Papa ingin kau membawanya ke suatu tempat.”
“Okay, Prado setuju...”
*
Beberapa waktu berlalu, kaki tangan Beno mulai bergerak mengirim paket dokumen ke kantor polisi dan juga ke beberapa wartawan. Beno berencana memviralkan kesalahan settingan yang dilakukan Sabda. Semua itu untuk membebaskan dirinya sendiri dari jerat hukum. Copy dan foto berkas yang ditandatangani Sabda dengan paksa sudah menyebar tak terkendali. Menggiring opini publik untuk memberikan sanksi sosial secara tidak langsung. Berita miring tentang Sabda sudah mendominasi televisi, radio dan media sosial.
Pihak kepolisian sudah mengadakan konferensi pers untuk meredakan issue yang berhembus. Bagaimanapun juga, belum ada bukti dan kebenaran dari kasus itu. Meskipun begitu beberapa rekan bisnis mulai ragu dan menarik kembali modal usaha, menjual saham dan menghentikan kerjasama dengan perusahaan milik Sabda. Tentu saja hal ini menjadi angin segar bagi lawan bisnis Sabda. Semua lini usaha Sabda terkena imbas dengan adanya kasus ini.
Beno mengajak beberapa lawan bisnis Sabda untuk bekerjasama. Memberikan bukti-bukti palsu settingan mereka tentang investasi bodong yang seolah dilakukan Sabda. Beno juga menyiapkan saksi palsu dari dunia hitam, dimana dia terlibat kejahatan penjualan organ tubuh.
Beberapa anak buah Sabda disekap dan diancam untuk membuat kesaksian bahwa Sabda adalah dalang utama di balik organisasi hitam itu. Mereka tidak berkutik, karena keluarga mereka juga disandra. Posisi Sabda benar-benar terjepit saat ini. Sementara proses hukum seperti jalan di tempat.
Seberapapun usaha Prado menghalangi Prada dan keponakannya untuk tidak melihat atau membaca berita hoax itu, tetap tidak membuahkan hasil.
Prada sangat down secara mental dan berpengaruh pada fisiknya. Sementara Hope dan Love dialihkan dengan kegiatan home schooling untuk menghindari aksi bullying di sekolah.
Gosip tetangga juga mulai berseliweran. Pengaruh lain dirasakan oleh keluarga Sayekti dan bayi merah yang baru saja dilahirkannya. Rumah megah setengah jadi itu kini selalu tertutup, seolah tak ada kehidupan di dalamnya. Sampai suara tangis bayi itu menghilang dari sana.