Ini adalah novel religi pertamaku. Banyak banget yang butuh perbaikan sana sini. jika ada yang tidak sesuai, othor terima banget masukannya.
Tiba-tiba dilamar oleh seorang Ustad, membuat Arin berpikir dan melakukan berbagai cara untuk membatalkan pernikahan mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Danie A, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6
Aku, Wirda, dan dua santri yang membantuku mengurus motor masih ada di pinggir jalan untuk mencari bantuan. Nggak ada tukang tambal ban. Nggak ada alat tambal juga.
"Udah mau malem, gimana nih?" ujar seorang santri pada temannya.
Aku samar-samar mendengar percakapan mereka. Tanpa alat begini, gimana aku mau ngurus banku yang kempes? Bisa-bisa, aku nginep di pinggir jalan.
"Mbak, di sini nggak ada tempat tambal ban. Saya panggil Mas Huda aja, ya?" ucap seorang santri kemudian.
Aduh, males banget deh kalau harus ketemu Huda lagi! Malu juga sih aku, udah pamit dari tadi, tapi ternyata masih kejebak di dekat pesantren.
"Nggak usah deh, Mas. Boleh minta tolong cariin kendaraan umum aja, nggak? Yang penting saya bisa pulang dulu," cetusku.
"Susah di sini, Mbak. Jalan raya masih jauh," timpal santri itu.
"Udah, Rin. Mending kita minta bantuan Mas Huda aja. Kita nggak punya banyak pilihan," sahut Wirda membujukku.
Akhirnya salah satu santri pun pergi mencari Huda untuk meminta bantuan. Aku sudah mencoba mencegah, Tapi aku tak mempunyai solusi lain untuk mengurus ban kendaraanku yang masih kempes.
"Sini Mbak! Duduk di sini dulu," ucap seorang santri yang masih menemaniku menunggu bantuan.
Tak lama kemudian, santri yang pergi memanggil Huda, akhirnya kembali dengan membawa pria itu. Tidak hanya membawa Huda saja, mereka juga membawa peralatan tambal untuk mengurus motorku.
"Assalamualaikum, Arin! Kamu baik-baik aja?" tanya Huda menyapa diriku dan juga Wirda.
Aku hanya mengangguk tanpa memberikan banyak jawaban. "Saya urus dulu motornya, ya?" sahut Huda lagi.
Ketiga pria itu pun mulai mengotak-atik motorku dan sibuk menambal ban. Sambil menunggu motorku diperbaiki, sesekali aku menggosokkan kedua tanganku untuk menghangatkan kulitku yang sudah kedinginan.
Angin berhembus semakin kencang dan membuat tubuhku makin menggigil. Aku harus bisa menghangatkan tubuhku, sebelum badanku membeku.
Tak lama kemudian, tiba-tiba kulihat Huda berdiri dan menghentikan aktivitasnya sejenak. Pria itu berjalan menuju kendaraannya, dan mengeluarkan sesuatu yang ia simpan di motornya. Apa motorku sudah selesai diperbaiki?
Kupikir motorku sudah selesai diotak-atik, tapi ternyata Huda hanya mengambil jaket, kemudian memberikannya padaku. Apa dia melihatku yang kedinginan sejak tadi? Apa Huda lihat aku yang dari tadi gosokin tangan untuk menghangatkan diri?
"Udara makin dingin. Kamu bisa pilek nanti," ujar Huda. "Pakai jaketnya sekarang!" perintah Huda padaku.
Karena tak kuat lagi menahan dingin, akhirnya aku pun menerima jaket darinya dengan terpaksa. Ternyata ini adalah jaket yang ditawarkan Huda padaku tadi. Aku sempat menolak jaket ini, tapi sekarang aku justru dihangatkan oleh jaket ini.
"Terima kasih!" ucapku lirih dengan wajah menahan malu. Siapa yang nggak bakal malu? Tadi dengan percaya dirinya, aku bilang ke Huda kalau aku nggak akan kedinginan. Tadi dengan percaya dirinya, aku bilang ke Huda kalau aku bisa tahan dingin. Tapi aku justru hampir beku di depan Huda tanpa jaket ini.
"Sudah selesai!" ucap Huda padaku begitu pria berhasil membetulkan kendaraan milikku, hingga aku akhirnya bisa memakainya kembali.
Untung deh udah beres," gumamku dengan perasaan lega.
Aku pun segera bersiap-siap untuk melanjutkan perjalanan pulang ke rumah. "Ayo, Wir!" ajakku pada Wirda untuk segera bersiap.
"Saya temenin pulangnya, ya?" tawar Huda sebelum melepasku pergi. "Takut nanti ada apa-apa lagi di jalan. Di sekitar sini sampai ke jalan raya nggak ada tukang tambal ban. Kalau motor kamu kenapa-napa lagi, kamu mungkin bakal kesulitan cari bantuan," sambungnya.
Aku pun mengingat kembali jalanan yang aku lalui saat berangkat tadi. Memang di sepanjang perjalanan, aku tidak melihat banyak rumah. Suasana jalanan yang aku lewati juga begitu sepi. Daripada rumah, aku lebih banyak melihat sawah, ladang, dan juga hutan jati. Jika terjadi sesuatu lagi pada kendaraanku, mungkin aku tidak akan bisa pulang.
"Terserah kamu aja!" sahutku pada Huda. Nggak mungkin juga aku menolak tawaran dari Huda untuk mengawalku pulang. Meskipun agak gengsi, terpaksa aku menerima tawarannya untuk mengantisipasi jika aku terkena sial lagi.
"Mau berangkat sekarang?"
Aku mengangguk dan bergegas menyalakan mesin motor. Aku melajukan motorku terlebih dahulu, kemudian Huda dan salah seorang santri mengikutiku dari belakang. Rasanya lebih aman, dan nggak terlalu sepi dengan adanya Huda yang berkendara di belakangku.
"Mas Huda perhatian banget, ya?" ujar Wirda padaku.
Aku hanya manggut-manggut tanpa ingin memberikan tanggapan. Mau sebaik apapun pria itu, aku tetap akan membatalkan lamaran ini.
Akhirnya aku dan Wirda pun berhasil mencapai kota. Kalau udah sampai sini sih, aku udah bisa tenang. Aku udah nggak perlu lagi dikawal sama Huda.
"Kenapa berhenti, Rin?" tanya Wirda padaku yang tiba-tiba menghentikan kendaraan.
Huda yang masih membuntutiku pun ikut berhenti dan menghampiriku. "Kenapa, Rin? Ada masalah?" tanya Huda.
"Kita udah sampai kota. Mas bisa pergi sekarang," ucapku pada Huda.
"Tapi kan kamu belum sampai rumah," timpal Huda.
"Tapi ini udah sampai kota. Aku bisa pulang sendiri. Rumahku juga udah nggak jauh," seruku pada Huda.
Lagi-lagi ini orang ngajak debat. Dari tadi bertingkah semaunya terus, tanpa mau dengerin pendapat aku.
"Saya temenin sampai rumah, ya?" bujuk Huda dengan suara lembut.
"Nggak perlu, Mas! Aku bisa pulang sendiri! Mas balik aja ke pondok!" tegasku menolak.
"Tapi udah nanggung, Rin. Mendingan saya antar aja sekalian sampai rumah, ya?" tukas Huda.
Cowok ini ngeselin banget, sih! Aku harus ngomong pakai bahasa apa lagi supaya dia mau ngerti?
Apa pun yang aku ucapin ke Huda, selalu aja ditepis. Dia cuma bisa maksain kehendak dan ngajak debat terus dari tadi.
"Terserah Mas kalau gitu!" sahutku kemudian.
Udah males aku ngeladenin orang kaya Huda. Nyerah aku ngehadepin dia.
"Jangan cemberut terus dong, Rin!" ucap Wirda padaku.
"Udah, deh! Terserah dia mau ngapain! Capek aku ngomong sama orang kaya dia," timpalku.
Aku segera mengantar Wirda pulang ke rumah. Sesampainya di rumah Wirda, aku pun berencana main dulu di sana supaya Huda pulang dan nggak terus-terusan ngintilin aku sampai rumah.
"Makasih ya, Rin!" ucap Wirda begitu turun dari motor.
"Aku yang seharusnya bilang makasih karena udah ditemenin. Aku boleh mampir dulu nggak?" tanyaku pada Wirda dengan sengaja untuk mengusir Huda dengan halus dari hadapanku.
Tapi sayangnya, Wirda nggak mendukung rencanaku. "Kamu langsung pulang aja, Rin. Kasihan Mas Huda kalau masih harus nungguin kamu di sini," ujar Wirda.
"Tapi kan ...."
"Kasihan Mas Huda, Rin. Kamu pulang aja sekarang biar Mas Huda bisa cepet pulang juga," sambung Wirda.
Dengan terpaksa, aku pun pergi dari rumah Wirda dan masih dikawal oleh Huda. Aku pun memacu motorku dengan kencang agar Huda bisa segera pergi dari hadapanku.
"Akhirnya sampai juga! Aku udah nggak tahan lihat muka sok ramah Mas Huda! Tolong cepetan pergi dari sini!" gerutuku dalam hati.
****
akhirnya nikah juga..
syukur deh kalau wirda menyesali perbuatannya.. semoga Wirda diketemukan dengan org yang tepat yaa thor...