Lareyna adalah istri yang semena-mena pada suaminya karena selama ini dia mengira suaminya menikahinya hanya karena bisnis.
Sebuah kesalahpahaman terjadi antara mereka hingga hubungan mereka semakin jauh padahal sudah berlangsung selama tiga tahun.
Hingga sebuah insiden terjadi, Ayden menyelamatkannya dan menukar nyawanya demi keselamatan Lareyna. Di ujung kebersamaan mereka Lareyna baru tahu kalau Ayden selama ini mencintainya.
Dia menyesal karena sudah mengabaikan Ayden, andai ada kesempatan kedua dia ingin memperbaiki semuanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vicka Villya Ramadhani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rahasia Kamar Ayden
Tubuh Lareyna terasa kaku, dia berdiri menatap prosesi pemakaman suaminya yang sudah berkorban nyawa untuknya. Lelaki parasit bernama Ayden Graham kini telah tiada, meninggalkan ungkapan cintanya yang semakin mencekik perasaan Lareyna.
Mengapa lelaki itu pergi begitu saja setelah berhasil membuat Lareyna terpengaruh dengan pernyataan cintanya? Apa dia tidak ingin membuktikan semua itu?
Di detik berikutnya Lareyna menertawakan dirinya dalam hati. Dia begitu bodoh, mengapa dia masih ingin Ayden membuktikan ucapannya, sedangkan tubunya yang terbaring di dalam peti mati itu adalah buktinya. Apakah semua itu masih belum cukup?
Ah ya, tubuh Ayden hancur begitu pula dengan tubuh Dwine. Dari mobil itu, hanya dia yang selamat karena Ayden mendorongnya keluar sebelum insiden itu terjadi.
"Apa yang kamu pikirkan, Reyna? Aku memuji aktingmu yang begitu natural. Setelah ini kita akan mendapatkan segalanya. Kamu nggak perlu bersusah payah untuk menyingkirkan Ayden lagi, 'kan?"
Jika biasanya Lareyna sangat suka dengan sentuhan Morgan, untuk kali ini dia justru tidak ingin disentuh oleh siapapun selain Ayden yang kini petinya sudah terkubur. Dia merindukan sentuhan hangat suaminya itu, tetapi semuanya terlambat.
"Aku nggak bisa bicara denganmu sekarang, Morgan. Aku mau menenangkan diriku dulu," ucap Lareyna seraya beranjak pergi dari pemakaman.
Dia berjalan bersama bibi setianya, wanita paruh baya yang selalu mengurusinya dari kecil hingga saat ini. Asisten rumah tangga itu lebih dari seorang ibu untuk Lareyna.
"Apa Nona tidak ingin tinggal lebih lama? Tuan Ayden tidak memiliki siapapun selain Nona," bisik Layla.
Mata hazel itu melirik ke arah kuburan yang masih basah dan orang-orang sudah mulai berkurang.
"Nggak Bi, ayo kita pulang. Aku merasa sangat lemas. Bibi 'kan tahu kalau kondisi aku nggak baik," jawab Lareyna sambil menahan sesak di dadanya.
Layla hanya membuang napas pendek, dia tidak bisa menebak apa yang ada di dalam hati Lareyna. Sejak dia pingsan dan demam semalam, dia terus memanggil nama Ayden. Selama yang Layla tahu, nona mudanya ini membenci Ayden dan kebenciannya itu hingga ke tulang.
Langkah mereka berjalan beriringan, Morgan ada di sana sambil melihat punggung Lareyna dengan senyuman memudar.
Di dalam mobil Lareyna terus menatap ke arah jendela sambil menahan sesak di dadanya. Dia seakan-akan bisa melihat Ayden berdiri di atas kuburannya dan menatapnya seperti tatapan kemarin, penuh cinta dan ketulusan.
Hati Lareyna sangat sakit, begitu sakit hingga dia membenturkan kepalanya di kaca jendela mobil. Layla yang melihatnya memekik dan meminta Lareyna untuk memeluknya.
"Aku nggak tahu kenapa Ayden harus mati secepat ini, Bi. Aku nggak suka cara dia ninggalin aku. Dia bilang cinta tapi dia malah terkubur di tanah. Mengapa dia melakukan semua itu?"
Layla mengerutkan dahinya, dia memang tidak paham dengan apa yang terjadi sebelumnya. Lareyna enggan bicara. Saat polisi lalu lintas mengevakuasi mobil Ayden, mereka juga menemukan keberadaan Lareyna yang tak sadarkan diri sekitar seratus meter dari lokasi kejadian.
"Andai aku bisa memutar waktu, aku akan bersikap lebih baik dan mengenal Ayden dari sudut pandang berbeda. Dia memilih menyematkan aku Bi, dia menyelamatkan nyawaku berkali-kali. Dia menerima tembakan itu berkali-kali dan melemparku keluar dari mobil saat tahu remnya nggak berfungsi dan ada peledak di dalamnya. Dia memberiku hidup dan menukar semua itu dengan nyawanya. Oh Ayden yang malang. Aku bahkan nggak sempat bilang aku menyukainya."
Layla mengusap punggung Lareyna. Mereka kembali ke rumah sakit karena Lareyna memang harus mendapatkan perawatan intensif.
—00—
Satu Minggu berlalu begitu cepat, Lareyna sudah kembali ke kediaman yang dulunya selalu menjadi tempat paling tidak ingin dia datangi. Bayang-bayang bersama Ayden melintas. Dulu di ruang tamu ini Ayden terbiasa membaca surat kabar di pagi hari dengan secangkir kopi sebelum berangkat kerja.
Di ruang makan itu mereka menghabiskan sarapan dengan diam bahkan suasan cenderung dingin. Makan malam tanpa obrolan apapun.
Kini, apabila Ayden kembali hidup, Lareyna bersumpah akan mengajaknya sarapan dengan dia yang akan memasak, lalu mereka makan malam bersama sambil mengobrol kegiatan mereka seharian ini. Oh satu lagi, Lareyna akan menyiapkan secangkir kopi hangat untuk menemani Ayden saat membaca surat kabar.
Tubuh mungil yang semakin rapuh itu jatuh di sofa, duduk dalam keheningan dan hanya ada kenangan tak manis berputar di benaknya. Layla memilih untuk membuatkan makanan sambil sesekali memperhatikan kerapuhan Lareyna.
Kembali pemilik bulu mata lentik dan bola mata hazel itu mengingat di ruangan ini Ayden begitu dekat dengan Misca, sekretaris Ayden yang diduga Lareyna sebagai perempuan yang disukai Ayden.
Jika diingat kembali, Ayden tidak pernah begitu agresif pada Misca, perempuan itu yang selalu mendekati Ayden. Lareyna juga pernah mendengar Ayden mengusir Misca, meminta wanita itu pulang karena jam kerja telah selesai dan dia tidak ingin istrinya salah paham.
Sungguh semua itu terlambat disadari oleh Lareyna yang bodoh.
Dia memilih untuk masuk di kamarnya, kamar yang sangat jarang dia habiskan bersama Ayden. Hanya jika ada ayahnya saja mereka akan tidur bersama di kamar ini. Lareyna tidak pernah masuk ke kamar Ayden.
Baru saja duduk dia memilih keluar lagi untuk mengetahui isi kamar Ayden. celakanya, saat dia membuka pintu, tatapan matanya langsung tertuju pada bingkai foto besar yang terpanjang di dinding, seakan-akan Ayden ingin setiap kali membuka pintu kamar, foto itu lah yang langsung dilihatnya.
Tangan Lareyna gemetar, dia hampir jatuh jika tidak berpegangan pada handle pintu.
Itu adalah foto pernikahan mereka dan Lareyna tidak pernah tahu ada hal seperti ini di kamar Ayden. Di kamarnya sendiri dia tidak memajang foto pernikahan mereka.
Langkah gemetar itu memasuki lebih dalam kamar yang telah ditinggalkan oleh penghuninya.
"Lareyna, apa kamu nggak mau melihat kamarku?"
Ucapan Ayden itu kembali terngiang. Lalu dengan sombongnya Lareyna berkata saat itu, "Aku nggak mau. Untuk apa melihat kamarmu, nggak penting. Aku nggak mau dijebak olehmu. Aku nggak cinta sama kamu dan aku cuma ingin menikah dengan Morgan. Nanti, aku akan melihat kamar ini saat akan mengeluarkan barang-barangmu ketika kamu nggak tinggal lagi di sini!"
Masih Lareyna ingat bagaimana Ayden mati-matian menahan luka hatinya. Lelaki tampan itu hanya tersenyum tipis lalu dia menutup pintu kamarnya.
Kini Lareyna semakin menyesal. Andai dulu dia masuk, dia akan melihat betapa banyaknya gambar dirinya di kamar ini. Sejak dia kecil dan foto beberapa hari yang lalu saat dia sedang mengobrol dengan Margaretha, sahabatnya, di pusat perbelanjaan. Dia tertawa saat sedang membahas kisah masa lalunya bersama Margaretha.
Tubuh Lareyna bergetar, dia sangat menyesal telah menyia-nyiakan Ayden Graham. Dia berharap bisa memutar waktu tetapi dia tahu itu adalah hal yang mustahil.
"Ayden, kenapa kamu nggak pernah coba bilang sama aku kalau kamu cinta aku? Kenapa kamu ngomong itu di saat terakhir kamu berada di dunia ini. Apa kamu sudah tahu kalau aku akan menyesali semuanya saat ini? Apa kamu juga sudah tahu kalau aku akan sangat terluka dan merasa ingin mati saja menyusulmu? Apa kita akan bertemu di akhirat? Aku ingin bertemu kamu, Ayden. Mengapa kamu ninggalin aku dengan cinta yang begitu besar dan aku belum sama sekali membalasnya?"
Lareyna tersedu-sedu, Layla hanya bisa mengintip dari pintu tanpa berani mendekat. Dia tahu Lareyna butuh banyak waktu untuk menyembuhkan hatinya.
Mata bengkak Lareyna menyipit, dia melihat tulisan di sebuah foto saat dia sedang berlatih keras untuk kompetisi pertamanya dalam lomba piano.
[Semoga peri kecil bermata hazel bisa menjadi juara. Aku akan menuntut Tuhan kalau peri ini nggak jadi juaranya]
Lareyna menjatuhkan tubuhnya di lantai, menangis tersedu-sedu sambil memeluk tubuhnya sendiri. Dia ingin mati saja sekarang, dia ingin menyusul Ayden lalu membangun kembali rumah tangga mereka dengan cinta yang akan diberikan sepenuhnya pada Ayden.
—00—
Dua hari berkurung di dalam kamar Ayden dan mengenakan kemeja kebesaran Ayden, Lareyna akhirnya memutuskan untuk keluar dan menikmati sarapannya.
Semalam dia mendapat panggilan dari sepupunya dari pihak sang ibu untuk berlibur dan melepas semua kesedihannya di negara itu. Dulu Lareyna kecil sangat suka mendatangi rumah pamannya itu, bermain bersama Izzle, adik sepupunya yang hampir memiliki wajah seperti dirinya.
"Tolong bibi siapkan beberapa lembar pakaian saja. Aku akan membelinya di sana. Jangan lupa masukkan dua lembar kemeja Ayden dan bingkai kecil berisi foto pernikahan kami di dalam koper. Aku akan bersiap sebentar lagi," ucap Lareyna lalu dia tersenyum kecut.
Layla membuang napas pendek. Dia tidak membantah dan langsung mengerjakannya.
Usai menghabiskan sarapannya, Lareyna kembali ke kamarnya lalu dia mandi dan bersiap untuk pergi. Penerbangannya sekitar satu jam lagi, dia tidak ingin terlambat.
Begitu Lareyna siap dan Layla sudah membawakan kopernya, di teras ada Morgan yang datang dengan wajah masamnya.
"Reyna, mengapa kamu menghindari aku lebih dari sepekan? Apa kamu sudah nggak cinta sama aku?"
Lareyna mencari-cari perasaan cintanya pada Morgan namun sialnya dia tidak menemukan perasaan itu. Dia tersenyum kecut saat mengetahui hatinya telah direnggut oleh Ayden.
"Aku masih berkabung, nggak baik bila aku menerima tamu lelaki di rumah atau aku bepergian denganmu. Aku akan pergi ke rumah Paman Edmund, jangan khawatir, aku akan baik-baik saja," jawab Lareyna mencoba tersenyum namun senyuman itu tidak menyentuh matanya.
"Tapi Reyna ... ah sudahlah, nggak masalah. Aku memahami perasaanmu, meskipun kamu nggak cinta Ayden tetapi kamu tetap istrinya dah kamu harus menunjukkan jika kamu sedang berkabung. Aku akan mengantarmu," ucap Morgan dengan begitu pengertian.
Lareyna mengangguk, dia tidak ingin memperpanjang masalah sehingga memilih menurut saja.
Sepanjang perjalanan dia lebih banyak diam, alasan yang diberikannya adalah dia masih trauma dengan penculikan itu juga dengan insiden meninggalnya Ayden bersama Dwine.
Sesampainya di bandara, tak banyak kontak fisik yang bisa dilakukan Morgan. Banyak yang memperhatikan mereka dan tak sedikit yang turut berbela sungkawa.
"Lihatlah wajah Nyonya Graham, dia begitu terluka karena kehilangan suaminya. Matanya dan kondisi tubuhnya bisa menjelaskan semuanya."
"Kau benar, dia tampak kurus dan tak terawat. Lingkar matanya, dia benar-benar wanita malang. Mereka adalah pasangan serasi sepanjang tiga tahun belakangan, sudah pasti Nyonya Graham sangat depresi ditinggal Tuan Graham."
Morgan tersenyum tipis, dia memuji akting Lareyna yang bisa menarik banyak simpati masyarakat. Morgan hanya tidak tahu saja semua itu murni karena Lareyna sangat kehilangan. Hatinya pun telah dicuri oleh Ayden dan lelaki itu membawanya hingga ke akhirat.
Setelah berpisah, Lareyna menarik kopernya meninggalkan Morgan.
Duduk sendiri di pesawat membuat Lareyna mengantuk. Dia memang kurang tidur akhir-akhir ini. Saat dalam tidurnya dia bermimpi Ayden datang dan memeluknya lalu mengulang ciuman hangat itu.
Saat Lareyna mencoba mengulang kembali setelah Ayden melepaskannya, Ayden justru menghilang. Lareyna berteriak memanggil Ayden lalu dia terjatuh saat berlari mencarinya.
Guncangan hebat itu membuat Lareyna terbangun, ada sisa air mata di sudut matanya. Mendadak semua teriakan menggema di telinganya. Pesawat mengalami turbulensi parah, pramugari dan pilot telah mengumumkan untuk memakai sabuk pengaman.
Untuk sesaat Lareyna terdiam, dia mengamati sekitar. Dia bisa melihat gerakan mereka tetapi tidak mendengar suara sama sekali. Hanya kehampaan yang terasa hingga pelan-pelan suara itu kembali terdengar olehnya.
Bibir mungil semerah ceri itu tersenyum kecil, dia seolah bisa melihat keberadaan Ayden di sekitarnya sedang tersenyum.
"Apakah jika pesawat ini jatuh aku akan mati lalu bertemu dengan Ayden? Jika iya, aku sangat beruntung. Aku rasanya tidak sabar menjemput kematian," bisik Lareyna lalu pelan-pelan dia memejamkan matanya.
Pesawat itu pun hilang kendali lalu tanpa bisa dicegah pesawat mendarat di lautan. Semua berteriak berusaha menyelamatkan diri, berbeda dengan Lareyna yang semakin melemah, dia bisa melihat Ayden datang untuk mengulurkan tangannya.
Tangan Lareyna terangkat, dia meraih tangan Ayden tetapi keadaannya yang lemah dan kesulitan bernapas akhirnya merenggut kesadarannya.
—00—
Bunyi ketukan pintu itu membuat sosok yang sedang menikmati tidurnya terusik. Dia menutup rapat matanya saat dia mencoba membukanya dan cahaya sinar mentari langsung menerobos masuk.
"Nona Muda, apakah Nona sudah bangun?"
Sosok mungil dengan kulit mulus bak porselen itu membuka matanya karena kesal. Tetapi kekesalannya itu berubah menjadi keterkejutan saat mendapati dirinya berada di ranjang dengan pakaian tidur yang seingatnya ini adalah piyama kesayangannya di masa kuliah dulu.
Terduduk dengan perasaan tak karuan, dia mengucek matanya dan memperhatikan sekitar. Dia berada di kamarnya tetapi di rumah orang tuanya.
"Nona Muda, tim perias sudah menunggu sejak tadi. Tuan Jonathan berpesan agar Nona segera bangun dan mandi." Itu suara Layla.
"Bi–bi ... se–sekarang tanggal berapa?" teriak Lareyna dari dalam kamar.
Di luar Layla tersenyum gemas. Dia berkata, "Nona, sekarang tanggal delapan Februari, tanggal pernikahan Nona dan Tuan Ayden. Apa Nona lupa hari ini adalah hari pernikahan Nona? Tuan sudah menunggu sejak tadi, segeralah bersiap agar Tuan tidak marah."
Mata Lareyna terbelalak. Jika saat ini tanggal delapan Februari dan dia akan menikah hari ini, itu tandanya dia ...
"A–apakah aku kembali pada tiga tahun yang lalu? Apa ini nyata?"