Secret Alexa

“L E P A S!”. Ujar Kenzo seperti seolah dia mengeluarkan aura gelap di sekitarnya sembari memegang pundak pria asing itu.

Pria itu menatap nya sinis.

“Lo mau main-main sama gue”. Ujar pria itu dengan nada dingin. Dia melepas cengkraman ya dan menatap tajam Kenzo. “Ayok, gue ladenin”. Sambungnya.

Alexa memegang kerah bajunya yang kini menjadi kusut karena di remas sangat kuat oleh pria itu.

Alexa melihat ke arah Kenzo yang kini sepertinya berada dalam bahaya.

“TUNGGU!!”. Alexa langsung berlari ke depan Kenzo dan menghalangi pria itu yang hendak mendekati Kenzo.

“Hah?”. Pria itu bingung begitu juga dengan Kenzo.

“Heh, heh, heh! berantem itu gak baik tau!! jangan berantem-berantem di sekolah!!”. Alexa menatap tajam pria itu lagi.

Sebenarnya bukan sengaja Alexa melakukan itu, dia hanya refleks saja melakukannya.

“Lo...” Pria itu bergumam dan mengepal tangannya kuat-kuat menahan, tinjunya agar tidak melayang sekarang.

Dia menghela nafas lalu pergi begitu saja dari sana meninggalkan Alexa dan Kenzo.

“Anak siapa sih gak jelas bet!”. Gumam Kenzo sembari menatap kepergian pria itu.

...***...

Setelah beberapa saat akhirnya mereka sampai di kelas, Alexa dan Kenzo langsung masuk ke dalam kelas.

Tapi..

Mereka terkejut di saat melihat sudut kelas yang ada di dekat jendela, sebuah kursi di barusan paling ujung di duduki oleh seseorang yang membuat mereka berdua merinding.

Itu adalah pria yang tadi mereka berdua temui.

“E-Eh.. yakin ini kelasnya?”. Tanya Alexa karena merasa tak percaya jika kelas ini memang benar-benar kelasnya.

“Iya nih, kayaknya ada yang salah deh!”. Kenzo juga merasa tak percaya.

Tapi, di saya Kenzo melihat kursinya, di sana ada tas miliknya dan di dalam sana juga ada beberapa orang yang sempat Kenzo ajak kenalan tadi pagi.

Jadi sudah sangat meyakinkan jika kelas ini memang kelas yang mereka berdua cari-cari.

“Mau masuk?”. Tanya Alexa.

“Ya masuk lah! kan gak mungkin kita di luar kayak gelandangan!”.

Kenzo dengan gelagat beraninya langsung masuk ke dalam kelas dan duduk di kursinya.

Kursi kenzo benar-benar meresahkan karena berada tepat di sebelah kursi milik pria psikopat tadi.

Alexa duduk di tempat duduknya kembali, tempat duduk milik Alexa ada di depan pria itu.

Situasi ini benar-benar menegangkan.

...***...

Beberapa hari berlalu, pria itu bernama Evan Anggara, dia sama sekali tak suka bergaul dan lebih memilih menyendiri di kursinya lalu meringkuk sepanjang waktu.

Terkadang Kenzo suka berfikir, tapi di pikir-pikir lagi enak gak mikir.

“Van! di suru ke ruang osis sama Yosua!”. Sebenarnya Kenzo malas menyampaikan ini, tapi karena hubungannya dengan Yosua sangat baik, jadi dia terpaksa melakukannya.

Evan menatapnya tajam lalu berdecih dan pergi dari sana begitu saja tanpa mengatakan apa-apa lagi.

“Lah..? apa salah gue?”. Kenzo tak habis pikir dengan anak satu itu.

“Ada apa?”. Tanpa ragu Evan masuk ke ruang osis dan duduk di salah satu sofa yang ada di sana. “5 menit, gue sibuk!”. Sambungnya lagi karena malas berlama-lama.

“Jadi gue panggil Lo ke sini mau ng-”

“Gue nolak!”.

Belum sempat Yosua mengatakan apa yang ingin dirinya katakan, tiba-tiba saja Evan langsung mengatakan dia menolak, seolah dia sudah tahu apa yang Evan mau katakan.

“Tapi ini perintah pak kepsek!”.

“Yaudah gue nolak! gue gak mau okay, gue nolak!!”. Evan berdiri dari kursinya dan hendak beranjak pergi dari sana.

“Wel.. tapi inget, pak kepsek adalah satu-satunya orang yang punya bukti!”. Ucap Yosua hingga berhasil membuat Evan berbalik.

“Lo denger yah! gue bisa laporin kalian ke polisi karena udah buat kakak gue koma di UGD! Lo pikir Lo buat begini kagak bahaya, hah?! pokoknya gue nolak! gue gak mau gue jadi kayak kakak gue!”. Evan membuka pintu untuk keluar dari ruang osis.

Namun, dua orang sudah berdiri di depan pintu itu dan menghalangi langkah Evan untuk pergi keluar.

“Evan! kamu jangan egois! ini juga demi kita semua!”. Ujar seorang pria yang mungkin umur nya sekitar 30 tahun.

“Iya Evan, kita bisa bicarakan ini baik-baik, kamu dengerin dulu yah kami mau ngomong apa”. Ujar pria paruh baya yang berada di sebelah pria tampan itu.

Kedua orang itu adalah Reza Artamevia dan Febri Noel, mereka adalah kepsek dan wakil kepsek.

“Tapi pak, saya gak mau terlibat sama beginian! saya cuman mau sekolah, kalau bapak mau cari bukti yaudah bapak sabar aja nunggu kakak saya siuman!”.

Febri masuk ke dalam ruangan dan Reza menutup ruangan tersebut, dia mengunci ruangan itu agar tak ada yang masuk dan agar Evan tak keluar dari sana.

“Kamu duduk dulu di sini”. Ujar Febri sambil tersenyum.

Evan kesal, dia benar-benar kesal dengan ini semua, tapi dia tetap melakukan apa yang kepseknya itu suruh karena jika tidak maka pasti akan tambah panjang lagi ceritanya.

“Kamu mau yah kasih kami USB itu, karena cuman itu yang kami butuhkan saat ini, kami bakal bayar berapa aja yang kamu minta, tolong bapak butuh banget itu!”. Ujar Febri dengan muka memelas menatap wajah Evan.

Evan semirik, menyipitkan matanya dan melipat kedua pahanya lalu duduk menyandar di sofa.

“Maaf pak, tapi saya orangnya gak egois kayak gitu, hanya karena uang USB itu saya kasih ke bapak? bapak tunggu sampai perang dunia ke 13 pun gak akan saya kasih!”.

“Evan, bapak butuh banget USB itu, karena semua nya ada di sana.. bapak gak tau lagi harus ke mana sekarang”. Ucap Febri.

“Denger yah pak, saya sekolah di sini baru beberapa Minggu dan bapak udah maksa-maksa saya begini”.

“Bagaimana jika USB itu aku tukar dengan USB yang kau mau”. Ujar Reza menengahi.

Fenti dan yang lainnya langsung melihat ke satu arah, yaitu hanya ke arah Reza saja.

“Tapi itu Masih kurang, USB itu hanya menyimpan beberapa file kecil saja, nggak seperti USB yang kalian mau!”.

Evan berdiri dari kursinya dan berjalan ke arah Reza perlahan dengan wajah datar dan dingin.

“Kunci?”. Tanya Evan karena Reza lah yang mengantungkan kunci ruang osis tadi.

Reza tak memberikan nya kepada Evan hingga membuat Evan mengeryitkan alisnya.

“Udah kasi za! gak usah buat masalah makin ruwet!”. Ujar Febri.

Reza dengan rasa tak ikhlas membawa kunci itu ke arah pintu ruangan osis. Dia langsung memutar kunci dan membuka pintu ruangan.

Evan keluar dari sana tanpa mengatakan sepatah kata pun.