Bukan Pelakor Tapi Istri Yang Dibenci
Desa di pelosok daerah
Sebuah rumah kecil terdapat beberapa bendera kuning bertengger, dan terlihat banyak orang berdatangan untuk bertakziah.
“Hiks ... hiks ... hiks ... kenapa bapak pergi.” Tangis Salma begitu terdengar menyayat hati di telinga para pelayat yang berdatangan.
“Kenapa Bapak tinggalin Salma, Pak ...,” tangis kejar tak terkira keluar dari bibir mungil seorang gadis.
Sungguh pukulan berat buat Salma, ketika baru pulang sekolah mendapatkan suasana rumahnya begitu banyak orang, serta adanya bendera kuning di depan rumah kecilnya. Jantung gadis itu berdegup kencang ketika melihat dari kejauhan, tak bisa di elakkan gadis desa yang cantik nan mungil berlari kencang menuju rumahnya.
Tubuh gadis itu seketika menjadi kaku, ketika melihat tubuh pria paruh baya yang sangat di kenalnya sudah tertutup oleh kain bercorak batik.
Semua pelayat yang datang segera memegang tubuh gadis itu yang tiba-tiba roboh tak sadarkan diri. Dan sekarang gadis itu sedang memeluk bapaknya yang sudah tak bernyawa lagi, pilu, sedih yang tak terkira menyelusup di hati gadis itu. Untuk kedua kalinya gadis itu kehilangan orang terkasihnya, sebelumnya empat tahun yang lalu kehilangan ibu tercintanya, sekarang gadis itu kehilangan bapak terkasihnya.
“Kenapa Bapak pergi ... hiks ... hiks ..."
“Salma, yang sabar ... kamu harus terima kepergian bapakmu ini.” Wanita berumur 40 tahun mengelus lembut punggung keponakannya.
“Kenapa Bik, kenapa bapak pergi ... padahal tadi pagi bapak baik-baik saja Bik ... hiks ... hiks ....” Salma bertanya sambil menoleh ke arah bibinya.
“Bapakmu waktu berangkat ke pabrik, tak sengaja di tabrak sama mobil, Salma,” ujar adik bapaknya Salma, yang duduk di samping istrinya.
“Di tabrak ...!!”
“Mana orang yang menabraknya!! Salma mau bunuh dia yang telah membuat bapak meninggal!!” Tersulut emosi Salma ketika mendengar bapaknya meninggal karena kecelakaan.
“Mana orangnya? Kasih tahu mana orangnya Paman!!” teriak Salma, tak menghiraukan para pelayat yang datang.
Di sudut ruangan kecil tersebut, ada pria menggunakan setelan kerja rapi, ikutan sedih melihat tangisan dan raungan gadis kecil itu. Iba tapi tak berdaya, pria itu hanya asisten pribadi yang mewakilkan Bosnya, yang telah menabrak seorang bapak mengendarai motor tak sengaja, tapi mengakibatkan nyawa orang tersebut hilang di tempat kejadian.
Sang Paman Salma adik korban melirik sesaat ke arah pria yang duduk bersila di sudut ruangan tersebut.
“Paman mana orang yang telah menabrak Bapak?" Salma menarik-narik lengan kemeja pamannya.
“Nak, tenang nak, sekarang lagi banyak orang nak,” Bibi Tia berusaha menenangi Salma yang masih saja menggoyangkan tubuh suaminya.
“Dasar brengsek, dia harus mati ngantiin nyawa Bapak Salma ... hiks ... hiks!! teriak Salma dalam isak tangisnya.
Bulu kuduk pria itu merinding mendengar teriakan gadis cantik itu. Selama Salma berteriak sambil menangis, Paman Didit dan pria itu saling bertatapan.
Kemudian gadis cantik itu kembali tak sadarkan diri, Paman Didit dan Bibi Tia langsung membopong tubuh Salma dan dibawa ke kamarnya.
Prosesi mandi jenazah serta pemakaman tetap berjalan, tidak menunggu Salma siuman. Sebagai adik dari bapaknya Salma, pria itu mengurus pemakaman kakaknya, dibantu oleh warga desa lainnya.
“Ari, bagaimana korban, sudah di makamkan?” tanya seseorang dalam sambungan teleponnya.
“Saya lagi di pemakaman korban, Tuan,” lapor sang asisten.
“Kamu sudah berikan uang kepada keluarga korban?”
“Belum, setelah ini saya akan kembali ke rumah korban.”
“Kamu usahakan keluarga korban itu menerima uang tersebut jangan sampai kasus kecelakaan ini di laporkan ke pihak polisi!!” suara baritonnya terdengar jelas.
“Baik Tuan. Tuan tidak ada niat untuk ke rumah korban?”
“Tidak perlu saya ke sana, cukup kamu saja yang urusi dan mewakili saya sampai tuntas!!”
“Baik Tuan."
Pria itu memutuskan sambungan teleponnya, kemudian menatap tajam ke luar jendela dari dalam kamar hotelnya.
Buat pria itu cukup dengan memberikan sejumlah uang, maka permasalahan yang di hadapinya akan selesai.
Sebenarnya kejadian yang sungguh mengenaskan gara-gara sedang menerima telepon, akhirnya membuat konsentrasi pria itu buyar dalam mengendarai mobilnya, hingga menabrak motor di depannya. Untungnya jalanan sepi hingga tidak banyak orang yang melihat, pria itu langsung menghubungi asisten pribadinya yang berada di pabrik untuk menyusul ke tempat kejadian kecelakaan, dan memintanya untuk mengurusi korban. Dan ternyata korban salah satu karyawan yang bekerja di pabriknya.
Kembali ke rumah Salma
Para pelayat satu persatu sudah meninggalkan rumah Salma, kini tinggal Ari yang masih berada di rumah Salma.
“Ini tolong di terima, uang ganti rugi serta belasungkawa dari Tuan,” Ari menyodorkan amplop yang berisikan uang di hadapan Pamannya Salma.
“Dan tolong kasus kecelakaan ini jangan di perpanjang dan dilaporkan ke pihak polisi, di dalam amplop ini ada uang sebesar seratus juta, saya rasa ini cukup sebagai uang damai,” ujar Ari lagi.
Paman Didit dan Bibi Tia saling bersitatap seakan ada hal yang harus di bicarakan sebelum mengambil keputusan masalah perdamaian atas kasus kecelakaan yang menimpa kakaknya.
“Saya belum bisa menerima uang damai ini, masalah ini saya harus berembuk dulu dengan istri saya. Karena ini bukan hanya masalah kehilangan nyawa kakak saya, tapi nasib anak yang di tinggalkan oleh almarhum kakak saya, ada anak gadis yang di tinggalkannya, dan sekarang entah bagaimana nasib ke depannya," tolak Didit.
Ari menghela napas panjang, mendengar penolakan uang damai yang di berikan oleh Tuannya.
“Kalau bisa saya ingin bertemu terlebih dahulu dengan orang yang telah menabrak kakak saya,” pinta Didit, dengan sikap tegasnya.
“Tuan saya, orang sibuk jadi tidak bisa ke sini. Justru itu saya yang mewakilkan beliau untuk hadir di sini.”
“Kalau tidak bisa bertemu, maka kasus ini sebaiknya saya laporkan ke pihak berwajib, lagi pula sudah ada orang yang bersedia menjadi saksi!” ancam Didit.
Ari terlihat tampak berpikir, “baiklah akan saya menyampaikan ke Tuan atas keinginan anda, kalau begitu saya permisi dulu,” pamit Ari.
“Silahkan." Didit mengantar pria yang berpostur tinggi dan gagah keluar rumah Salma.
Setelah memastikan tamu yang terlihat kaya dari sosok penampilannya telah meninggalkan rumah Salma, Paman Didit kembali masuk ke dalam.
“Mas kok uang tadi tidak di terima aja, lumayan loh seratus juta, bisa kita bagi-bagi,” ujar Bibi Tia.
“Kamu kalau persoalan uang aja cepat deh, memangnya kamu tidak bisa pikirkan masalah masa depan Salma keponakan saya!!” tegur Paman Didit. Bibi Tia tertegun sesaat.
Pama Didit duduk bersila di atas alas tikar, sambil menghela napas panjang.
“Selanjutnya Mas Didit, maunya seperti apa dengan masalah Salma?” tanya Bibi Tia turut duduk di samping suaminya.
“Anak kita ada tiga, di tambah Salma, yang mau tidak mau kita berdua harus mengurusnya. Otomatis sudah jadi tanggung jawab saya. Tapi keuangan kita juga serba kekurangan, buat kehidupan sehari-hari saja kita luntang lantung kalau gak di bantu almarhum bapaknya Salma,” Paman Didi mengurut dada, memikirkan kehidupan ke depannya, pasti akan terasa berat setelah meninggalnya bapaknya Salma.
Bersambung ...
Halo Kakak Readers yang cantik dan ganteng, kembali di kisah terbaru Salma Hadeeqa dan Kavin Ardana Adiputra. Semoga kisahnya bisa menghibur.
Dan seperti biasa mohon dukungannya untuk karya recehan yang isinya halunya Mommy Ghina 😁. Tinggalin jejak, komen, like, vote, di kasih hadiah juga senang. Dan jangan lupa rate ⭐⭐⭐⭐⭐
Plus mengingatkan jangan kasih rate ⭐ 1, 2 ,3, karena tidak ada untungnya buat kakak readers, tapi berharga buat yang nulis, percaya deh. Kalau tidak suka dengan ceritanya, sebaiknya di tinggalkan saja.
Seperti novel sebelumnya, ada ada Give Away buat pembaca setia ya....Terima Kasih
Love You sekebon 🌻🌻🌻🌻🌻
Salma Hadeeqa
Kavin Ardana Adiputra
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 136 Episodes
Comments
Anonymous
keren
2024-11-09
0
Wy Ky
keren
2024-11-06
0
Rika Rahim
mampir thor duhh visual nya love love deh
2024-08-29
1