bagaimana jadinya kalau anak bungsu disisihkan demi anak angkat..itulah yang di alami Miranda..ketiga kaka kandungnya membencinya
ayahnya acuh pada dirinya
ibu tirinya selalu baik hanya di depan orang banyak
semua kasih sayang tumpah pada Lena seorang anak angkat yang diadopsi karena ayah Miranda menabrak dirinya.
bagaimana Miranda menjalani hidupnya?
simak aja guys
karya ke empat saya..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon santi damayanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mamah kamu orang hebat
Setelah berpelukan di depan makam Nurma, Kirana menundukkan kepala sejenak, bibirnya berkomat-kamit memanjatkan doa. Ia kemudian menaburkan bunga perlahan, seolah takut mengusik keheningan makam sahabat lamanya. Miranda memperhatikan dari samping, ada rasa hangat menyelinap di dadanya. Ia tidak menyangka, selain dirinya, ada seseorang yang masih setia datang ke makam ibunya. Dan orang itu kini akan menjadi calon ibu mertuanya.
Usai melepas rindu pada sahabat yang telah tiada, Kirana menggenggam tangan Miranda, lembut namun mantap, lalu mengajaknya naik ke mobil yang sama.
Di dalam mobil yang mulai melaju, Miranda tak sanggup menahan rasa ingin tahunya.
"Mamah kenal Mamah Linda sejak kapan?" tanyanya pelan.
Kirana tersenyum samar.
"Sejak kami kuliah. Mamah kamu itu cerdas sekali. Kakek kamu Arnold Khan dan nenek kamu Maharani, kan?"
"Iya, benar." Miranda menatap keluar jendela, mencoba mengingat potongan memorinya. "Nenek meninggal waktu aku umur lima tahun. Itu pertama kalinya aku diajak ke Jogja sama ayah dan mamah. Kakek Arnold tinggal di Jerman. Dulu, waktu Mamah masih hidup, setahun sekali beliau datang dan selalu bawain buku-buku bahasa Jerman. Hanya aku yang tertarik. Tapi sejak mamah meninggal, kakek tidak pernah datang lagi."
Mata Kirana melembut.
"Makanya waktu pertama kali Mamah lihat kamu, Mamah langsung nyapa pakai bahasa Jerman. Dan ternyata kamu bisa. Waktu itu Mamah langsung teringat Nurma. Kamu mirip sekali sama dia. Sebenarnya, Mamah sempat terpikir menolak ketika tahu Rian mau menikahi anak seusiamu. Tapi setelah bertemu kamu… pikiran Mamah berubah. Dan Mamah makin yakin begitu tahu kamu anak Nurmalinda."
Miranda menoleh cepat, penuh antusias.
"Mamahku orangnya gimana, Mah? Aku cuma dengar cerita sedikit dari orang rumah."
Kirana menarik napas panjang sebelum menjawab.
"Mamah kamu itu luar biasa pintar. Kamu tahu sendiri keluarga Aditama hampir bangkrut saat pertama kali dikelola ayah kamu, Handoko. Perusahaan diwarisi dalam keadaan banyak utang karena gaya hidup kakek kamu yang… ya, suka menikah dan boros. Berbeda sekali dengan buyut kamu yang pekerja keras. Kalau bukan karena Nurma, entah Aditama masih ada atau tidak sekarang."
Kirana sempat terdiam, suaranya bergetar.
"Dan Mamah juga tahu setelah Nurma meninggal, perusahaan itu turun drastis."
Berpijar rasa bangga di mata Miranda.
"Berarti mamah hebat banget ya… padahal kelihatannya cuma di rumah."
Kirana tersenyum sendu.
"Ia memang orang yang bekerja di balik layar. Tapi keluarga Handoko sering meremehkan peran Nurma. Padahal tanpa dia, mereka bukan siapa-siapa."
Miranda mengangguk-angguk, rasa hormat kepada ibunya semakin dalam.
Kirana kembali menatap jalanan.
"Sayang sekali waktu ibumu meninggal, Mamah sedang di Jerman. Saat itu Mamah merawat bapaknya Rian, kebetulan dirawat oleh kakekmu, Arnold. Mamah tidak bisa pulang. Lalu setahun kemudian suami Mamah meninggal. Mamah terpukul dan memilih tinggal di Jerman beberapa lama."
Ia menghela napas, nadanya berubah lebih tegas.
"Baru dua tahun lalu Mamah pulang karena dengar Rian dekat dengan seorang model. Mamah harus memastikan dia punya istri yang baik. Dan ternyata yang Mamah temukan… adalah kamu
Kirana meraih tangan Miranda dan menggenggamnya dengan hangat.
"Jangan pernah merasa kamu dijual, Nak. Mamah terima kamu sebagai anak Mamah. Tidak boleh ada yang menyakiti kamu."
Miranda perlahan bersandar pada bahu Kirana. Sentuhan lembut tangan Kirana yang membelai kepalanya membuat Miranda merasa aman—sesuatu yang sudah lama tidak ia rasakan.
"Terima kasih, Mah..." suaranya lirih. "Kalau misalnya Tuan Rian menolak aku, Mamah akan membuang aku juga?"
Kirana mendengus kecil sambil mencubit manja ujung dagu Miranda.
"Ah, sekalian saja Mamah buang itu Rian kalau dia berani menolak kamu. Kalau dia sampai buang kamu, berarti kepalanya penuh sampah."
Miranda terkekeh, jemarinya spontan meremas jari-jari Kirana. Air mata menetes tanpa ia sadari. Di balik musibah, ternyata ada berkah yang datang begitu diam-diam. Keluarganya mungkin telah menjualnya, tetapi ia justru diangkat dan diterima oleh sahabat mendiang ibunya—seseorang yang kekayaannya jauh melampaui ayahnya.
Ketika mobil berhenti di halaman rumah besar Nyonya Kirana, wanita itu masih enggan melepas tangan Miranda. Senyum yang terus terukir di wajahnya membuat para ART yang melihat dari kejauhan saling pandang lega. Rumah tempat mereka bekerja itu hampir setiap hari dipenuhi ketegangan, bukan kehangatan. Kehadiran Miranda seperti membawa udara baru.
Dari depan tangga, Rian memperhatikan keduanya. Wajahnya merengut.
"Dikasih obat apa Mamah Kirana sama si anak polos itu?" gumamnya dalam hati. Keraguan mulai merayap. Ia masih terobsesi pada Audy. Bukankah setelah ibunya selesai operasi jantung dan kondisinya stabil, ia berniat mengejar cinta lamanya?
Lamunannya buyar ketika Reza muncul di sampingnya.
"Tuan, sepertinya Anda terjebak dengan rencana Anda sendiri," ucap Reza datar.
"Aku tetap pada rencana semula," sahut Rian cepat. "Setelah Mamah dioperasi, aku tetap akan cari Audy."
Reza mendecak pelan.
"Cewek kayak tiang listrik saja dikejar," gerutunya.
Rian langsung menatap tajam. Reza hanya mengangkat alis sambil tersenyum seperti orang paling tidak bersalah di dunia. Lelaki itu bukan sekadar bawahan yang setia; ia sudah seperti ayah kedua bagi Rian. Tak banyak orang yang bisa diandalkan, tapi Reza—dengan semua keahlian dan loyalitasnya—adalah pengecualian.
….
Sementara itu, Handoko masih berada di rumah sakit menemani Lena yang terbaring lemah. Suara monitor detak jantung mengisi ruangan, Handoko masih saja diberikan tatapan tajam oleh anak-anaknya membuat suasana mencekam dan Handoko jadi serbasalah, dan pada saat suasana hati Handoko tegang tiba-tiba ponselnya berdering. Dan nama Reza yang memanggil membuat jantung Handoko berdetak dengan kencang.
Handoko berdiri dan melangkah menjauh dari tempat tidur Lena serta kedua anaknya.
"Ya, Tuan Reza, ada apa?" suaranya terdengar berhati-hati.
"Tiga hari lagi pernikahan berlangsung di Hotel Hilton. Anda harus hadir sebagai wali." Nada Reza tegas, tak memberi ruang untuk bantahan.
"Sepertinya saya tidak bisa hadir, Tuan, pakai wali hakim saja, Tuan, anak saya sedang dirawat." Ucap Handoko mendengar hotel bintang lima saja Handoko membayangkan betapa marahnya nanti anak-anaknya melihat Miranda yang mereka benci selama ini bisa menikah di hotel bintang lima, Handoko tahu betul karakter anak-anaknya yang tak rela melihat Miranda bahagia.
"Oh, tentu bisa," jawab Reza santai.
"Anda tidak harus datang, Pak Han. Paling dalam tiga hari setelah pernikahan, Anda akan dengar kabar perusahaan Anda bangkrut."
Nada datarnya justru terasa lebih mengancam daripada teriakan.
Handoko langsung pucat. "Jangan begitu, Tuan... saya akan datang. Saya pasti datang."
Perusahaan adalah satu-satunya pegangan hidupnya. Ia tak bisa membiarkan semuanya runtuh.
"Baik. Saya tunggu kedatangan Anda." Sambungan telepon terputus begitu saja.
Handoko menarik napas panjang lalu kembali ke sisi tempat tidur Lena.
"Siapa tadi, Yah?" tanya Lusi penasaran.
"Pak Reza. Tiga hari lagi Miranda menikah di Hotel Hilton. Ayah harus datang jadi wali."
Amar mendengus kasar. "Ngapain datang? Sudah, jangan urus anak sialan itu."
"Ayah juga maunya begitu... tapi Pak Reza mengancam akan bikin perusahaan Ayah gulung tikar," ucap Handoko lirih.
Ruangan mendadak hening. Mereka semua tenggelam dalam dilema. Kebencian terhadap Miranda membuat mereka enggan menghadiri hari penting gadis itu. Namun ancaman Reza bukan sesuatu yang bisa diabaikan.
Lena tiba-tiba bersuara, pelan namun pasti.
"Datang saja, Yah. Kita semua harus datang."
Lusi menoleh cepat. "Kenapa harus datang, Dek?"
Lena menatap mereka satu per satu.
"Datanglah pakai baju yang paling mewah. Soalnya Kak Miranda bilang dia bakal jauh lebih sukses dari kita semua. Kakak-kakak harus nunjukkin kalau kita baik-baik saja tanpa Miranda."
Senyum miring muncul di bibir Miranti.
"Wah, pintar sekali kamu, Nak."
Kakak ga punya akhlak
mma Karin be smart dong selangkah di depan dari anak CEO 1/2ons yg masih cinta masalalu nya