Di sudut sebuah toserba 24 jam yang sepi, seorang pemuda berdiri di balik kasir. Namanya Jin Ray.
Ray bukan pemuda biasa. Di balik seragam toserba berwarna oranye norak yang ia kenakan, tubuhnya dipenuhi bekas luka. Ada luka sayatan tipis di alis kirinya dan bekas jahitan lama di punggung tangannya. Tatapannya tajam, waspada, seperti seekor serigala yang dipaksa memakai kalung anjing rumahan.
“Tiga ribu lima ratus won,” ucap Ray datar. Suaranya serak, berat, jenis suara yang dulu membuat orang gemetar ketakutan saat ia menagih utang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ray Nando, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Museum Malam dan Jenderal Keramik
Pukul 01.00 Dini Hari – Atap Museum Nasional Korea
Angin malam berhembus kencang, mengibarkan jas hujan hitam yang dikenakan Jin Ray dan Choi Hana. Di bawah mereka, kompleks museum yang luas tampak sunyi dan megah, dijaga oleh satpam yang berpatroli dengan senter.
"Menurut peta Pixel, Node pertama ada di Aula Sejarah Abad Pertengahan," bisik Hana, melihat peta hologram yang diproyeksikan dari pantat anjing data mereka.
Pixel—si anjing glitch—duduk di samping Hana, ekor Wi-Fi-nya bergoyang pelan. Dia menyamar sebagai ransel punggung bermotif piksel saat tidak aktif, tapi sekarang dia dalam mode "Radar".
"Masuk lewat ventilasi?" tanya Ray, meregangkan bahunya. Dia membawa payung hitam andalannya di punggung seperti pedang samurai.
"Terlalu klise," kata Hana. Dia menunjuk kubah kaca di atas aula utama. "Aku akan membuat pintu."
Hana mengulurkan tangannya ke arah kaca tebal itu. Mata birunya bersinar.
[Skill: Glass Permeability (Permeabilitas Kaca)]
Kaca padat itu bergetar, lalu struktur molekulnya melonggar.
"Ayo lompat. Kacanya sekarang seperti jeli," kata Hana.
Mereka bertiga melompat turun. Benar saja, tubuh mereka menembus kaca itu seolah menembus lapisan air, lalu mendarat mulus di lantai marmer aula museum yang gelap. Di atas mereka, kaca itu kembali memadat menjadi keras.
"Praktis," puji Ray.
Mereka berjalan mengendap-endap melewati etalase keramik Goryeo dan lukisan kuno. Suasana hening dan sedikit mencekam. Patung-patung Buddha menatap mereka dengan mata batu yang seolah mengikuti gerakan mereka.
Guk! Pixel tiba-tiba menyalak pelan. Dia berlari menuju sebuah podium besar di tengah ruangan.
Di podium itu, berdiri sebuah baju zirah lengkap milik Jenderal Dinasti Joseon. Baju zirah itu memegang pedang besar berkarat. Di sebelahnya, ada sebuah mahkota emas kuno yang bersinar redup dengan cahaya glitch ungu.
"Itu Node-nya," kata Ray. "Mahkota Silla itu."
Hana mengeluarkan alat pengaman (kotak Tupperware yang dilapisi kertas timah—ide Ujang untuk menahan radiasi sinyal). "Aku akan mengambilnya. Ray, jaga sekitarku."
Hana melangkah mendekati podium. Ray berdiri waspada, tangannya menggenggam gagang payung.
Saat jari Hana hampir menyentuh mahkota emas itu, lantai museum bergetar.
Mata helm baju zirah itu tiba-tiba menyala merah.
[SYSTEM ALERT: PENYUSUP TERDETEKSI.]
[MENGAKTIFKAN PROTOKOL PERTAHANAN: 'LEGENDARY SPIRIT'.]
"Siapa yang berani menyentuh harta raja?!" suara berat dan berwibawa menggema dari dalam baju zirah kosong itu.
Baju zirah itu bergerak. Sendi-sendi logamnya berderit. Ia mengangkat pedang berkaratnya dan mengayunkannya ke arah Hana.
"Hana, mundur!"
Ray melompat maju, menangkis tebasan pedang besar itu dengan payung hitamnya yang sudah dialiri aura Thunder Gauntlets.
TRANG!
Percikan api memercik. Ray terdorong mundur beberapa langkah. "Tenaganya gila! Ini bukan sekadar besi tua!"
"Aku Jenderal Besi!" raung baju zirah itu. "Lindungi Mahkota!"
Getaran glitch menyebar ke seluruh ruangan. Etalase-etalase kaca di sekeliling mereka pecah.
Manekin-manekin yang mengenakan pakaian Hanbok kuno mulai bergerak. Patung kuda dari tanah liat meringkik hidup. Bahkan lukisan harimau di dinding melompat keluar menjadi harimau kertas 2D yang menggeram.
"Ray! Kita dikepung sejarah!" teriak Hana. Dia dikelilingi oleh pasukan manekin pemanah.
"Pixel! Bantu Hana!" perintah Ray.
Pixel menyalak, lalu tubuhnya membesar seukuran serigala. Dia menerjang manekin-manekin itu, menggigit kaki kayu mereka hingga patah menjadi data.
Ray kembali fokus pada Jenderal Baju Zirah.
"Maaf, Jenderal. Aku tidak bawa surat izin berkunjung," kata Ray, memasang kuda-kuda tinju.
Sang Jenderal menerjang lagi. Tebasan pedangnya membelah lantai marmer. Ray menghindar dengan gerakan sidestep, lalu membalas dengan pukulan cepat ke arah dada zirah itu.
BAM!
Pukulan Ray membuat penyok pelat dada zirah itu, tapi tidak menghentikannya. Jenderal itu malah membalas dengan hantaman perisai yang membuat Ray terpental menabrak tiang pilar.
"Uhuk..." Ray meludah. "Keras sekali."
Hana, yang sedang sibuk membuat dinding pelindung dari lantai untuk menahan panah manekin, melihat Ray kesulitan.
"Ray! Dia zirah kosong! Tidak ada tubuh fisik di dalamnya! Serang persendiannya atau hancurkan intinya!"
"Intinya di mana?!"
"Di helmnya! Ada cahaya merah!"
Ray mengangguk. Dia menyimpan payungnya. Dia butuh kedua tangannya.
"Hei, Kaleng Rongsokan!" teriak Ray. "Zamanmu sudah lewat! Sekarang zamannya fiber optic!"
Ray berlari ke arah Jenderal itu. Saat pedang besar itu mengayun horizontal untuk memenggalnya, Ray melakukan sliding di lantai licin (efek sisa Sampo Licin yang dia bawa di saku—selalu siap sedia).
Dia meluncur di bawah ayunan pedang, lalu melompat ke atas bahu sang Jenderal.
Ray mencengkeram helm besi itu dengan kedua tangan Thunder Gauntlets-nya.
"Tidur yang nyenyak!"
Ray menyalurkan listrik tegangan tinggi langsung ke dalam helm.
ZZZAAAAPPP!
"AAARRRGGH! KEHORMATANKU...!" raung sang Jenderal.
Cahaya merah di dalam helm itu meledak. Baju zirah itu seketika kehilangan tenaga, ambruk ke lantai menjadi tumpukan besi tua yang berasap.
Pasukan manekin dan harimau kertas lainnya seketika berhenti bergerak dan jatuh kaku kembali menjadi benda mati.
Suasana hening kembali, hanya terdengar napas Ray yang memburu.
"Kerja bagus," kata Hana, keluar dari balik perlindungannya. Dia segera mengambil Mahkota Emas (Node) itu dan memasukkannya ke dalam kotak Tupperware anti-sinyal.
"Satu Node diamankan," kata Hana lega. "Tinggal dua lagi."
Namun, kelegaan mereka tidak berlangsung lama.
Pintu utama aula museum tiba-tiba terbuka tanpa suara. Bukan didobrak, melainkan... dihapus.
Pintu kayu jati tebal itu lenyap begitu saja, meninggalkan lubang persegi panjang yang rapi, seolah-olah ada yang menggunakan alat Eraser di Photoshop.
Dari kegelapan lorong, melangkah masuk sesosok pria.
Dia mengenakan setelan jas putih bersih yang sangat rapi, kacamata hitam tanpa bingkai, dan sarung tangan bedah lateks. Wajahnya datar, tanpa emosi. Di tangannya, dia memegang sebuah tongkat perak kecil yang ujungnya bersinar putih menyilaukan.
Pixel, yang tadi gagah berani, tiba-tiba meringkuk ketakutan di belakang kaki Hana, merengek statis.
[PERINGATAN TINGKAT EKSTREM!]
[ENTITAS TERDETEKSI: THE MODERATOR.]
[Level: ??? (Admin Access)]
"Anomali terdeteksi," suara pria itu monoton, seperti mesin Text-to-Speech. "Objek: Jin Ray. Objek: Choi Hana. Status: Bug yang harus dihapus."
Pria itu mengangkat tongkat peraknya, mengarahkannya ke tumpukan baju zirah Jenderal yang sudah dikalahkan Ray.
KLIK.
Cahaya putih menyambar. Tumpukan besi itu lenyap total. Tidak ada ledakan, tidak ada asap. Hilang begitu saja dari eksistensi.
"Penghapusan selesai," kata Moderator itu. Lalu dia mengarahkan tongkatnya ke arah Ray.
Ray merasakan bulu kuduknya berdiri. Instingnya menjerit: Lari. Jangan dilawan. Ini bukan monster. Ini Kematian.
"LARI!" teriak Ray.
Dia menyambar tangan Hana (yang sedang menggendong Pixel) dan berlari sekuat tenaga ke arah belakang aula.
"Penghapusan dimulai," kata Moderator itu tenang.
Dia menembakkan sinar putih itu. Sinar itu melesat cepat, menghapus lantai di belakang kaki Ray saat dia berlari. Jika Ray terlambat sedetik saja, kakinya akan hilang selamanya.
"Hana! Buat jalan keluar!"
Mereka sampai di dinding belakang. Tidak ada pintu.
"Redraw!" teriak Hana panik. Dia menempelkan tangannya ke tembok.
Tembok itu berlubang, membentuk terowongan darurat. Mereka melompat masuk.
Moderator itu tidak mengejar dengan berlari. Dia hanya berjalan santai, menembus dinding dengan menghapusnya langkah demi langkah. Dia seperti takdir yang tak terelakkan.
Ray dan Hana berlari menyusuri lorong gudang museum, melompati peti-peti artefak.
"Kita tidak bisa melawannya!" napas Hana memburu. "Dia menghapus realitas!"
"Kita butuh pengalih perhatian!" Ray melihat sekeliling. Gudang ini penuh dengan patung-patung lilin tokoh sejarah.
Ray mendorong deretan patung lilin itu hingga jatuh menimpa Moderator.
Moderator itu hanya mengibaskan tongkatnya. WUSH. Patung-patung itu lenyap. Tapi itu memberinya jeda 1 detik.
Mereka sampai di pintu keluar belakang. Ray menendangnya hingga terbuka.
Udara malam menyambut mereka. Mereka berada di taman belakang museum.
"Jangan berhenti!" perintah Ray.
Mereka berlari menuju pagar pembatas, melompatinya, dan mendarat di trotoar jalan raya. Ray segera menyetop sebuah taksi yang lewat (dengan cara sedikit memaksa, melompat ke kap mesinnya).
"Jalan, Pak! Jalan!" teriak Ray saat masuk ke kursi belakang.
Sopir taksi yang kaget langsung tancap gas.
Ray menoleh ke belakang. Di pagar museum, Moderator itu berdiri diam, menatap mereka. Dia tidak mengejar lagi. Dia mengangkat tangannya ke telinga, seolah melaporkan sesuatu.
Ray menyandarkan punggungnya di jok taksi, keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya.
"Itu tadi... gila," bisik Ray. "Min-Ho setidaknya masih punya ego. Orang ini... dia seperti robot pembunuh."
Hana memeluk kotak Tupperware berisi Mahkota Emas itu erat-erat. Wajahnya pucat.
"Itu Moderator," kata Hana pelan. "Penjaga keseimbangan sistem. Jika mereka sudah turun tangan... berarti Arsitek benar. Kita tidak punya banyak waktu sebelum seluruh Seoul di-format ulang."