Sejak usia lima tahun, Raya Amelia hidup dalam neraka buatan ayahnya, Davin, yang menyalahkannya atas kematian sang ibu. Penderitaan Raya kian sempurna saat ibu dan kakak tiri masuk ke kehidupannya, membawa siksaan fisik dan mental yang bertubi-tubi. Namun, kehancuran sesungguhnya baru saja dimulai, di tengah rasa sakit itu, Raya kini mengandung benih dari Leo, kakak tirinya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Qwan in, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
05
Pagi datang terlalu cepat.
Aku terbangun dengan mata bengkak dan tubuh yang terasa lebih berat dari biasanya. Sejenak aku lupa di mana aku berada, hingga aroma teh melati dan suara panci dari dapur mengembalikan kesadaranku. Rumah ini bukan rumahku. Tapi untuk pertama kalinya, itu adalah hal yang melegakan.
Aku duduk di ranjang kecil itu, memandangi dinding kosong sambil membungkus diriku dengan selimut. Kenangan semalam menyeruak, tapi kali ini tidak menghancurkan. Ada sesuatu yang berbeda, aku tidak lagi sendirian.
Saat aku keluar dari kamar, Dava sudah duduk di meja makan kecilnya, dengan dua cangkir teh dan beberapa roti tawar. Dia tersenyum kecil ketika melihatku.
“Pagi. Kamu bisa tidur?”
Aku mengangguk pelan.
“Sedikit. Terima kasih, Dava.”
“Duduk, makan dulu. Kamu butuh tenaga,” ujarnya sambil mendorong salah satu cangkir ke arahku.
Aku menatap teh itu lama, lalu duduk perlahan. Rasanya aneh menerima perhatian seperti ini. Begitu tulus, tanpa syarat, tanpa ancaman tersembunyi.
" Dava. Apa kamu tidak pergi ke sekolah hari ini,"
" Tidak, aku akan menemanimu di sini, sampai kamu merasa lebih aman,".
...
Tiga hari berlalu, sejak kepergian Raya. David ayah dari Raya sedang duduk di sofa ruang tamu dengan wajah memerah karena menahan amarahnya, rahangnya mengeras hingga memperlihatkan urat-urat lehernya. Di sana juda terdapat Linda dan juga Leo. Tak lupa juga dengan bik asih.
" Kemana anak pembawa sial itu pergi," tanya David pada bik asih, suaranya terdengar penuh penekanan.
Bik Asih berdiri di sudut ruangan, menggenggam ujung apron lusuhnya, gugup. Matanya menyapu wajah David, lalu beralih pada Linda yang hanya duduk diam dengan tangan bersedekap, tatapannya tajam dan dingin.
“Saya… saya tidak tahu, tuan,” jawab Bik Asih pelan, nyaris berbisik.
“Waktu saya bangun pagi itu, kamarnya sudah kosong. Jendelanya terbuka…”
David berdiri mendadak, tubuh besar dan tinggi menjulang mengintimidasi siapa pun di ruangan itu. Gelas kopi di meja jatuh saat lututnya menghantamnya tanpa sengaja.
“Kenapa kau baru bilang sekarang, hah?! Tiga hari, Asih! TIGA HARI!” bentaknya.
Bik Asih terisak pelan.
“Saya takut, Tuan… Saya pikir… mungkin Nona Raya hanya pergi sebentar…”
Linda mendengus kasar, lalu berdiri dari kursinya dengan wajah muram. Ia melipat tangan di dada dan menatap tajam ke arah Bik Asih.
“Sebentar? Anak itu tidak tahu diri! Sudah kubilang sejak dulu, dia itu pembawa sial. Harusnya kau awasi dia lebih ketat!”
David kembali duduk dengan geram. Ia mengusap wajahnya kasar, lalu melirik Leo yang tampak acuh tak acuh.
" Leo. Cari dia dan jangan kembali sebelum dia ketemu,"
" Anak itu, harus di beri pelajaran," ucap David.
Leo beranjak dari duduknya, tanpa mengatakan sesuatu.
Leo seorang pria tampan, berusia 24 tahun yang kini menjadi pemimpin di salah satu perusahaan milik David, mempunyai hidup mancung dengan tatapan matanya tajam. Alisnya tebal dan berkulit putih. Tubuh tingginya mencapai 180 cm. Mempunyai sifat dingin dan jarang berbicara, kecuali pada Raya. Kepada nya, Leo menjadi banyak bicara, mencaci, memaki dan juga umpatan-umpatannya kasar lainnya.
Leo berjalan menuju parkiran, dimana mobil mewah nya terparkir. Ia memasuki mobilnya dan menutup pintu dengan hentakan keras. Ia duduk diam sejenak, menghela napas panjang, lalu menyalakan mesin. Jemarinya menggenggam erat kemudi, seolah menahan sesuatu yang nyaris meledak dari dalam dirinya.
Ia menginjak pedal gas, mobil melaju kencang melewati gerbang rumah mewah itu. Tujuan pertamanya. sekolah. Tempat di mana Raya pernah terlihat normal, setidaknya di mata orang lain.
Sesampainya di sekolah, Leo turun dengan langkah cepat. Aura dinginnya menyapu lorong-lorong sekolah, membuat beberapa siswa melirik dengan waspada. Ia tidak bicara banyak, hanya langsung menuju ruang guru dan meminta daftar kehadiran serta catatan aktivitas Raya minggu terakhir.
Beberapa guru terlihat enggan menanggapi, tapi tak ada yang berani menolak saat Leo menyebut nama David. Akhirnya, salah satu guru BK memberikan informasi singkat.
“Raya terakhir kali terlihat dekat dengan salah satu siswa bernama Dava. Mereka tampak sangat akrab.”
Tanpa buang waktu, Leo mencari tahu alamat Dava dari sistem administrasi. Ia tahu betul bagaimana cara menggertak untuk mendapatkan sesuatu. Begitu mendapatkannya, ia kembali ke mobil dan meluncur menuju alamat tersebut.
Sementara itu, di rumah kecil Dava, Edelia sedang menyapu halaman belakang sambil sesekali memandang langit. Ketakutan masih ada, tapi kebersamaan dengan Dava perlahan mengobati lukanya.
Dava keluar membawa jaket dan menyodorkannya pada Raya.
“Udara pagi masih dingin, kamu bisa masuk angin.”
Raya tersenyum tipis. “Terima kasih, Dava. Kamu selalu perhatian…”
Belum sempat Dava membalas, suara mobil berhenti di depan rumah. Mereka saling menatap cepat, detik itu juga, dada Raya berdegup keras.
Ia mengenali suara mesin itu.
Dava melangkah ke jendela dan melihat ke luar. Wajahnya mengeras.
“Leo,” gumamnya pelan.
Raya mundur selangkah, tubuhnya gemetar.
“Dav… aku gak mau ketemu dia. Tolong, jangan biarkan dia masuk.”
Dava menggenggam tangan Raya erat.
“Tenang. Kamu gak sendirian sekarang.”
Leo berdiri di depan pintu rumah kecil itu. Ia mengangkat tangannya dan mengetuk keras.
Tok. Tok. Tok.
" Dava. Aku tau kamu didalam... Buka pintunya," ucap Leo, suaranya datar namun terdengar mengerikan.
Dava membuka pintu perlahan, memperlihatkan sosok Leo yang berdiri di ambang dengan ekspresi dingin dan tatapan menusuk.
“Mana dia?” tanya Leo, langsung. Nada suaranya tenang, tapi berbahaya.
Dava berdiri tegak, menghalangi pandangan ke dalam rumah.
“Kalau kau datang ke sini cuma untuk meneriaki atau menyakitinya lagi, kau nggak akan bisa masuk.”
Alis Leo sedikit terangkat.
“Berani juga kamu ya, bocah.”
“Bukan soal berani,” balas Dava cepat.
“Ini soal manusiawi. Kau dan keluargamu udah cukup menyiksa dia.”
Leo melangkah maju satu langkah, membuat jarak mereka hanya beberapa jengkal.
"Raya. Keluar sekarang dan ikut dengan ku. Atau kau ingin melihat seseorang yang sangat berharga bagi mu terluka," ucap Leo dengan suara meninggi.
Raya berdiri terpaku di balik pintu kamar. Tangannya gemetar, napasnya pendek dan cepat. Jantungnya berdentum begitu keras hingga terasa di telinganya. Suara Leo di luar terdengar jelas, ancaman yang ia kenal terlalu baik.
Dia tahu, jika dia tetap bersembunyi, Dava bisa terluka. Tapi keluar berarti kembali ke dalam lingkaran kegelapan yang selama ini ingin ia lupakan.
“Raya, jangan,” suara Dava terdengar, lantang dan tegas, menyela ketegangan.
Dava menatap Leo tajam, tak gentar meski postur tubuh Leo lebih besar dan mengintimidasi.
BUKK...
Tanpa aba-aba, Leo melayangkan tinjunya ke wajah Dava, hingga membuat tubuh pria itu tersungkur ke lantai.
Darah segar mengalir dari sudut bibir Dava, tapi ia tetap menatap Leo tanpa mundur sedikit pun. Nafasnya terengah, tapi matanya tak kehilangan nyala tekadnya.
“Kalau kau pikir aku akan membiarkanmu membawanya kembali ke neraka itu, kau salah besar,” gumam Dava sambil berusaha bangkit. “Raya bukan milikmu. Dia bukan barang yang bisa kau tarik seenaknya.”
Leo tak menjawab, kini ia kembali melayangkan tinjunya berulang kali hingga membuat Dava nyaris tak sadarkan diri.
" Inikah yang kau mau Raya, melihat orang yang paling berharga bagi mu terluka, karena mu," ucap Leo, dingin dan tanpa rasa bersalah.
Raya berdiri di balik pintu, tubuhnya gemetar hebat. Setiap kata yang keluar dari mulut Leo seperti pisau yang menusuk, tapi yang lebih menyakitkan adalah kenyataan bahwa dia tidak bisa berbuat apa-apa. Lihatlah Dava, pria yang dengan tulus melindunginya, menderita hanya karena kehadirannya.
Tubuhnya bergerak tanpa bisa dia kendalikan, langkah-langkahnya yang tergesa-gesa membawanya keluar dari ruang kamar. Mata Dava yang terpejam, tubuhnya yang terkulai, dan darah yang menetes di bibirnya seolah menggigit jiwanya dengan rasa bersalah yang tak terhingga.
"Raya... Jangan... Jangan lakukan ini," suara Dava hampir tak terdengar, namun dengan sisa tenaga, ia mencoba menyampaikan peringatan.
Raya tidak mendengarkan. Mata yang penuh ketakutan dan air mata yang mengalir deras membawanya melangkah keluar. Dia tidak ingin melihat Dava terluka lebih jauh. Tidak ada yang pantas mendapatkannya, dan apalagi Dava yang telah menjadi satu-satunya orang yang menunjukkan kebaikan padanya.
" Hentikan, jangan sakiti dia lagi, aku akan ikut dengan mu, tapi tolong jangan memukuli nya," ucap Raya dengan air mata yang telah mengalir deras.
Leo berhenti sejenak, matanya yang dingin menatap Raya dengan intens. Ada perasaan campur aduk di dalamnya, antara kemarahan yang masih membara dan kenyataan bahwa Raya akhirnya memilih untuk mengalah.
Raya menatapnya dengan tatapan yang penuh permohonan. Air mata yang terus mengalir tidak mengubah kenyataan bahwa dia harus memilih. Dava atau Leo. Dia tidak bisa membiarkan Dava terluka lebih jauh.
Leo menghela napas panjang, seolah menahan amarah yang ingin meledak. Tangannya yang tadi mengepal kini terlepas, walaupun bibirnya tersenyum sinis.
"Jangan berharap aku akan mudah membiarkanmu pergi, Raya" katanya pelan, tapi mengandung ancaman yang jelas.
"Tapi kalau itu yang kau inginkan, lakukanlah. Tapi ingat, ini hanya sementara."
Dava yang masih terbaring dengan darah di wajahnya, mencoba menggerakkan tubuhnya untuk bangkit, namun sepertinya kekuatannya sudah hampir habis.
"Raya. hati-hati.." Ucapnya dengan suara lemah.
Dengan hati yang berat dan langkah yang terhuyung, Raya berjalan ke arah Leo, matanya tidak pernah lepas dari Dava, seolah dia meminta maaf tanpa kata-kata. Dia tahu, tak ada jalan mudah dari sini. Dan meskipun dia berusaha keras untuk menyembunyikan perasaan takut yang menyelimutinya, hatinya masih berdebar kencang.
Leo menggeram pelan, memerintahkan agar Raya masuk ke dalam mobilnya dengan satu gerakan kasar. Sebelum mereka meninggalkan rumah kecil itu, Leo melirik Dava yang masih berusaha bangkit, dengan tatapan penuh kebencian dan peringatan.
"Jangan coba-coba menghalangi lagi, bocah," ucapnya dengan suara yang mengandung ancaman lebih dalam.
Raya melangkah ke dalam mobil, dan Leo menutup pintu dengan keras, mengunci segala sesuatu yang ada di luar. Mesin mobil menyala, dan mereka melaju ke tempat di mana dia akan kembali terperangkap dalam dunia yang ingin ia hindari. Dunia yang gelap, penuh dengan rasa takut dan pengorbanan.
Namun, satu hal yang Raya pegang erat. selama ada Dava, selama ada seseorang yang peduli padanya, ada harapan kecil untuk keluar dari kegelapan ini. Meskipun sekarang, itu terasa semakin jauh.
Di rumah kecil yang sunyi, Dava terdiam, merasakan luka yang lebih dalam daripada fisik yang ia alami. Matanya yang terbuka perlahan menatap ke luar jendela, berharap ada jalan keluar untuk Raya. Tapi dalam hati, dia tahu bahwa jalan itu tidak mudah, dan dia hanya bisa berharap, meski keputusasaannya hampir menyelimuti.