Sebuah kecelakaan tragis merenggut segalanya dari leon—kesehatan, kepercayaan diri, bahkan wanita yang dicintainya. Dulu ia adalah CEO muda paling bersinar di kotanya. Kini, ia hanya pria lumpuh yang terkurung dalam kamar, membiarkan amarah dan kesepian melumpuhkan jiwanya.
Satu demi satu perawat angkat kaki, tak sanggup menghadapi sikap Leon yang dingin, sinis, dan mudah meledak. Hingga muncullah seorang gadis muda, seorang suster baru yang lemah lembut namun penuh keteguhan hati.
Ia datang bukan hanya membawa perawatan medis, tapi juga ketulusan dan harapan.
Mampukah ia menembus dinding hati Leon yang membeku?
Atau justru akan pergi seperti yang lain, meninggalkan pria itu semakin tenggelam dalam luka dan kehilangan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ra za, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23 Penasaran
Wajah Clarissa berubah drastis saat Leon mengenalkan wanita itu sebagai calon istrinya. Ia masih belum bisa menerima kenyataan bahwa pria yang dulu ia tinggalkan kini datang kembali, bahkan memperkenalkan Nayla sebagai calon istrinya. Yang lebih menyakitkan lagi, Leon terlihat begitu nyaman bersama gadis itu.
Clarissa mencoba menutupi rasa cemburunya dengan duduk kembali di kursi rapat. Wajahnya terlihat tegang, tapi ia berusaha bersikap biasa.
Sementara itu, Leon mengangkat kepalanya menatap Nayla. “Sayang, sebaiknya kamu tunggu aku di ruanganku, ya? Aku akan meeting sebentar,” katanya dengan lembut.
Nayla mengangguk sambil tersenyum manja. “Baiklah, aku akan menunggu. Semoga meeting-nya lancar.” Nada bicaranya terdengar manis dan lembut, membuat suasana hati Leon membaik.
Clarissa yang mendengar itu nyaris menggertakkan gigi. Hatinya benar-benar terasa terbakar. Ia merasa ingin berdiri dan menarik kembali waktu.
“Rafa, tolong antarkan Nayla ke ruanganku,” pinta Leon tenang.
“Baik Tuan. Ayo Nona, saya antar,” jawab Rafa sopan.
“Terima kasih, Rafa,” sahut Nayla dengan sopan sebelum mengikuti langkah Rafa keluar dari ruang rapat.
Sesampainya di ruangan Leon, sebelum kembali ke ruang rapat, Rafa sempat melirik Nayla dan mengacungkan dua jempol padanya. “Keren banget aktingmu tadi! Ekspresi Clarissa jelas banget nggak suka.”
Nayla tersenyum simpul. “Aku cuma menjalankan peranku,” ucapnya tenang.
Rafa hanya tertawa kecil lalu segera kembali ke ruang rapat.
Rapat dimulai. Leon duduk tenang di kursi rodanya, namun aura tegas dan karismanya tetap terasa kuat. Tak satu pun dari para pemegang saham berani mempertanyakan kepemimpinannya, apalagi setelah mendengar langsung pernyataan dari Leon.
“Aku tahu beberapa dari kalian sempat ragu dengan keadaanku. Tapi sekarang aku kembali. Dan wanita yang bersama denganku tadi adalah calon istriku. Apa salahnya jika aku datang ditemani orang yang kucintai? Jangan mudah percaya pada rumor yang beredar tanpa tahu kebenarannya.”
Para pemegang saham pun mengangguk pelan, sebagian bahkan menunjukkan rasa bersalah. Hanya Clarissa yang terlihat masih tak percaya Leon bisa menguasai keadaan dengan begitu mudah.
‘Mengapa dia begitu mudah memikat mereka semua? Bukankah dulu dia begitu hancur?’ batinnya kesal.
Setelah rapat selesai, Leon dan Rafa keluar dari ruang meeting dan berjalan menuju lift. Namun sebelum mereka masuk, Clarissa mengejar.
“Leon, tunggu. Aku ingin bicara.”
Leon menghentikan kursi rodanya, menoleh sebentar dan berkata datar, “Rapat sudah selesai, Nona Clarissa. Kalau ada yang ingin dibicarakan, seharusnya kau sampaikan tadi.”
“Ini bukan soal rapat,” sahut Clarissa cepat.
“Kalau begitu, maaf, aku tidak punya waktu. Kekasihku sedang menunggu,” balas Leon dengan nada sindiran.
Baru Rafa akan mendorong kursi roda Leon, Clarissa dengan cepat memegang lengan Leon. “Please, Leon. Hanya sebentar. Aku ingin bicara.”
Leon menatap tangan Clarissa yang mencengkeram lengannya. “Jangan lancang, Nona Clarissa. Aku sudah bilang, aku tak punya waktu untuk orang seperti kamu. Jangan bersikap seolah-olah tak pernah terjadi apa-apa di antara kita. Mulai sekarang, bersikaplah sewajarnya.”
Suasana menjadi tegang. Rafa segera mendorong kursi roda Leon masuk ke lift, meninggalkan Clarissa yang masih berdiri di tempat, menggigit bibirnya karena kesal telah diabaikan.
Sesampainya di ruang kerja, pintu terbuka, dan terlihat Nayla sedang duduk santai membaca majalah. Begitu melihat Leon masuk, ia langsung tersenyum manis. Senyum itu terasa seperti matahari yang menghangatkan hati Leon yang tadi sempat kesal karena Clarissa.
“Bagaimana rapatnya? Sudah selesai? Lancar?” tanya Nayla riang.
Leon menghampiri dan mencubit pelan pipi Nayla. “Kamu ini benar-benar terlihat seperti Nyonya Leon sungguhan.”
Nayla terkekeh. “Oh, jadi aktingku sudah selesai ya, Tuan?”
Leon ikut tertawa. “Belum tentu. Bisa saja jadi kenyataan nanti.”
Rafa yang mendengar itu tertawa kecil sebelum pamit keluar ruangan. Leon memberi isyarat agar mereka diberi waktu berdua.
Setelah Rafa keluar, Leon duduk santai dan menatap Nayla. “Tadi kamu ngapain aja di sini?”
“Aku? Makan cemilan, minum teh, baca ini.” Nayla menunjukkan majalah di tangannya.
Leon menggeleng gemas. “Aku bersusah payah menghadapi para pemegang saham itu, kamu malah bersantai. Kamu benar-benar sudah seperti istri seorang Leonardo Mahesa.”
“Jangan sering-sering ucapkan itu, Tuan. Ingat, kata-kata adalah doa,” kata Nayla pelan.
Leon menatapnya serius. “Kalau itu benar-benar terjadi, apa kamu keberatan?”
Nayla terdiam sejenak, lalu berkata pelan, “Entahlah, Tuan. Saya tidak tak tahu jawabannya. Biarlah takdir yang menentukan.”
Leon mendengus. “Jawaban yang sangat tidak memuaskan.”
Giliran Nayla membalikkan pertanyaan. “Kalau Tuan sendiri bagaimana? Jika kata-kata itu menjadi kenyataan, Tuan akan keberatan… atau sebaliknya?”
Leon menatapnya dengan tatapan gemas. “Kau ini paling suka balikin pertanyaan.”
“Hehe, maaf, Tuan,” Nayla nyengir.
Tatapan Leon berubah menjadi dalam. Ia menatap Nayla lekat-lekat hingga gadis itu merasa salah tingkah. “Aku yakin semua hal terjadi bukan tanpa alasan. Dan jika suatu saat kau menjadi pendampingku… tetaplah di sisiku. Apa pun yang terjadi. Aku pun akan begitu.”
Nayla tercekat mendengarnya. Kata-kata itu, meski tanpa janji yang diucapkan secara gamblang, terasa hangat dan penuh makna. Hatinya bergetar.
Leon menggenggam tangan Nayla erat. “Terima kasih, Nayla. Kau sudah membuatku kuat lagi. Kepercayaan diriku yang sempat hilang, kau bantu pulihkan kembali.”
Nayla tersenyum. “Saya hanya menjalankan tugas saya. Tapi saya akan selalu siap membantu jika Tuan memerlukannya.”
Leon masih menggenggam tangannya erat. Nayla mulai salah tingkah dan mencoba mengalihkan suasana.
“Ngomong-ngomong, nanti pulang kantor... kita tetap jadi ke rumah ayah saya, kan?”
Leon tersenyum penuh arti. “Tentu saja. Aku ingin berkenalan langsung dengan calon ayah mertuaku.” Ia menaikkan sebelah alisnya menggoda.
Mata Nayla membulat. “Tuan...!”
Dalam hati, Nayla menjerit pelan. ‘Ya Tuhan, kuatkan hatiku menghadapi kerandoman majikanku ini. Semoga aku tidak benar-benar terbawa perasaan. Siapa sangka, pria yang tampak dingin ini bisa seenaknya saat bicara...’
Nayla menarik napas pelan. Ia tahu, ini mungkin hanya sandiwara. Tapi hatinya… entah kenapa mulai rapuh jika harus terus menganggap semuanya hanya peran semata.
---
Setelah Leon meninggalkannya begitu saja, Clarissa berdiri mematung di depan lift dengan wajah kesal. Matanya masih menatap kosong ke arah pintu lift yang telah tertutup sempurna. Nafasnya memburu, tangannya mengepal erat, menahan amarah dan perasaan malu yang menghantam harga dirinya.
Dengan langkah cepat dan penuh kekesalan, Clarissa berjalan keluar dari gedung kantor. Tumit tingginya menghentak-hentak lantai, mengiringi rasa jengkel yang memuncak di dadanya.
Begitu tiba di area parkir dan masuk ke dalam mobilnya, ponsel Clarissa berdering. Ia mengambilnya dengan gerakan cepat tanpa sempat melihat siapa peneleponnya, karena dia sudah menduga siapa yang menelepon.
“Halo, sayang. Aku baru saja selesai meeting,” ucap Clarissa langsung begitu menjawab panggilan itu dengan nada lelah yang dibuat-buat.
“Baru selesai? Lama sekali meeting-nya,” suara Davin terdengar di seberang, sedikit curiga.
“Iya, kamu kan tahu, meeting kali ini dipimpin langsung oleh Leon. Banyak penjelasan dan pembahasan penting yang harus disampaikan,” jawab Clarissa, berusaha terdengar wajar.
“Aku kira setelah kamu bertemu Leon, kalian akan lanjut ngobrol atau bertemu empat mata setelah meeting,” sindir Davin dingin.
“Ngobrol, kamu bilang?” suara Clarissa meninggi, “Melihat wajahku saja dia tak mau, apalagi bicara. Dia datang dengan wanita itu, dan bahkan mengenalkannya sebagai calon istrinya!” geram Clarissa penuh emosi.
“Benarkah?” sahut Davin, terdengar tertarik. “Kalau begitu... berarti Leon benar-benar sudah melupakanmu. Aku jadi penasaran, seperti apa wanita yang bisa membuat Leon move on secepat itu?”
Perkataan Davin seketika membuat Clarissa meledak.
“Maksudmu apa, Davin? Jangan bilang kau juga tertarik pada wanita itu?! Dasar semua pria sama saja!” bentak Clarissa tajam.
Davin buru-buru meredakan situasi. “Sayang, tenang dulu. Bukan begitu maksudku. Maksudku... wanita itu bisa menjadi kelemahan baru Leon. Kalau dia sudah benar-benar jatuh hati, itu bisa kita manfaatkan. Lagipula, bagaimanapun juga, kamu tetap satu-satunya wanita terbaikku.”
“Hmmm gombal!” dengus Clarissa kesal. “Awas kalau sampai aku tahu kamu memang tergoda olehnya. Bisa kubuat kau menyesal, Davin!”
Davin tertawa kecil di seberang, mencoba mencairkan suasana. “Tenang saja, Sayang. Tidak akan ada yang menggantikan posisimu. Kau tetap yang utama. Ngomong-ngomong, kau sudah makan siang belum? Ayo kita makan di tempat biasa.”
Clarissa mendengus kecil, namun akhirnya mengalah. “Baiklah. Aku akan segera ke sana.”
Begitu panggilan berakhir, Davin tersenyum puas. Mudah sekali meluluhkan hati Clarissa, pikirnya.
Tak lama kemudian, Davin melakukan panggilan lagi. Suaranya berubah serius.
“Cari tahu siapa wanita yang datang bersama Leon hari ini.