🔥"Tanaya — Jiwa dari Zaman Purba”
Tanaya, gadis modern yang hidup biasa-biasa saja, tiba-tiba terbangun di tubuh asing—berkulit gelap, gemuk, dan berasal dari zaman purba yang tak pernah ia kenal.
Dunia ini bukan tempat yang ramah.
Di sini, roh leluhur disembah, hukum suku ditegakkan dengan darah, dan perempuan hanya dianggap pelengkap.
Namun anehnya, semua orang memanggilnya Naya, gadis manja dari keluarga pemburu terkuat di lembah itu.
>“Apa... ini bukan mimpi buruk, kan? Siapa gue sebenarnya?”
Tanaya tak tahu kenapa jiwanya dipindahkan.
Mampukah ia bertahan dalam tubuh yang bukan miliknya, di antara kepercayaan kuno dan hukum suku yang mengikat?
Di dalam tubuh baru dan dunia yang liar,
ia harus belajar bertahan hidup, mengenali siapa musuh dan siapa yang akan melindunginya.
Sebab, di balik setiap legenda purba...
selalu ada jiwa asing yang ditarik oleh waktu untuk menuntaskan kisah yang belum selesai.
📚 Happy reading 📚
⚠️ DILARANG JIPLAK!! KARYA ASLI AUTHOR!!⚠️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nyx Author, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
|Terhubung Di Dua Dimensi?
"Ughhhh!!! Hah... Hah.... Hah....!"
Tiba-tiba Tanaya membuka matanya—kaget, tubuhnya sontak terjengkang duduk dengan napas tersengal, seolah baru saja ditarik paksa dari mimpi buruk.
Ia memandang sekelilingnya… dan tubuhnya membeku mendapati Ia berada di tempat yang tak asing.
Di kamar tidurnya?!
Melihat itu hatinya sontak mencelos.
Tunggu… apa yang terjadi?
Kenapa ia ada disini?
Tanaya mengerjap—syok! Ia masih ingat jelas, bahwa ia baru saja tertidur di dalam gua kamarnya saat kembali dari balai suku. Lalu… bagaimana bisa ia terbangun di sini? Di rumahnya sendiri? Bukankah tubuhnya sudah mati?!...
Matanya membelalak lebar, sulit percaya dengan apa yang dilihatnya. Dinding peach yang tampak familiar, meja belajarnya, rak kecil tempat ia menaruh buku anatomi, bahkan bau ruangan yang anehnya masih sama seperti terakhir kali ia tinggalkan.
“Ya Tuhan… ini mimpi? Atau gue benar-benar kembali…?” bisiknya gemetar.
Semuanya terasa nyata, bahkan terlalu nyata. Hingga ia tak tahu lagi mana yang mimpi dan mana dunia sebenarnya. Namun saat ia menunduk, napasnya tercekat.
Tubuhnya… Masih sama!
Masih ditubuh Naya yang asli—gendut, gelap, dan bau. Bahkan pakaian kulit hewan masih melekat di tubuhnya, bau dan teksturnya tetap sama seperti di zaman batu.
“Tidak mungkin…” Tanaya memegang lengannya sendiri—berat, kasar, dan penuh kotoran daki.
Jadi ia kembali ke rumah… tapi tubuhnya tetap tubuh Naya?
Tanpa menyia-nyiakan kesempatan ini, Ia segera bangkit dari tempat tidurnya. pegas kasur bergoyang hebat karena berat tubuhnya dengan bau tanah, dan keringat purba yang pekat yang menyengat membuatnya hampir mual.
Tujuannya langsung menuju kamar mandi lalu melepaskan pakaian kulitnya yang gatal itu dengan tergesa-gesa, dan menjatuhkannya ke lantai. Air dari shower langsung menyembur deras begitu ia memutarnya.
Hangat. Bersih. Dan Segar.
Sensasi yang sejak tadi ia rindukan akhirnya kembali menyelimuti tubuhnya. Mana mungkin ia betah hidup dengan tubuh Naya yang kotor, bau, dan penuh daki seperti ini.
Tanaya memejamkan matanya sejenak, ia membiarkan air hangat mengalir di kulitnya, sampai menelusuri setiap lekukan tubuh besar itu tanpa celah.
Tangannya mulai menggosok tubuhnya keras-keras—berusaha mengikis lapisan daki tebal yang menempel seperti kerak. Namun setiap gerakannya terasa berat; tangannya cepat lelah karena tubuhnya sendiri terlalu berat untuk digerakkan lincah.
“Hahh… akhirnya gue bisa mandi kayak manusia normal lagi…”
Ia sedikit terengah karena usahanya membersihkan tubuh itu menguras tenaga lebih dari yang ia bayangkan.
Setelah selesai, langkahnya kembali menuju kamar. Semua ruangan yang ada di rumah nya masih sama tidak ada yang berbeda sedikitpun. Kini tubuhnya sudah bersih dan merah mengkilap, tapi ada beberapa hal yang mulai ia mengerti dari dunia ini dan dunia tempat ia transmigrasi.
Tanaya dengan tubuhnya yang masih di balut handuk, cepat-cepat mengeluarkan tas dari dalam lemari. Lalu memasukkan beberapa barang-barang yang sangat ia butuhkan seperti sabun, shampo peralatan mandinya dan beberapa bumbu dapur karna waktu ia berada di dunia purba, makanan di sana sangat hambar dan sepertinya tidak memakai bumbu apapun.
Ia kembali memakai pakaian kulitnya meski enggan tapi hanya ini agar ia tidak di curigai. Kepala nya menoleh kearah jam dindingnya, jam itu sangat aneh bahkan tidak bergerak sedikitpun seperti waktu terhenti.
Tadi ia sempat menoleh juga kearah jendela luar dan di luar sana seperti waktu berhenti dan segalanya di buat sesuai di mana ia mati saat itu tapi dunia ini masih terbuka untuknya...
Melihat semua kejadian itu ia jadi ingat apa yang di katakan kakeknya dulu bahwa di dunia ini ada celah dimensi ruang yang tidak sembarang orang bisa masuk... Dulu ia sempat menganggap ucapan kakeknya hanya dongeng tapi saat ia merasakan nya sendiri ia paham.
"Okey, selesai. Gue harus kembali, sebelum mereka panik..."ucap Tanaya sambil menatap cermin.
Kini dirinya sudah bersih, rambutnya tersisir rapi, namun sesaat matanya kembali terpaku pada sesuatu yang aneh di meja riasnya.
“Tunggu…!”gumamnya terkejut."Bukannya bedak ini udah gue masukin kedalam tas tapi kok masih disini?"
Ia memandangi benda itu terkejut, lalu buru-buru memeriksa tasnya di tepi kasur... Ia ingat jelas bahwa ia sudah memasukkan nya kedalam tas. Dan ya! Bedak itu ternyata memang ada di dalam tasnya. Tapi bagaimana mungkin benda yang sama bisa muncul kembali di meja?
Dengan hati-hati, ia kembali mengambil bedak itu lagi… dan seketika, bedak yang sama persis tiba-tiba muncul kembali di meja, seakan disulap begitu saja.
Tanaya yang melihat nya—tersentak, kedua matanya membulat, bibirnya ternganga.
“Apa… apaan ini?” gumamnya pelan, setengah kagum setengah takut.
Tak cukup sampai di situ, ia kemudian berlari lagi ke kamar mandi. Memeriksa kembali peralatan mandinya yang sudah ia masukkan ke tas, tapi saat ia menatap nya tiba-tiba semuanya sudah tersusun rapi di tempatnya semula, persis seperti sebelum ia memindahkannya.
Wajahnya kembali tercengang, dengan mata berbinar-binar.“Oh God! Ini… ini benar-benar sulit dipercaya!"
Sepertinya Tanaya mulai menyadari sesuatu: dunia ini bukan sekadar dunia purba, bukan sekadar tubuh Naya yang ia tempati. Di sini, hukum alam berjalan berbeda, ada keajaiban yang memberinya kebebasan—keajaiban yang bisa ia manfaatkan.
Naya perlahan membuka matanya—menyadari bahwa dirinya sudah kembali ke dunia purba. Ia menunduk, dan mendapati tasnya yang berhasil ia bawa bersamanya.
“Perfect” gumamnya tak percaya, suara bergetar setengah kagum, setengah takut.
Ia buru-buru bangkit dari tidurnya dan menyembunyikan tas itu di dalam tumpukan kain kulit di sudut ruangan.
"Semoga disini aman..."tuturnya.
Kakinya perlahan melangkah keluar dari kamar, dan seperti yang ia duga, Sira sudah bangun lebih dulu. Wanita itu tengah sibuk di dapur goa, mengaduk daging yang direbus di atas batu pipih panas.
Ruangan itu masih sama seperti kemarin: tanpa jendela, tanpa ventilasi, gelap dan pengap. Asap tipis dari rebusan daging membuat udara terasa berat.
"Ibu… sedang masak apa?" tanya Tanaya sambil mendekat.
Sira tersentak kecil, hampir menjatuhkan daging yang sedang ia pegang.
"Ah! Kau mengagetkan ibu, nak. Ada apa? Apa kau butuh sesuatu? Ibu bisa membuatkannya untukmu…"
Namun kalimat Sira terhenti begitu saja. Wanita itu menatap putrinya dari ujung kepala hingga kaki, matanya membesar pelan.
"Naya? Apa… benar ini kau?" gumam Sira, wajahnya bingung.
Tanaya mengerjap. "Eh?"
"Astagaa… kau tampak berbeda hari ini. Lebih… segar. Dan bau ini…"
Sira mencondongkan tubuh dan mengendus pelan rambut Tanaya."Aroma apa ini? Kenapa harum sekali?"
Tanaya refleks meringis. Ia mengangguk cepat—kebohongan yang nyaris otomatis.
"Akuu… Pagi tadi pergi ke sungai untuk mandi, Bu"
Sira tersentak"Hah? Benarkah? Tapi ibu tidak melihatmu. Ibu baru saja dari sungai untuk mencuci daging," ucapnya sedikit mengernyit—heran.
Karna biasanya putrinya itu biasanya sangat malas keluar sendirian. Mendengar itu Tanaya tercekat, tapi ia memaksakan senyum.
Ia tidak bisa mengatakan yang sebenarnya. Tidak mungkin ia menyelipkan kalimat seperti:
'Aku bukan anakmu… Aku Tanaya, dari dunia masa depan. Aku hanya menempati tubuh putrimu tapi Itu bahkan terdengar seperti lelucon gila yang tak masuk akal.
"Aku... Pergi sangat pagi, Bu… mungkin ibu belum ada di sana," jawab Tanaya, berusaha santai.
Sira terdiam sesaat, lalu mengangguk. “Ah, kau pergi sendiri? Sayang sekali Ibu terlambat melihatmu, nak.”
Lalu ia tersenyum hangat, mata yang lembut seperti air terjun musim semi."Ibu senang sekali. Kau mau mandi tanpa harus ibu paksa. Putri ibu… sudah besar sekarang."
Sira memeluknya pelan, hangat dan tulus—pelukan seorang ibu. Sesaat, dada Tanaya terasa sesak oleh rasa bersalah.
Ia bukan putri mereka. Tapi kasih sayang ini… membuat hatinya goyah. Membuatnya ingin menjadi seseorang yang pantas menerima pelukan itu.
“Bu… sini biar Naya bantu,” ucap Tanaya lembut, lalu mengambil alih posisi ibunya untuk mengaduk daging yang hampir matang.
Sira terdiam sejenak—wajahnya melembut. Perubahan putrinya beberapa hari ini benar-benar membuatnya heran. Naya biasanya pemalas, suka mengomel, dan selalu minta dilayani. Tapi kini… ia tampak manis, lembut, bahkan membantu tanpa diminta.
Sira hanya bisa tersenyum hangat melihatnya. Sedangkan Tanaya memperhatikan rebusan daging itu yang tampak hambar dan pucat.
“Bu… apakah ibu punya garam?” tanyanya tiba-tiba.
Sira tersentak, lamunan kecilnya buyar.“Garam? Apa itu?”
Tanaya menimbang kata-katanya. “Benda halus… seperti butiran-butiran kecil.”
“Oh kristal putih itu" Sira merogoh saku pakaian kulitnya dan mengeluarkan sebuah buntalan kecil yang dibungkus kulit binatang.“Yang ini maksudmu?”
Mata Tanaya langsung berbinar.“Iya, Bu! Itu.”
Ia membuka buntalan itu perlahan. Butiran kristal kasar memenuhi telapak tangannya—lebih besar dari garam modern, bercampur butiran pasir dan serpihan mineral laut.
Tanaya mengernyit kecil.'Astaga… ini bahkan belum disaring.'
Di dunia purba ini, garam adalah barang mewah. Suku Selakra—suku yang tinggal dekat pantai utara adalah satu-satunya suku yang bisa membuatnya. Mereka mengumpulkan air laut, menguapkannya secara tradisional, lalu menukarnya dengan kulit, bulu, atau daging.
Sementara itu, suku Nahara dan suku lainnya yang hidup di lembah harus berjalan hingga tiga hari untuk mendapatkan garam tersebut atau menunggu musim pertukaran tiba.
Tak heran garam di sini sangat dihargai.
Tanaya membalik garam itu di tangannya.“Bu… ini kasar sekali. Apakah memang begini?”
Sira mengangguk. “Ya. Kristal ini dari suku Selakra memang begitu. Mereka membuatnya dari air laut. Walau sedikit kasar, tapi ini sangat baik untuk tubuh. Para pemburu selalu memakannya langsung supaya kuat.”
Mendengar itu, Tanaya menahan senyumnya. 'Ya ampun… mereka makan garam kayak ngemil kuaci?'Tapi ia tak bisa menyalahkan siapa pun—di dunia tanpa bumbu, garam adalah surga.
“Emm... bagaimana kalau kita tambahkan ini di daging bu… rasanya pasti akan jauh lebih enak.”ucap Tanaya berbinar.
Sira memandangnya bingung karna biasanya butiran itu di makan langsung bukan di taruh di makanan. Namun tak ingin membuat putrinya sedih iapun mengangguk mengiyakan.
“Baiklah, nak. Ibu percaya padamu.”
Tanaya tersenyum senang lalu perlahan menaburkan garam dengan hati-hati ke dalam rebusan daging sesekali ia memilihnya agar pasirnya tidak ikut masuk.
Diam-diam Tanaya juga memasukkan bumbu kaldu ke daging itu yang ia ambil dari dunia Tanaya tersenyum sendiri.
Dengan sedikit bumbu ini… mungkin ia bisa mengubah makanan suku ini—pelan-pelan, tanpa menimbulkan kecurigaan.
"Siap!! Ayo Bu kita makan bersama. Aku akan panggil Ayah dan kak Yaren dulu..."
...>>>To Be Continued......
tapi klo di pake trs Tanaya selamat ya ceritanya ga bakal sesuai sihh