Sri dan Karmin, sepasang suami istri yang memiliki hutang banyak sekali. Mereka menggantungkan seluruh pemasukannya dari dagangan bakso yang selalu menjadi kawan mereka dalam mengais rezeki.
Karmin yang sudah gelap mata, dia akhirnya mengajak istrinya untuk mendatangi seorang dukun. Lalu, dukun itu menyarankan supaya mereka meletakkan celana dalam di dalam dandang yang berisikan kaldu bakso.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Rey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
LELAH MENJADI MISKIN
Mendengar penuturan suaminya, Sri mendelik hingga bola matanya hampir lepas.
"OPO ...? Koen gendeng tah? Opo koen mabuk mari mangan semir, MIN ... KARMIN ....?!" Wanita bertubuh gemuk itu berbicara dengan dada naik turun dan ngos-ngosan. Suaranya terasa hampir mencekik lehernya sendiri.
Karmin mend3sah lelah. "Wes thoo, Dek. Jangan marah-marah begitu. Ini kan lagi di warung. Nggak enak dilihat banyak pelanggan. Orang-orang lagi menikmati bakso, jangan sampai mereka kehilangan nafsu makan."
Tanpa menggubris ucapan suaminya, Sri pun langsung masuk ke dalam rumah dengan lirikan sinis. Tentu saja dia merasa geram kepada Karmin. Pria itu selalu saja menurut kepada sang ibu.
Bukannya Sri ingin menjadi menantu durhaka. Hanya saja, saat ini keuangan mereka sedang berantakan. Bahkan mereka sampai pergi ke Gunung Kawi untuk mencari penglarisan kolor pu—ma. Jika Karmin terus-menerus menuruti kemauan Mak Satupa, bisa-bisa hutang mereka kepada Bawon tidak akan beres sampai mati.
"Huuuh ... gak anak, gak emak, sama saja!" Sri mendengkus sebal.
Wanita itu segera membuka kulkas di dapur dan mengambil beberapa pentol atau bakso yang ia sisihkan untuk ia makan sendiri. Sri memang selalu menaruh semangkok atau beberapa butir pentol untuk ia makan bersama dengan keluarga kecilnya. Biasanya Sri akan membuat kuah sendiri khusus untuk keluarga mereka, tentunya kuah yang tidak bercampur dengan kolor pu—ma. Kadang kala, dia juga memasak pentol-pentol itu dengan masakan pedas.
"Lebih baik aku makan saja biar perutku kenyang, dari pada memikirkan Mas Karmin dan Emak yang sungguh-sungguh menyebalkan." Dia bersungut-sungut seraya membuat bumbu dan menguleknya di atas layah alias cobek.
"Aku akan membuat oseng bakso mercon, hehehe." Sri terkekeh seraya menggerus lembut beberapa butir bawang dan cabai.
Dia mulai asik memasak di di depan kompor, hingga lupa dengan permasalahan yang baru saja mendera rumah tangganya, yakni permasalahan penambahan hutang di rentenir desa.
Seusai memasak, Sri langsung duduk di depan meja makan seraya menghadap sepiring nasi.putih panas ditambah dengan semangkok oseng pentol pedas mercon. Dia melahap nasi panas di hadapannya dengan begitu kilat. Mungkin karena dia lelah dan juga lapar, karena sedari jam 02.00 pagi dia sudah bergelut dengan segala macam condimen dagangannya yang harus ready dan opening di jam 07.00 pagi. Lalu dia juga harus ke pasar.
"Kenapa tadi aku tidak sarapan di pasar saja ya? Kalau begini kan aku jadi kalap karena kelaparan, heheheh." Dia terkekeh.
"Masa bodohlah dengan cocot (mulut) para tetangga yang bilang kalau aku ini gembrot seperti gapura kecamatan, yang penting aku bahagia," dengusnya.
Saat Sri sedang menikmati nasi hangat di ronde yang ketiga, tiba-tiba Karmin datang menghampiri sang istri.
"Ya ampun ... makan apa kamu, Dek? Kok baunya enak sekali?" Pria cungkring itu mendenguskan hidungnya berulang kali.
Sri yang masih ngambek, tentu saja malas untuk menyahuti ucapan sang suami. Dia masih menyibukkan diri untuk mengunyah makanan lezat di hadapannya.
"Kamu marah ya?" Karmin duduk di sebelah Sri dengan wajah memelas dan tatapan sendu ala-ala pria yang sedang berusaha mengambil hati pasangannya yang sedang ngambek.
Sri masih enggan menyahuti.
"Begini, Dek. Emak itu kan janda. Dia butuh uang untuk tambahan modal dagangannya di pasar. Dia juga harus memperbaiki genteng di dapurnya yang bocor, karena sekarang kan lagi musim hujan. Jadi, aku mengiyakan saja saat Yuk Bawon ke sini untuk meminta tanda tangan dan persetujuanku untuk pinjaman yang Emak ajukan." Karmin mulai membuka obrolan.
Sri masih tidak mau menggubris omongan sang suami. Menoleh pun tidak, wanita itu masih sibuk menikmati pentol mercon yang ia masak.
"Lagi pula ... dagangan kita kan belakangan ini rame. Kita masih sangat kuat jika harus membayar perpanjangan tenor pinjaman sebesar 1 juta setiap minggu. Nanti kita bisa menabung sampai terkumpul uang 16 juta untuk mengembalikan hutang pokok atau hutang induknya." Pria cungkring itu tertawa kuda tanpa suara. Hal itu semakin membuat Sri gemas dan sebal.
"Ayolah, Dek. Jangan marah begini. Kita juga harus berbakti kepada Emak kan. Hitung-hitung untuk mengimbangi dosa kita yang sudah pergi ke lereng Gunung Kawi untuk mencari penglaris dagangan," kata Karmin, sedikit membujuk.
Sri masih tetap terdiam dan khusyuk dengan kesibukannya di meja makan.
"Sri! Kalau diajak bicara oleh suami itu jangan diam saja! Kamu tidak budek, kan?" Karmin mulai terlihat sebal melihat sikap sang istri yang terus-menerus cuek.
Sri masih teguh pada pendiriannya. Dia terus menulikan telinga dan membutakan matanya.
"Sri! Jangan membuatku merasa emosi ya! Aku ini ngomong baik-baik. Jadi tolong hargai aku dan jangan—"
"Min ... Karmin ...! Bungkus!" Teriakan seorang pembeli dari luar rumah Karmin telah memotong ucapan pria itu yang sedang marah kepada istrinya.
"Eh, iya, Mbak!" Karmin segera beranjak dari kursi kayu itu dan bergegas keluar dari dalam rumah, meninggalkan Sri yang masih memasang wajah menekuk dan bibir monyong sekian senti.
Ternyata kemarahan Sri berlanjut sampai malam hari. Wanita itu masih terus mendiamkan suaminya, bahkan sampai dagangan mereka habis dan warung mereka kukut alias tutup.
"Kamu masih marah?" Karmin meneriaki istrinya dari teras rumah sambil membereskan beberapa mangkok dan juga kondimen-kondimen bakso yang masih sisa, seperti; bawang goreng, bawang daun, dan sayuran seperti kol atau selada.
Sri tidak menjawab apapun. Dia hanya mengambil kotak uang di gerobak, lalu masuk kembali ke dalam kamarnya.
Melihat hal itu, Karmin semakin dibuat geram oleh tingkah sang istri. Dia segera memasukkan dandang ke dalam dapur dan mengangkat kolor yang ada di dasar dandang, rutinitas harian seperti biasanya.
Dia ingin sekali memarahi istrinya atau memukuli, karena sang istri seharian ini sudah membuat Karmin benar-benar merasa jengah dan sebal. Kesabaran Karmin yang hanya setipis tisu merk abal-abal itu sungguh sudah terkikis habis. Tapi ... Karmin harus melandai di depan Sri, karena dia tahu betul bahwa dirinya sangat membutuhkan tubuh Sri untuk persembahan nanti malam di rumah Mbah Samijan.
Bagaimana tidak? Ritual kolor pu—ma itu memang melibatkan Sri secara langsung. Sri harus mau diajak melakukan hubhuuung*n badan di rumah si dukun dan kolor putih yang ia kenakan selepas melakukan hubhuung*n badan itulah yang akan direndam ke dalam kuah bakso.
"Kalau Sri ngambek, bisa kere lagi nih diriku!" Karmin berbisik pelan.
"Aku harus merayunya agar dia mau ku-ajak ke rumah Mbah Samijan. Karena aku sudah berjanji kepada dukun itu, kalau malam ini Sri akan ikut ke rumahnya, heheheh," tandasnya dengan senyum penuh kelicikan.
Sri terlihat sedang duduk di atas kasur sambil menghitung uang hasil berjualan. Karmin menghampiri sang istri yang sedang mengenakan daster pink motif lope-lope itu.
"Sayang ... maafin, Mas, ya," kata Karmin seraya memeluk pundak sang istri.
Sri masih diam. Dia sibuk menghitung uang-uang di kotak bekas kaleng biskuit bertuliskan Monde Serena.
"Mas janji, setelah ini ... Mas tidak akan menuruti Emak lagi. Sumpah!" Karmin memasang wajah melas.
Sri mendongak. Tatapan matanya nampak seperti elang yang hampir menyambar mangsa. "Halah! Bohong! Kamu selalu begitu, Mas!"
"Tapi kali Mas bersungguh-sungguh. Suwer sambar gludukan, Dek." Karmin mencebik.
Sri menghela nafas panjang.
"Ayo lah, jangan bertengkar terus. Malu sama Ghea. Dia nanti curiga kalau kita saling mecucu dan saling tidak berbicara begini. Ghea sudah kelas 2 SMP, dia itu pasti peka, Dek. Kasihan kan kalau dia melihat kita tidak akur." Karmin mulai memepetkan tubuhnya ke tubuh Sri.
Jika sudah masuk ke dalam pembahasan tentang Ghea, Sri luluh.
"Heeemmm, baiklah. Tapi ini yang terakhir lho, ya?" Wanita itu memicing.
"Baik, Sayang. Aku minta maaf, ya. Maafin Emak juga," kata Karmin dengan mata berbinar-binar.
Sri mendengus pelan. "Heeemmm."
"Sayang, malam ini kita ada ritual lho, kamu lupa ya?" Karmin memegang tangan istrinya dengan lembut dan penuh dengan tatapan hangat.
"Gak lupa. Aku juga sudah bersiap." Sri mendongak.
"Ya sudah, aku akan mandi. Setelah itu, kita berangkat." Karmin nampak mengangguk senang dan langsung menyambar handuk yang menjuntai di pintu kamar.
"Mas!" Sri memanggil, Karmin pun menghentikan langkah.
Pria itu menoleh. "Iya, Dek," ucapnya dengan lembut.
"Nanti kita melakukannya di rumah Mbah Mijan lagi?"
"Iya, Sayang. Ya kayak waktu itu. Aku dan kamu, kita berdua melakukan hubhuuung*n suami istri di kamar Mbah Mijan."
"Lampunya dimatiin?" Sri mengernyitkan kening hingga nampak segaris lurus di dahinya.
"Iya, Sayang."
"Gak boleh ya kenthu dengan lampu menyala?"
"Waduh, itu syarat dari sananya, Dek. Biar kolornya jadi sakti."
"Aku takut, Mas."
"Kan ada Mas, Sayang. Kita berduaan terus kok." Karmin tersenyum lembut lalu kembali berjalan ke arah kamar mandi.
"Mas ....!"
"Iya, Sayang."
"Mainnya jangan kasar kayak minggu lalu dong. Mas Karmin kalau main di rumah Mbah Mijan itu terlalu ngoyo. Aku kewalahan."
"Iya, Dek. Namanya juga kebawa suasana, hehehe."
"Kalau di rumah sendiri gak mau diajak kenthu, kalau di rumah Mbah Karmin kayak pengantin baru, huuuh!" Sri mendengkus.
"Iya, Dek. Syaratnya memang begitu."
"Heeemmm, ya wes lah. Yang penting kita lekas kaya dan lekas bebas dari hutang. Aku lelah menjadi miskin, Mas."
"Nah, itu dia pinter, hehehe. Mas juga lelah jadi orang kere, Dek." Karmin terkekeh.
"Ya sudah, kamu bersiap, ya. Mas akan mandi. Bair nanti kita bisa main dengan tubuh fresh di rumah Mbah Mijan," tandasnya.
"Baik, Mas Karmin."
Pria itu pun segera masuk ke dalam kamar mandi dengan senyuman penuh misteri.