Di sudut sebuah toserba 24 jam yang sepi, seorang pemuda berdiri di balik kasir. Namanya Jin Ray.
Ray bukan pemuda biasa. Di balik seragam toserba berwarna oranye norak yang ia kenakan, tubuhnya dipenuhi bekas luka. Ada luka sayatan tipis di alis kirinya dan bekas jahitan lama di punggung tangannya. Tatapannya tajam, waspada, seperti seekor serigala yang dipaksa memakai kalung anjing rumahan.
“Tiga ribu lima ratus won,” ucap Ray datar. Suaranya serak, berat, jenis suara yang dulu membuat orang gemetar ketakutan saat ia menagih utang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ray Nando, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pangeran Sempurna dan Monster Beton
Kilatan petir masih menerangi wajah mereka berdua di dalam toserba yang sempit. Jin Ray mencengkeram tongkat baseball besinya, sementara Kang Min-Ho hanya berdiri santai dengan satu tangan di saku celana mahalnya.
“Kau pikir tongkat besi itu bisa melukaiku?” tanya Min-Ho, nada suaranya terdengar geli.
Ray tidak menjawab. Ia tahu ia kalah segalanya. Kalah tampang, kalah uang, dan—menurut sistem—kalah level.
Min-Ho maju selangkah. Ray menegang. Namun, pria berjas itu hanya mengambil satu botol susu pisang dari rak di dekat meja kasir.
“Berapa?” tanya Min-Ho.
“Seribu lima ratus won,” jawab Ray otomatis. Kebiasaan kasir susah dihilangkan.
Min-Ho meletakkan selembar uang 50.000 won di meja. “Ambil kembaliannya. Beli baju baru. Kau terlihat menyedihkan.”
Min-Ho berbalik menuju pintu. Sebelum keluar, ia berhenti sejenak dan menoleh, matanya yang berwarna emas kembali normal menjadi hitam pekat. “Nikmati waktu mainmu, Bug. Besok, permainan yang sebenarnya dimulai.”
Lonceng pintu berbunyi kling-kling. Min-Ho menghilang ditelan hujan dan kegelapan malam, meninggalkan Ray yang masih memegang tongkat baseball dengan tangan gemetar karena amarah.
[Analisis Selesai]
[Rival: Kang Min-Ho]
[Level Perkiraan: 50+]
[Saran Sistem: Jangan melawannya secara langsung saat ini. Peluang menang: 0,001%.]
Ray membanting tongkat baseballnya ke lantai. “Sistem sialan! Kenapa kau memberiku musuh level 50 saat aku baru level 2?!”
[Respon Sistem: Karena hidup itu tidak adil, Tuan Ray. Sekarang, bersihkan lantai. Shift malam belum berakhir.]
Ray menghela napas panjang, menatap uang 50.000 won di meja. Harga dirinya terluka, tapi perutnya lapar. Ia mengambil uang itu dan memasukkannya ke mesin kasir. “Setidaknya untung besar hari ini,” gumamnya masam.
Keesokan harinya, matahari bersinar terik di langit Seoul, seolah badai semalam tidak pernah terjadi.
Ray terbangun dengan kepala pening di apartemen atap (rooftop) sewaannya yang sempit. Kasurnya tipis, dan suara klakson dari jalan raya di bawah terdengar bising.
Baru saja ia hendak menutup mata lagi, sebuah layar biru transparan muncul tepat di depan wajahnya, memaksanya bangun.
[Misi Harian Tersedia!]
[Nama Misi: Makan Siang Sang Putri.]
[Tujuan: Antarkan bekal makan siang untuk Choi Hana.]
[Lokasi Target: Situs Proyek Taman Kota Gangnam.]
[Hadiah: Poin Atribut +1, Tiket Lotre Keberuntungan (Rendah).]
[Hukuman Gagal: Diare selama 3 hari.]
“Diare? Serius?” Ray mengerang frustrasi. Ia bangun dan menyambar handuk. “Baiklah, baiklah! Aku lakukan!”
Satu jam kemudian, Ray sudah berdiri di depan cermin retak di kamar mandinya. Ia mengenakan kemeja flanel kotak-kotak dan celana jeans hitam pudar—pakaian terbaik yang ia miliki. Ia memandang kotak bekal yang baru saja ia buat: kimbap (nasi gulung) sederhana dengan isian tuna dan telur dadar. Bentuknya sedikit berantakan, tapi rasanya lumayan.
“Semoga dia tidak keracunan,” gumam Ray.
Ia berangkat menaiki skuter matic bututnya menuju lokasi proyek.
Situs Proyek Taman Kota Gangnam adalah area luas yang penuh dengan debu, rangka baja, dan alat berat. Di tengah hiruk-pikuk itu, Ray melihat Choi Hana.
Gadis itu mengenakan helm proyek putih dan rompi keselamatan, memegang gulungan kertas biru besar. Bahkan dengan debu konstruksi di sekitarnya, Hana tetap terlihat bersinar.
Ray memarkir skuternya dan hendak melambaikan tangan, ketika sebuah mobil sedan hitam mewah meluncur masuk ke area proyek. Pintu mobil terbuka, dan keluarlah Kang Min-Ho.
Siang ini, Min-Ho mengenakan setelan jas biru laut yang memukau. Ia berjalan dengan percaya diri, diikuti oleh beberapa asisten yang membawa kopi dan kotak makan siang premium dari hotel bintang lima.
Para pekerja proyek membungkuk hormat. Hana terlihat terkejut, lalu tersenyum sopan saat Min-Ho menyapanya.
Ray bersembunyi di balik tumpukan sak semen. Hatinya panas.
[Peringatan Rival!]
[Kang Min-Ho melancarkan serangan: "Pesona Kapitalisme".]
[Efek: Meningkatkan karisma sebesar 200% di depan kerumunan.]
Ray melihat Min-Ho menyerahkan kopi pada Hana. Mereka tertawa. Hana terlihat nyaman. Tentu saja, siapa yang tidak nyaman dengan pria tampan, kaya, dan sopan? Dibandingkan dengan Ray, si mantan preman yang membawa kimbap penyok...
“Aku pulang saja,” bisik Ray, mentalnya jatuh.
Tiba-tiba, Ray merasakan getaran aneh. Bukan dari ponselnya, tapi dari tanah.
Kacamata Deteksi Glitch yang ia beli semalam—yang sekarang tergantung di kerah bajunya—bergetar pelan. Ray segera memakainya.
Dunia berubah warna menjadi abu-abu. Dan di tengah situs konstruksi itu, Ray melihat sesuatu yang mengerikan.
Sebuah Crane (derek) raksasa di belakang Hana dan Min-Ho diselimuti aura ungu pekat. Kabel-kabel bajanya menggeliat seperti ular hidup.
[GLITCH TERDETEKSI!]
[Monster: Construct Golem (Level 15).]
[Penyebab: Kekecewaan arwah pekerja bangunan.]
“Awas!” teriak Ray tanpa sadar.
Tapi suaranya tenggelam oleh suara mesin.
Tiba-tiba, kabel baja derek itu putus dengan suara dentuman keras. Kait besi raksasa seberat dua ton mengayun liar, langsung mengarah ke tempat Hana berdiri.
Hana membeku. Ia menatap kematian yang datang dari udara.
Min-Ho bergerak. Cepat sekali. Dengan gerakan elegan, ia menarik pinggang Hana dan melompat mundur. Kait besi itu menghantam tanah tempat Hana berdiri sedetik lalu, menciptakan kawah kecil dan debu yang membumbung tinggi.
Brak!
“Kau tidak apa-apa?” tanya Min-Ho, menatap mata Hana dengan pose heroik yang sempurna.
Hana mengangguk gemetar, wajahnya pucat. “T-terima kasih, Direktur Kang.”
Para pekerja berteriak panik. Namun, bagi Ray yang memakai kacamata, horor belum berakhir. Tumpukan beton dan besi di sekitar derek itu mulai bergerak. Mereka menyatu, membentuk sesosok raksasa setinggi empat meter. Sebuah Golem Beton.
Masalahnya: Tidak ada orang lain yang melihatnya.
Di mata para pekerja dan Hana, itu hanya kecelakaan konstruksi biasa di mana tumpukan material roboh. Tapi di mata Ray dan Min-Ho, Golem itu sedang mengangkat tinju betonnya untuk menghancurkan Hana.
Min-Ho menyadari kehadiran monster itu. Ia melirik tajam ke arah Golem tak kasat mata itu. Tangan kanannya diam-diam membentuk sebuah segel sihir emas di belakang punggungnya.
Dia akan menembaknya, pikir Ray. Tapi ada banyak orang di sini! Ledakan sihir akan melukai warga sipil!
Min-Ho tidak peduli. Ia adalah "Pahlawan Sempurna" yang fokus pada hasil. Ia bersiap menembakkan tombak cahaya yang tak terlihat.
“Jangan, bodoh!” umpat Ray.
Ray tidak punya sihir keren. Ia tidak punya pedang cahaya. Tapi dia punya Sistem Toko Item dan sisa poin Karma.
Ray membuka menu toko dengan pikiran secepat kilat.
[Membeli Item: "Pelumas Licin Ekstrem" (30 Karma)]
Sebotol cairan biru muncul di tangan Ray. Tanpa ragu, Ray berlari keluar dari persembunyiannya. Bukan ke arah Hana, tapi ke arah kaki Golem Beton itu.
“Hoi, monster semen!” teriak Ray untuk menarik perhatian si Golem (meski di mata orang lain, Ray berteriak pada tumpukan batu).
Golem itu menoleh. Min-Ho terkejut melihat Ray muncul tiba-tiba. Konsentrasinya buyar, segel sihirnya batal terbentuk.
Ray melempar botol pelumas itu tepat ke bawah telapak kaki raksasa Golem yang hendak melangkah.
SPLAT!
Cairan itu pecah. Golem yang beratnya berton-ton itu menginjak cairan super licin. Hukum fisika (dan sihir sistem) bekerja. Kaki Golem tergelincir hebat.
Tubuh raksasa itu oleng, kehilangan keseimbangan, dan jatuh berdebum ke arah yang berlawanan dari Hana—menimpa tumpukan pasir kosong.
BOOM!
Tanah bergetar. Debu menutupi segalanya.
Bagi orang biasa, terlihat seolah-olah tumpukan material itu runtuh sendiri karena tidak stabil.
Ray terbatuk-batuk, mengibaskan debu dari wajahnya. Ia berdiri dengan napas terengah-engah.
Debu perlahan turun. Min-Ho menatap Ray dengan pandangan tak percaya. Ia baru saja melihat seorang newbie level rendah mengalahkan monster level 15 hanya dengan... membuatnya terpeleset?
“Ray-ssi?”
Suara Hana terdengar di antara debu.
Ray menoleh. Hana berlari ke arahnya, meninggalkan Min-Ho yang masih berdiri kaku.
“Ray-ssi! Kau... kau nekat sekali!” Hana memeriksa tubuh Ray, khawatir ada yang terluka. “Kenapa kau lari ke sana? Itu berbahaya! Reruntuhannya hampir menimpamu!”
Ray tersenyum canggung, menggaruk belakang kepalanya. “Ah, aku... aku melihat ada kucing yang hampir tertimpa batu. Jadi aku lari menyelamatkannya.”
“Kucing?” Hana melihat sekeliling. Tentu saja tidak ada kucing.
Min-Ho berjalan mendekat, wajahnya datar namun matanya berkilat kesal. Ia tahu Ray berbohong, tapi ia tidak bisa membongkarnya tanpa mengungkap keberadaan monster.
“Keberanian yang bodoh,” sindir Min-Ho dingin. “Kau bisa mati konyol, Tuan Kasir.”
Ray menatap Min-Ho, lalu mengangkat kotak bekal kimbap yang sejak tadi ia lindungi di pelukannya. Ajaibnya, kotak itu masih utuh.
“Mungkin,” jawab Ray tenang. Ia menyodorkan kotak bekal itu pada Hana. “Tapi setidaknya aku tidak diam saja.”
Hana menerima kotak bekal itu dengan mata berbinar. “Ini... untukku?”
“Aku membuatnya tadi pagi. Kimbap tuna. Mungkin bentuknya jelek, tapi...”
“Aku suka kimbap tuna!” potong Hana antusias. Ia melirik kotak makan mewah dari hotel yang dibawa Min-Ho, lalu kembali menatap kotak plastik murah milik Ray. “Terima kasih, Ray-ssi. Ini manis sekali.”
TING!
[Misi Harian Selesai!]
[Bonus Momen: "Sentuhan Personal Mengalahkan Kemewahan".]
[Affection Choi Hana: 42/100 (Terharu)]
[Rival Kang Min-Ho: Iritasi Meningkat.]
Min-Ho mendengus pelan, merapikan jasnya yang sebenarnya tidak berantakan. Ia sadar ia baru saja kalah dalam satu ronde kecil. Bukan pertarungan kekuatan, tapi pertarungan hati.
“Baiklah,” kata Min-Ho, senyum palsunya kembali terpasang. “Kita harus mengevaluasi keamanan proyek ini, Nona Choi. Silakan nikmati makan siangmu dengan... temanmu.”
Min-Ho berbalik pergi, tapi Ray bisa melihat kepalan tangan pria itu mengeras.
Hana mengajak Ray duduk di bangku taman yang belum jadi. Mereka membuka bekal kimbap itu bersama. Angin musim gugur bertiup pelan, menerbangkan debu dan menyisakan momen tenang.
“Ray-ssi,” kata Hana sambil mengunyah kimbap dengan pipi menggembung lucu.
“Hm?”
“Kenapa rasanya... setiap kali ada bahaya, kau selalu ada di dekatku?”
Ray terdiam. Ia menatap profil wajah Hana. Gadis yang polos, yang tidak tahu bahwa di atas kepalanya ada pengukur cinta digital, dan di sekelilingnya ada monster tak kasat mata.
“Mungkin,” jawab Ray pelan, mengambil sepotong kimbap. “Karena nasib sedang mencoba membayar hutangnya padaku.”
Hana tidak mengerti maksud Ray, tapi ia tersenyum.
Di kejauhan, di balik bayangan gedung pencakar langit, Kang Min-Ho mengawasi mereka melalui jendela mobilnya. Ia mengeluarkan ponsel, menekan sebuah nomor.
“Halo, Pusat Komando,” ucap Min-Ho dingin. “Naikkan tingkat kesulitan untuk Area Gangnam. Kita punya tikus kecil yang perlu diberi pelajaran. Dan... aktifkan Scenario B untuk Choi Hana.”
Min-Ho mematikan telepon, menatap Ray dari jauh dengan tatapan mematikan.
“Nikmati kemenangan kecilmu, Jin Ray. Karena ceritanya baru saja akan berubah menjadi Thriller.”