Amira wanita cantik itu, menatap suaminya dengan perasaan yang sulit di artikan. bagaimana tidak, dua tahun yang lalu, dia melepaskan kepergian Andika untuk bekerja ke kota, dengan harapan perekonomian rumah tangga mereka akan lebih mapan, keluar dari kemiskinan. tapi harapan itu hanyalah angan-angan kosong. suami yang begitu di cintanya, suami yang setiap malam selalu di ucapkan dalam sujudnya, telah mengkhianatinya, menusuknya tanpa berdarah. bagaimana Amira menghadapi pengkhianatan suaminya dengan seorang wanita yang tak lain adalah anak dari bos dimana tempat Andika bekerja? ikuti yuk lika-liku kehidupan Amira beserta buah hatinya..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Baim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
19
Setelah tiba di kost, Amira dan Bu Sinta segera turun dari mobil. Sedangkan Pak Slamet kembali melanjutkan mobilnya menuju kantor camat, tempatnya bekerja. Kost-kostan Bu Sinta, ada empat pintu yang tiganya sudah ada penghuninya.
"Loh...Amira."
Sontak Amira dan Bu Sinta memalingkan. Melihat seseorang wanita seumuran Amira, yang baru keluar dari dalam kost, dengan mengenakan seragam warna biru sebuah minimarket, memanggil nama Amira. Amira sedikit mengernyit. Mengingat-ingat wanita itu. Tapi sebelum menemukan jawaban....
"Masya Allah, kamu Amira kan?"Tanya wanita itu lagi, melangkah maju ke arah Amira dan Bu Sinta.
"Ya Allah...Hesti."
Keduanya langsung berpelukan dengan erat. Amira sampai mengeluarkan air matanya. Saking terharu bisa bertemu dengan sahabat lamanya. Hesti pun sama. Keduanya terisak pelan.
"ehkeeem.."
Bu Sinta mengeluarkan suara batuk. Amira dan Hesti segera melepaskan pelukan mereka. Amira menghapus pipinya yang basah. Lalu tersenyum bahagia.
"Bu kenalkan ini Hesti teman aku, dari orok..Hes, ini Bu Sinta. Orang yang aku anggap seperti Ibu ku sendiri..sekaligus pemilik kost-kostan ini."
Hesti dan Bu Sinta tersenyum.
"Aku sudah tau, aku kan tinggalnya di sini
"Iya ya..."
Amira jadi salah tingkah. Sudah tentu Hesti mengenal Bu Sinta. Karena dia tinggal di kost-kostan Bu Sinta
"Ini anakmu Mir?"Tanya Hesti, melihat seorang bocil sedang di peluk Amira.
"Iya, ayo sayang, salim sama Tante dulu."
Alif mengulurkan tangannya pada teman Ibunya. Hesti memberikan telapak tangannya, dan Alif meraih tangan itu, dan...."cup...."
Terdengar suara kecupan kecil dari bibir Alif. Amira, Hesti dan Bu Sinta tertawa, dengan tingkah Alif. Alif yang merasa kalau ditertawakan, langsung memeluk leher Ibunya.
"Ya sudah, ayo Hes...kita masuk dulu yuk...kalian sekarang jadi tetanggaan..tolong lihat-lihat Amira sama Alif ya?"
Ucapan dan permintaan Bu Sinta, membuat Hesti terkesiap. "Apa Mir? Kamu mau ngekos di sini?"Tanyanya sedikit bingung.
"Iya...nanti sebentar aku ceritakan, kamu mau pergi kerja kan? Ayo buruan nanti kamu terlambat."
Hesti ingin bertanya lebih lanjut, tapi kata Amira benar. Sebagai seorang karyawan sebuah minimarket, dia sudah hampir terlambat.
"Ayo Mir, silahkan masuk!"Ajak Bu Sinta, setelah membuka pintu, yang paling ujung. Tangannya membawa tas pakaian Amira yang tidak terlalu besar, masuk ke dalam. Amira menggendong anaknya, mengikuti langkah Bu Sinta.
Di dalam, Amira bisa melihat ruang tamu yang tidak terlalu luas. Tidak ada kursi. Yang ada sebuah karpet yang digelar di atas lantai. Sebuah televisi berukuran kecil, di letakan di atas meja, menempel di dinding. Ada satu kamar tidur sudah ada kasurnya yang ditaruh di atas lantai. Juga sebuah lemari pakaian plastik, sudah tersedia di kamar itu. Amira melangkah pelan menuju dapur. Di ruangan sempit itu, sudah ada kompor, lengkap dengan alat-alat masak. Di sebelahnya pintu kamar mandi yang menyatu dengan dapur. Tidak ada ruang makan. Amira tersenyum bahagia. Akhirnya dia bisa tinggal sendiri. Terbebas dari perlakuan buruk Ibu mertuanya. Dia tidak perduli kedepannya nanti. Apa pun tanggapan suaminya, itu urusan nanti. Yang dia pikirkan saat ini, kebahagiaan dirinya dan anaknya.
"Maaf ya Mir...tempatnya seperti ini. Semua barang-barang sudah ada. Jadi kamu nggak perlu beli lagi. Ibu harap kamu sama Alif betah di sini. Dan baik-baik sama tetangga. Kalau mereka nyinyir, nggak usah di tanggapi."Ucap Bu Sinta, tersenyum. Amira ikut tersenyum.
"Insya Allah Bu..aku suka tempatnya. Rasanya seperti bebanku sedikit terangkat. Kalau urusan dengan tetangga. Insya Allah, sanggup aku. Dua tahun tinggal sama Ibu mertua saja aku sanggup. Apa lagi cuma tetangga. Ibu nggak usah khawatir. Sekali lagi, aku berterima kasih. Ibu sama Bapak, yang sudah begitu baik sama aku."
"Sudahlah, jangan terus berterima kasih, bosan Ibu dengarnya."
Amira tertawa kecil. "Aku nggak pernah bosan Bu, akan selalu terus berterima kasih pada Ibu sama Bapak."
"Jangan lupa, kabari suamimu. Jangan sampai dia berpikiran lain sama kamu."Bu Sinta mengalihkan pembicaraan.
"Iya Bu, Insya Allah, nanti malam aku telpon Mas Dika."
"Bu nton." Alif menunjuk ke TV, minta menonton televisi.
"Jangan dulu ya sayang, kita mau ke rumah Mbah Indah."Ucap Amira membujuk anaknya.
Alif memasang wajah masam, kalau dia tidak suka dengan ucapan Ibunya. Amira dan Bu Sinta tersenyum melihat raut wajah Alif yang terlihat lucu. Bu Sinta pun teringat dengan cucunya di kota.
"Ya sudah kalau gitu. Kalau kamu mau ke tempat Bu Indah, Ibu mau ke pasar. Kita pake ojek saja ya?"Sambung Bu Sinta.
"Iya Bu."
"Sabar ya sayang...nanti sampai di rumah Mbah Indah ya, baru Alif nonton."
Amira kembali membujuk anaknya yang sudah terisak perlahan. Bu Sinta cuma bisa tertawa kecil.
......................
Amira menghembuskan napas leganya. Akhirnya pekerjaan terakhirnya, selesai juga. Amira melirik jam yang tertempel di dinding rumah Bu Indah. Jarum jam menunjukkan angka dua lewat.
"Mbak Tarni, aku keluar dulu ya, mau nyari Alif."Kata Amira pada temannya, yang juga ikut membantu di rumah Bu Indah.
"Iya, kayaknya lagi main di teras Mir."
"Iya Mbak..aku ke sana dulu ya Mbak."
Dia berjalan ke luar dari dapur, mencari Alif putranya.
setelah pulang dari rumah Bu Indah, menyelesaikan pekerjaan terakhirnya sore tadi, dan menidurkan Alif setelah makan malam, Amira kini tengah duduk bersila di atas karpet tempat kostnya. Benda kecil hitam di tangannya di tatap, dengan pikiran bercampur aduk. Dia menunggu telpon dari suaminya. Tapi hingga setengah jam berlalu, benda itu belum berbunyi. Akhirnya Amira berinsiatif menelpon. Dua kali panggilan, terdengar suara salam dari seberang sana.
"Hallo...Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumssalam Mas."Jawab Amira dengan jantung berdebar. Kedua matanya dipejamkan sesaat. Dia sangat merindukan suara itu. Suara yang dia ingin dengar dari semalam.
"Mas sehatkan?"Tanyanya lanjut.
"Alhamdulillah Mas sehat...kamu sama Alif juga sehatkan? Kalian baik-baik saja kan?"Tanya Andika balik.
"Alhamdulillah, kami sangat baik...Mas udah makan?"
"Barusan selesai, di masakin Yanto."
Amira mendengar suara tawa seseorang. Dia yakin itu pasti suara Yanto teman suaminya. Yang sudah berbaik hati, mengizinkan suaminya tinggal di tempatnya. Amira ikut tersenyum. Dia sendiri belum mengenal Yanto secara langsung. Hanya mendengar dari cerita suaminya, sebelah berangkat ke kota.
"Di masakin apa, pasti enak ya?"
Amira kembali mendengan tawa renyah kedua pria itu. Hatinya begitu senang.
"Dimasakin sayur andalan Yanto, kangkung tumis, tempe goreng, sama sambal terasi. Walau hampir tiap hari kita makan itu, tapi enak kok..soalnya Mas tinggal makan aja."Keduanya kembali tertawa. Amira makin melebarkan senyumnya. Hatinya benar-benar bahagia. Kalau suaminya di kota hidupnya baik-baik saja.
"Alif mana? Kalian sudah makan kan?"Tanya Andika.
"Kami sudah makan Mas, sebelum Isya tadi. Sekarang Alif sudah tidur, mungkin kecapean main seharian ini."Jawab Amira jujur, karena di tempat Bu Indah, Alif tidak mau berhenti bermain dengan cucunya Bu Indah. Alhasil, bocah itu tidak tidur siang.
Kesunyian terjadi di antara keduanya. Hanya suara napas yang terdengar.
Bersambung...........
Jd gmes bcanya bkin emosi
Thor jgn bkin amira jd org bego. Toh itu cm mertua bkn ibu kndungnya