ini adalah cerita tentang seorang anak laki-laki yang mencari jawaban atas keberadaannya sendiri
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yersya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 5
“Hhmm… jadi singkatnya, ketika kau lagi jalan-jalan malam karena nggak bisa tidur, kau bertemu makhluk aneh yang mirip zombie, dan karena takut, kau kabur begitu saja?”
Adelia menatapku dengan ekspresi datar, nada suaranya terdengar seperti sedang menegaskan sesuatu. Kami berjalan beriringan di trotoar yang sunyi. Lampu jalan berkelap-kelip, sesekali terdengar suara jangkrik menyusup di sela hembusan angin malam.
“Hiks… i-iya…” jawabku pelan, pura-pura masih sesenggukan.
Adelia tidak langsung menanggapi. Wajahnya menegang, matanya abu-abu yang dingin itu menatap kosong ke depan — seolah sedang menimbang sesuatu yang serius.
“Huuuhh…” dia menghela nafas panjang, kemudian menatapku lagi.
“Berhentilah menangis. Dan mulai sekarang, jangan pergi ke tempat sepi di malam hari, mengerti? Kalau kau ketemu mereka lagi, mungkin kau nggak akan seberuntung ini.”
Nada suaranya tenang, tapi ada tekanan di balik kata-katanya.
Aku menatap wajahnya dengan canggung. “Sebenarnya, mereka itu… apa?”
Adelia terdiam beberapa detik, lalu menjawab dengan nada pelan tapi jelas, “Kutukan.”
Aku mengerutkan kening. “Kutukan?”
“Mereka adalah makhluk yang lahir dari emosi negatif manusia — kebencian, iri, dendam, ketakutan, amarah. Semua hal itu bisa menumpuk, membusuk, dan berubah menjadi sesuatu yang berwujud. Mereka memangsa manusia untuk memperkuat diri mereka sendiri.”
Tatapan Adelia merendah. “Dan kami, yang bisa menggunakan energi kutukan untuk melawan mereka, disebut sebagai ahli kutukan. Atau kalau kau lebih suka istilah populer... penyihir.”
“Penyihir…” gumamku pelan, masih sulit mempercayai kata itu.
“Kutukan tidak bisa dilihat atau dirasakan oleh manusia biasa,” lanjut Adelia. “Tapi ada beberapa kasus ketika seseorang bisa melihatnya, kalau dia memenuhi syarat tertentu.”
“Syarat?” tanyaku cepat, mataku menatapnya penuh rasa ingin tahu.
Adelia menghentikan langkahnya, kemudian menatap ke arahku. “Ada tiga syarat yang kami ketahui. Pertama, seseorang bisa melihat kutukan jika dia masuk ke tempat yang dipenuhi energi kutukan. Kedua…” dia menatap tajam, “ketika orang itu sendiri dikutuk.”
Aku menelan ludah, langkahku terhenti. “Lalu… yang ketiga?”
Senyum muncul di wajah Adelia. Senyum yang… entah kenapa, terasa menegangkan.
“Kau hanya sedang sial.”
Aku terdiam. Udara malam terasa semakin dingin, tapi kepalaku justru terasa panas karena informasi itu. Semua yang baru saja dia katakan — tentang kutukan, penyihir, dan alasan mengapa aku bisa melihat makhluk itu — terasa terlalu nyata untuk disebut kebohongan, tapi juga terlalu aneh untuk disebut kenyataan.
“Boleh aku bertanya satu hal?” suaraku terdengar lebih serius kali ini.
“Apa itu?”
“Kalau kalian para penyihir bertarung melawan makhluk-makhluk itu, kenapa tidak ada orang yang tahu? Tidak pernah ada berita, tidak ada laporan. Padahal bekas pertarungannya nyata….”
Adelia tersenyum tipis. “Ah, itu karena kami memasang pemisah ruang.”
“Pemisah… ruang?”
“Kami menggunakan energi kutukan untuk membentuk sebuah kubah yang tidak bisa dilihat manusia biasa,” jelas Adelia dengan nada tenang. “Seperti namanya, teknik ini memisahkan ruang antara kami—para penyihir dan kutukan—dengan dunia luar.”
Ia menghela nafas pelan, menatap ke arah langit malam yang sunyi. “Bayangkan saja… di mata manusia, tempat ini hanyalah sekolah biasa yang dipenuhi murid dan suara tawa. Tapi bagi kami yang berada di dalam pemisah ruang, dunia itu berubah menjadi sebuah sekolah kosong—hening, sunyi, seolah seluruh kehidupan di sekitarnya menghilang. Disanalah kami bertarung.”
“Apapun yang terjadi di dalam kubah itu—suara, cahaya, bahkan ledakan sekalipun—tidak akan bisa dirasakan oleh orang luar. Dunia di luar pemisah ruang tetap berjalan seolah tak ada yang terjadi.”
Jadi, segala kerusakan di dalam pemisah ruang itu tidak benar-benar memengaruhi dunia nyata? Jika dipikir secara ilmiah, teknik pemisah ruang itu sebenarnya bukan sihir yang sepenuhnya mistis. Secara konsep, ia bekerja seperti lipatan ruang-waktu lokal — semacam gelembung dimensi yang terbentuk akibat energi ekstrem dengan pola tertentu.
Energi kutukan yang mereka gunakan mungkin memiliki sifat seperti energi eksotik dalam teori relativitas, energi yang mampu melengkungkan ruang tanpa perlu massa fisik. Saat energi itu distabilkan dengan medan sihir, ruang di sekitarnya terisolasi, menciptakan “lapisan realitas” yang tak bisa diakses manusia biasa.
Dengan kata lain, pertarungan di dalam pemisah ruang itu sebenarnya tidak terjadi di dunia nyata, melainkan di ruang alternatif yang berada satu tingkat di luar persepsi manusia. Gelombang suara, cahaya, dan energi lain dari luar tidak bisa menembusnya karena berada pada frekuensi eksistensi yang berbeda.
Singkatnya, teknik itu adalah manipulasi energi untuk membelokkan ruang-waktu dan menciptakan realitas paralel lokal — tempat hukum fisika dan persepsi manusia tidak lagi berlaku. Pertempuran mereka mungkin memang terjadi di tempat yang sama, tapi dalam “frekuensi dunia” yang berbeda—sebuah dimensi tipis yang tak bisa dijangkau manusia biasa.
“Sungguh menarik…” aku bergumam pelan tanpa sadar.
“Lalu,” tanyaku kemudian, “alasan aku bisa masuk ke pemisah ruang itu… apakah karena aku memenuhi salah satu dari tiga syarat tadi?”
Adelia menatapku dengan ekspresi terkejut, lalu tersenyum. “Ternyata kau pintar juga. Ya, itu benar. Tapi karena itulah, kau harus berhati-hati. Kau bukan penyihir, Arya. Kau cuma manusia biasa.”
“Bagaimana kau tahu kalau aku penyihir atau bukan?” Tanyaku spontan.
Adelia menunjuk ke matanya. “Kami bisa melihat energi kutukan. Dan kau… tidak punya sedikitpun.”
Dia tersenyum tipis, lalu menatap ke arah jalan. “Aku sudah menjawab pertanyaanmu. Sekarang aku harus pergi. Sampai jumpa lagi. Dan… jangan keluyuran malam-malam.”
Sebelum aku sempat menjawab, Adelia sudah berbalik dan berjalan pergi. Bayangan tubuhnya perlahan memudar di bawah cahaya lampu jalan yang kuning pucat.
Aku menatap punggungnya hingga benar-benar menghilang, lalu mendongak ke arah bulan. Cahaya putihnya jatuh lembut di wajahku.
Entah kenapa, semua yang dia katakan terasa seperti awal dari sesuatu yang lebih besar.
Tapi pada akhirnya, aku sadar satu hal — aku bukan tokoh utama dalam cerita seperti ini.
Aku bukan orang yang dipilih, bukan pahlawan, bukan penyihir. Aku hanya makhluk biasa yang kebetulan terseret ke dalam sesuatu yang seharusnya tidak kulihat.
Aku menghela nafas panjang.
“Huufff… haaahh…”
Dengan langkah pelan, aku memutuskan untuk pulang. Malam terasa lebih panjang dari biasanya, dan entah kenapa, bulan malam ini terlihat sedikit lebih dingin dari sebelumnya.