"Kamu harus ingat ya, Maira, posisi kamu di rumah ini nggak lebih dari seorang pengasuh. Kamu nggak punya hak buat merubah apa pun di rumah ini!"
Sebuah kalimat yang membuat hati seorang Maira hancur berkeping-keping. Ucapan Arka seperti agar Maira tahu posisinya. Ia bukan istri yang diinginkan. Ia hanya istri yang dibutuhkan untuk merawat putrinya yang telah kehilangan ibu sejak lahir.
Tidak ada cinta untuknya di hati Arka untuk Maira. Semua hubungan ini hanya transaksional. Ia menikah karena ia butuh uang, dan Arka memberikan itu.
Akankah selamanya pernikahan transaksional ini bejalan sedingin ini, ataukah akan ada cinta seiring waktu berjalan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon annin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 5 Antar Pulang
Sore hari sepulang kerja, Rosmala sudah menunggu Maira di parkiran.
"Maaf, Bu, terlambat, saya harus mengerjakan laporan yang Ibu minta waktu itu," ujar Maira setelah masuk ke mobil.
"Sudah selesai?" tanya Rosmala.
"Sudah, Bu."
"Nanti tolong kirim ke alamat surel saya, ya."
"Baik, Bu."
"Jalan, Pak!" Rosmala memberi perintah pada Pak Mul—sopirnya.
Maira hanya diam sepanjang perjalanan, tak berani bertanya apa pun tentang tujuan mereka. Namun, dari jalan yang ia lewati, Maira mulai punya gambaran jika tujuan mereka adalah rumah bosnya sendiri.
Maira memang belum pernah ke rumah bosnya, tapi ia tahu alamat rumah bosnya. Meski demikian, Maira tetap diam. Ia menurut saja ke mana Rosmala mengajaknya.
Tiba di sebuah rumah mewah nan megah bergaya eropa, Rosmala berbicara. " Ini rumahku, Maira. Ayo turun!"
Tepat dugaan Maira. Rosmala membawanya ke rumah. Tapi untuk apa?
Kesan pertama begitu Maira turun dari mobil dan menyaksikan kemegahan rumah bosnya, adalah ternyata bosnya begitu kaya. Lebih dari yang ia duga.
"Maira, kenapa berdiri di situ saja, ayo masuk!"
Maira terkesiap sekaligus malu dengan panggilan Rosmala. Bisa-bisanya ia sampai bengong melihat rumah mewah bosnya.
Langkah Maira lebih cepat untuk menyusul Rosmala yang sudah di ambang pintu. Ia semakin kagum dengan rumah milik bosnya ini. Tak hanya megah dan mewah dari luar, dalamnya pun tak kalah mewah, atau malah lebih mewah dari kelihatannya.
Interiornya begitu indah, pasti dibuat oleh designer interior yang nggak kaleng-kaleng. Belum lagi semua barang-barang yang ada, sudah dipastikan barang berkualitas tinggi dengan harga selangit.
"Jum, kamu panggil Atik, ya. Suruh bawa Zara ke sini," ujar Rosmala pada salah satu asisten rumah tangganya.
Wanita yang usianya hampir sama atau malah lebih tua dari Rosmala itu menjawab cepat. "Baik, Bu."
"Duduk dulu, Mai."
"Baik, Bu." Lagi-lagi Maira hanya mampu menurut.
Tak lama, muncul seorang wanita membawa bocah kecil. Mungkin itu anaknya Arka yang pernah Rosmala ceritakan.
"Ada apa, Bu?" Wanita yang membawa seorang anak itu bertanya pada Rosmala.
"Nggak ada apa-apa, siniin Zara!" Rosmala mengambil alih Zara dari wanita yang tadi dipanggil Atik.
Rosmala mendekat pada Maira. "Ini Zara, Maira. Anaknya Arka."
Maira bingung harus apa. Ia tidak seperti biasanya. Di mana ia bisa langsung dekat dan akrab pada anak kecil. Mungkin karena ada Rosmala, jadi ia sungkan.
Ragu-ragu, Maira mengambil Zara dari tangan Rosmala. " Hai Zara, Assalamualaikum."
Zara, si bocah kecil yang berusia baru sepuluh bulan itu tersenyum dalam gendongan Maira.
"Tik, kamu buatkan minum ya, buat Maira dan saya."
"Baik, Bu." Atik pengasuh Zara itu pun pergi ke dapur. Membuat minuman yang diminta Rosmala.
Maira yang memang sudah terbiasa dengan anak kecil karena dulu pernah mengajar ngaji di musala tempat tinggalnya, perlahan mulai bisa cair dengan Zara. Anak itu, mudah sekali tersenyum. Membuat Maira gemas sendiri.
Rosmala terus memperhatikan interaksi Maira dan Zara. Dalam hati ia merasa lega dan tak salah pilih. Maira memang ibu yang tepat bagi Zara. Terlihat ia begitu telaten pada anak itu.
"Kamu jangan pulang dulu, ya. Tunggu makan malam dulu."
Maira hanya bisa mengangguk patuh.
Rosmala pamit ke kamarnya, tapi sebelum pergi ia meminta Maira untuk ikut Atik ke kamar Zara. Agar Maira tak capek menggendong Zara terus.
Di kamar Zara, Maira sedikit lebih tenang. Tidak setegang tadi. Mungkin karena hanya ada dirinya, Zara dan pengasuh Zara.
"Mbak ini yang mau dijodohkan sama Mas Arka, ya?" tanya Atik sembari mengajak main Zara.
Hah! Asisten rumah tangga pun sudah tahu. Maira sendiri bahkan belum memberitahu satu pun keluarganya.
"Mbak Atik tahu dari mana?"
"Tadi pagi nggak sengaja denger obrolan antara Bapak dan Ibu."
Bapak?
Maira jadi teringat akan sosok suami Bu Rosmala. Ia memang pernah bertemu, tapi yang cuma melihat saja tanpa kenal.
Kalau ia harus makan malam di sini, berarti besar kemungkinan ia akan bertemu calon mertuanya itu. Belum lagi Arka, sang calon suami.
Maira kembali tegang. Pikirannya mulai ke mana-mana. Takut tidak diterima, takut suami bosnya itu berkata kasar, dan hal-hal lain yang ia khawatirkan.
Tanpa sadar Maira menggeleng keras. Rasanya belum siap bertemu dengan orang-orang itu. Terlebih Arka.
Kendati demikian, Maira tetap tak bisa berbuat apa pun. Hanya bisa menunggu waktu makan malam tiba.
Terdengar suara gemuruh guntur di luar sana. Langit juga sangat gelap, seakan menunggu aba-aba untuk menumpahkan airnya.
Ia jadi teringat akan Syafa yang sendirian di rumah sakit. Tadi ia mengirim pesan ada urusan sebentar, nyatanya sampai sekarang ia belum bisa kembali ke rumah sakit.
Maira hampir tak keluar dari kamar Zara. Bahkan ia salat Magrib di kamar anak itu. Hanya di kamar ini Maira merasa nyaman karena tidak ada Rosmala.
Saat makan malam tiba, hujan turun dengan deras. Maira semakin bingung. Ingin cepat pulang, tapi tak berani mengatakan. Ingatan akan Syafa membuatnya tidak tenang.
Untung saja suami bosnya belum pulang, dan tidak ikut makan malam bersama. Pun dengan Arka. Pria itu juga tak tampak batang hidungnya. Membuat Maira semakin lega.
"Bu, apa boleh setelah makan malam ini saya pulang. Soalnya saya harus segera kembali ke rumah sakit. Adik saya pasti cemas menunggu saya," ujar Maira di meja makan.
"Tentu, Maira. Terima kasih sudah mau makan malam di sini."
Seperti mendapat angin segar. Maira mempercepat makannya. Ia benar-benar ingin segera pulang, lebih tepatnya segera pergi dari rumah ini.
Maira sudah bersiap-siap untuk pulang. Saat Arka tiba-tiba muncul.
"Nah, kebetulan sekali. Arka sudah pulang jadi bisa antar kamu."
Maira menoleh pada Arka yang baru akan naik ke tangga.
"Arka, tolong antar Maira pulang, ya. Kasihan dia kalau harus naik taksi. Mana lagi ujan begini," ujar Rosmala.
"Kan ada Pak MuL, Ma. Arka capek banget, mau istirahat," tolak Arka.
"Nggak bisa Arka, kamu yang harus antar Maira, kan dia calon istri kamu. Anggap saja sekalian PDKT." Rosmala sempat tertawa kecil degan ucapannya sendiri.
"Tidak usah, Bu. Terima kasih, saya bisa pulang sendiri, kok." Maira tahu jelas kalau Arka tak ingin dekat-dekat dengannya. Sikap dindin pria itu kemarin sudah jelas menggambarkan apa yang Arka inginkan sebenarnya. Menolak perjodohan ini!
"Nggak Maira, ini memang sudah tugas Arka sebagai lelaki. Biar dia yang antar kamu." Rosmala bersikeras.
"Nggak usah, Bu, beneran, saya bisa kok naik taksi sendiri."
"Pokoknya tidak, Maira. Percaya sama saya. Arka harus antar kamu. Titik!"
Melihat perdebatan ibunya dan Maira, membuat Arka memutuskan untuk melakukan apa yang ibunya minta.
"Ayo aku antar!"
Maira menatap tak percaya. Arka bersedia mengantarnya pulang. Si dingin itu, mau mengantarnya?