NovelToon NovelToon
PESONA TETANGGA BARU

PESONA TETANGGA BARU

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Selingkuh / Cinta pada Pandangan Pertama / Romansa
Popularitas:7.2k
Nilai: 5
Nama Author: Hasri Ani

"Bagaimana rasanya... hidup tanpa g4irah, Bu Maya?"

Pertanyaan itu melayang di udara, menusuk relung hati Maya yang sudah lama hampa. Lima tahun pernikahannya dengan Tama, seorang pemilik bengkel yang baik namun kaku di ranjang, menyisakan kekosongan yang tak terisi. Maya, dengan lekuk tubuh sempurna yang tak pernah dihargai suaminya, merindukan sentuhan yang lebih dalam dari sekadar rutinitas.

Kemudian, Arya hadir. Duda tampan dan kaya raya itu pindah tepat di sebelah rumah Maya. Saat kebutuhan finansial mendorong Maya bekerja sebagai pembantu di kediaman Arya yang megah, godaan pun dimulai. Tatapan tajam, sentuhan tak sengaja, dan bisikan-bisikan yang memprovokasi h4srat terlarang. Arya melihatnya, menghargainya, dengan cara yang tak pernah Tama lakukan.

Di tengah kilau kemewahan dan aroma melati yang memabukkan, Maya harus bergulat dengan janji kesetiaan dan gejolak g4irah yang membara. Akankah ia menyerah pada Godaan Sang Tetangga yang berbaha

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasri Ani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

24

Maya berbaring di samping Tama, matanya menatap langit-langit kamar yang gelap. Dinginnya AC terasa menusuk kulit, tapi hatinya justru terasa panas membara. Ia baru saja melewati malam yang mengubah segalanya. C! uman Arya di punggung tangannya, pujiannya yang blak-blakan tentang tubuhnya, dan bisikannya yang menjanjikan gair4h, semua itu berputar-putar di benaknya.

Ia melirik Tama yang terlelap di sampingnya. Suara dengkurannya mengisi kesunyian. Sebuah dengkuran yang selama ini menjadi teman tidurnya, kini terasa asing, bahkan monoton. Ingatannya melayang pada malam-malam yang dingin, ketika ia mencoba mendekat pada Tama, mencari kehangatan. Namun, seringkali ia hanya berujung pada penolakan halus, atau keint!man yang sebatas rutinitas.

Dulu, saat awal pernikahan, Tama selalu memeluknya erat. Bisikan-bisikan sayang mengisi telinga Maya. Tapi itu dulu. Sekarang, sentuhan Tama terasa seperti kewajiban, bukan gair4h.

Maya memejamkan mata, mencoba mengusir bayangan Arya. Tapi justru bayangan itu yang semakin kuat. Arya yang menatapnya dalam, yang berbicara tentang kekosongan yang perlu diisi, yang berjanji akan memberinya gair4h yang selama ini hilang. Kata-kata itu begitu memikat, menawarkan sebuah pelarian dari kehampaan yang menggerogotinya.

Ia tahu ini salah. Sangat salah. Ia sudah bersuami.

Tapi apakah ia bisa terus hidup dalam pernikahan yang hambar ini? Arya telah membukakan sebuah pintu, sebuah kemungkinan lain. Pintu yang menuju pada sens4si baru, pada perasaan diinginkan, perasaan dicintai dengan cara yang ia dambakan.

Malam itu, Maya tidak bisa tidur. Ia terus membandingkan. Hubungan int!mnya dengan Tama yang monoton, dengan bayangan godaan Arya yang menjanjikan ledakan g4irah. Perbandingan itu menyakitkan, namun tak terhindarkan. Dan setiap kali ia membandingkan, hati Maya semakin condong pada Arya.

***

Keesokan paginya, Maya tiba di rumah Arya dengan perasaan yang lebih berat. Ia mencoba bersikap biasa saja, namun ada rasa takut dan gair4h yang campur aduk di dalam dirinya. Bi Sumi menyambutnya seperti biasa, namun Maya merasa Bi Sumi menatapnya lebih lama, seolah ada pertanyaan di mata wanita tua itu.

Arya tidak terlihat. Bi Sumi menjelaskan bahwa Arya ada rapat penting di luar kota pagi ini. Maya merasakan sedikit kelegaan, namun juga ada perasaan kecewa yang samar. Ia tahu ia harus menjauh dari Arya, tapi ada bagian dari dirinya yang merindukan kehadiran pria itu.

Sepanjang hari, Maya mencoba fokus pada pekerjaannya. Namun, pikirannya terus melayang pada Arya. Ia terus membayangkan makan malam kemarin. Setiap sentuhan, setiap bisikan, setiap tatapan Arya.

Sore harinya, saat Maya sedang membersihkan ruang keluarga, ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari Arya.

Arya: "Mbak Maya, maaf saya baru bisa membalas.

Rapatnya baru selesai. Saya baru saja tiba di rumah."

Jantung Maya berdebar kencang. Arya sudah pulang.

Maya: "Iya, Tuan. Tidak apa-apa."

Arya: "Saya di ruang kerja. Kalau Anda ada waktu, bisa mampir sebentar?"

Sebuah undangan. Maya tahu apa maksudnya. Ia menghela napas panjang. Ia ingin menolak, tapi kakinya seolah bergerak sendiri. Ia berjalan menuju ruang kerja Arya.

Arya sudah duduk di mejanya, mengenakan kaus polos hitam dan celana jogger. Rambutnya sedikit acak-acakan, menambah kesan seksi pada dirinya. Ia mendongak saat Maya masuk.

"Mbak Maya, silakan duduk," kata Arya, menunjuk kursi di depannya.

Maya duduk. Aroma parfum Arya yang maskulin langsung memenuhi indra penciumannya.

"Ada apa, Tuan?" tanya Maya, berusaha tenang

Arya tersenyum tipis. "Saya hanya ingin bicara dengan Anda. Tentang semalam."

Jantung Maya berdesir. Ia tahu ini akan datang.

"Tentang apa, Tuan?"

"Tentang apa yang kita rasakan," kata Arya, suaranya rendah dan serius. Matanya menatap Maya dalam. "Apakah Anda merasakan hal yang sama dengan saya, Mbak Maya?"

Maya menunduk, pipinya memanas. Ia tidak bisa berbohong. "Saya... saya tidak tahu, Tuan."

"Jangan berbohong, Mbak Maya," Arya terkekeh pelan. "Mata Anda tidak bisa berbohong. Saya bisa melihatnya. Anda merasakan hal yang sama."

Maya mengangkat kepalanya, menatap Arya. Pria itu menatapnya dengan tatapan penuh pengertian, namun juga menuntut.

"Saya tahu Anda punya ikatan. Saya tahu Anda punya kewajiban," kata Arya. "Tapi saya juga tahu Anda tidak bahagia. Saya bisa melihat kekosongan itu di mata Anda."

Air mata Maya menetes. Kata-kata Arya menusuk tepat ke ulu hatinya. Itu adalah kebenaran yang pahit.

"Anda berhak mendapatkan kebahagiaan, Mbak Maya," bisik Arya. Ia mengulurkan tangannya di atas meja, menggenggam tangan Maya. "Anda berhak mendapatkan gair4h. Cinta yang sejati."

Maya merasakan panas menjalar dari tangan Arya yang memegang tangannya. Sebuah sentuhan yang begitu menenangkan, namun juga begitu menggoda.

"Saya... saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan, Tuan," bisik Maya, suaranya serak.

"Tidak perlu melakukan apa-apa sekarang," Arya tersenyum tipis. "Biarkan saja perasaan ini mengalir. Dengarkan kata hati Anda."

Keheningan menyelimuti mereka. Hanya suara napas Maya yang berpacu kencang, dan detak jantungnya yang menggila. Sebuah suasana sensu4l yang berbahaya, namun begitu memikat.

"Mbak Maya," Arya memanggil lagi.

Maya menoleh.

"Saya ingin Anda tahu," Arya menatapnya dalam, "saya tidak akan memaksa Anda. Tapi saya juga tidak akan menyerah. Saya ingin Anda bahagia, Mbak Maya. Dan saya ingin menjadi alasan kebahagiaan Anda."

Pengakuan itu menghantam Maya. Sebuah janji.

Sebuah janji untuk kebahagiaan, yang datang dari pria lain, bukan suaminya.

***

Beberapa hari berikutnya, Arya semakin intens dalam godaannya. Ia tidak lagi menggunakan alasan pekerjaan untuk menciptakan kedekatan fisik. Ia melakukannya secara terang-terangan, namun dengan cara yang halus, membuat Maya terus merasa penasaran sekaligus terperangkap.

Seperti suatu sore, Maya sedang membersihkan kolam renang. Ia mengenakan celana kain dan kaus longgar.

Tiba-tiba, Arya muncul di tepi kolam. Ia tidak mengenakan baju. Tubuhnya yang atletis terpampang jelas di depan Maya. Rambutnya basah, seolah baru saja berenang. Tetesan air mengalir di dadanya yang bidang.

Jantung Maya berdebar kencang. Ia segera membuang pandangannya, pipinya memerah.

"Mbak Maya, sudah selesai bersih-bersih kolam?"

tanya Arya, suaranya tenang, seolah tidak ada yang aneh dengan penampilannya.

"Hampir, Tuan," jawab Maya, berusaha mengendalikan suaranya. Ia mencoba fokus pada pekerjaannya, namun matanya tak bisa menolak untuk mencuri pandang pada tubuh Arya.

Arya tersenyum tipis. Ia melangkah mendekat ke tepi kolam, berdiri di samping Maya. "Hari ini panas sekali, ya?"

"Iya, Tuan," kata Maya.

"Anda tidak mau ikut berenang?" tanya Arya, nadanya menggoda.

Maya terkesiap. "Tidak, Tuan. Saya harus bekerja."

"Ayolah, Mbak Maya. Sebentar saja," Arya terkekeh pelan. "Airnya dingin sekali. Pasti segar."

Maya menggeleng. "Tidak, Tuan. Terima kasih."

Arya tidak memaksa. Ia hanya menatap Maya dalam, sebuah senyum misterius di bibirnya. Maya bisa merasakan tatapan Arya menelusuri setiap inci tubuhnya. Sebuah tatapan yang membuatnya merasa tertel4nj4ngi, namun anehnya, juga diinginkan.

"Anda tahu, Mbak Maya," Arya tiba-tiba berkata, suaranya rendah dan serak. "Anda terlihat sangat... alami saat bekerja. Ada sesuatu yang menarik dari kesederhanaan Anda."

Pujian itu menghantam Maya. Pujian tentang penampilannya yang sederhana. Ia merasa malu, namun juga ada rasa senang yang aneh.

Arya melangkah ke arah tangga kolam. Ia kembali masuk ke dalam air, lalu berenang pelan. Maya hanya bisa menatapnya. Tubuhnya yang bergerak di dalam air, otot-ototnya yang menonjol. Sebuah pemandangan yang memicu gair4h terlarang dalam dirinya.

Ia tahu Arya sengaja melakukan ini. Ia sengaja memamerkan tubuhnya. Dan ia, entah kenapa, membiarkannya. Ia seperti tersihir.

***

Malam harinya, Maya sedang menyiapkan makan malam di dapur. Tiba-tiba, ponselnya berdering. Nomor Arya.

"Halo, Tuan?" Maya menjawab.

"Mbak Maya, bisa tolong bantu saya sebentar?" suara

Arya terdengar di ujung telepon. "Ada sesuatu yang mendadak."

"Ada apa, Tuan?" Maya bertanya, penasaran.

"Komputer saya tiba-tiba mati," kata Arya, nadanya terdengar sedikit panik. "Saya sedang mengerjakan proyek penting. Saya butuh Anda segera ke sini."

Jantung Maya berdebar kencang. Komputer mati? Ini terdengar seperti alasan yang dibuat-buat. Tapi ia tidak bisa menolak. Ini adalah perintah dari majikannya.

"Baik, Tuan. Saya akan segera ke sana," kata Maya.

Ia mematikan kompor, mematikan lampu dapur. Ia bergegas keluar dari rumah, tidak peduli dengan cuaca malam yang sudah gelap. Pikirannya hanya satu: Arya.

Ia tiba di rumah Arya. Pintu utama sudah sedikit terbuka. Ia melangkah masuk. Rumah itu gelap, hanya lampu di ruang tamu yang menyala remang-remang. Suasana terasa sepi, mencekam, namun juga sensu4l.

"Tuan?" Maya memanggil.

"Di sini, Mbak Maya," suara Arya terdengar dari ruang kerja.

Maya berjalan menuju ruang kerja. Pintu ruangan itu tertutup. Ia mengetuk pelan.

"Masuk saja, Mbak Maya," kata Arya.

Maya membuka pintu. Ruangan itu juga remang-remang, hanya diterangi oleh cahaya dari layar laptop Arya yang berkedip-kedip. Arya duduk di mejanya, mengenakan kaus polos hitam dan celana jogger. Ia terlihat tegang.

"Ada apa, Tuan?" tanya Maya.

"Komputer saya mati total," kata Arya, ia menunjuk laptopnya yang layarnya hitam. "Saya tidak tahu kenapa. Dan saya harus segera menyelesaikan laporan ini."

Maya mendekat, melihat laptop itu. Ia tidak tahu banyak tentang komputer. Ini jelas bukan keahliannya. Arya pasti tahu itu. Ini pasti alasan yang dibuat-buat.

"Saya... saya tidak tahu tentang komputer, Tuan," kata Maya.

Arya tersenyum tipis. "Tidak apa-apa. Saya hanya ingin Anda ada di sini." Ia menatap Maya dalam, matanya memancarkan sebuah undangan yang tak terucap. "Saya hanya butuh teman. Teman yang bisa saya percaya."

Jantung Maya berdebar kencang. Ia tahu apa maksudnya. Arya sengaja menciptakan momen ini.

Momen di mana mereka berdua sendirian di rumah, di tengah malam, dengan alasan yang mendadak. Sebuah jebakan yang lebih dalam, lebih berbahaya. Ia merasa semakin terperangkap dalam suasana sensu4l di rumah Arya. Dan ia, entah mengapa, tidak ingin lari.

1
Mar lina
kalau sudah ketagihan
gak bakal bisa udahan Maya..
kamu yg mengkhianati Tama...
walaupun kamu berhak bahagia...
lanjut Thor ceritanya
lestari saja💕
klo sdh kondisi gtu setan gampang bgt masuk menghasut
lestari saja💕
ya pasti membosan kan bgt.bahaya itu
lestari saja💕
mampir,penulisannya bagus,semoga ga berbelit2
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!