Apollo Axelion Dragunov, seorang mafia berhati batu dan kejam, tak pernah percaya pada cinta apalagi pernikahan. Namun hidupnya jungkir balik ketika neneknya memperkenalkan Lyora Alexandra Dimitriv, gadis polos yang tampak ceroboh, bodoh, dan sama sekali bukan tipe wanita mafia.
Pernikahan mereka berjalan dingin. Apollo menganggap Lyora hanya beban, istri idiot yang tak bisa apa-apa. Tapi di balik senyum lugu dan tingkah konyolnya, Lyora menyimpan rahasia kelam. Identitas yang tak seorang pun tahu.
Ketika musuh menyerang keluarga Dragunov, Apollo menyaksikan sendiri bagaimana istrinya berdiri di garis depan, memegang senjata dengan tatapan tajam seorang pemimpin.
Istri yang dulu ia hina… kini menjadi ratu mafia yang ditakuti sekaligus dicintai.
❝ Apakah Apollo mampu menerima kenyataan bahwa istrinya bukan sekadar boneka polos, melainkan pewaris singgasana gelap? Atau justru cinta mereka akan hancur oleh rahasia yang terungkap? ❞
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aruna Kim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5
Gaun putih itu menggantung anggun di depan Lyora, memantulkan cahaya lembut dari lampu gantung di atasnya. Bahannya tipis dan mengalir, seolah terbuat dari kabut pagi yang dijahit dengan benang mutiara.
Di bagian pinggang, pita satin melingkar lembut, sementara ujung rok menjuntai hingga lantai, bergetar perlahan setiap kali angin dari ventilasi berhembus. Ada sesuatu yang suci sekaligus rapuh dari cara kain itu berkilau.
Desainer berdiri tegak di sisinya, tangan bergetar pelan memegang clipboard.
“Ini rancangan baru, Nona . Sesuai instruksi langsung dari Tuan Dragunov. Warna putih gading, desain minimalis, tanpa renda tambahan. Beliau bilang, ini akan lebih cocok untuk sesi pertunangan nanti.”
Lyora diam.
Ia menatap pantulan dirinya di cermin besar di seberang ruangan. Bayangan gadis dengan mata gelap dan kulit pucat, berdiri di hadapan gaun yang tampak seperti simbol kesucian yang rapuh.
Ia melangkah satu langkah maju. Jarinya menyentuh ujung kain, lalu mengusap perlahan seolah mencoba merasakan sesuatu yang tidak ada.
Desainer menelan ludah. “Jika Nyonya bersedia mencoba, kami bisa menyesuaikan bagian—”
“Aku tidak ingin memakainya.”
Suara Lyora terdengar lembut, namun tajam seperti bilah tipis yang tak bisa dibantah.
Penjahit itu langsung terdiam, pandangannya beralih ke Johan.
“Maaf, Nona ? ”
Lyora menoleh perlahan, matanya menatap lurus pada gaun putih itu.“Aku tidak ingin memakai gaun putih,” ujarnya lagi. Kata- katanya meluncur tenang, tapi mengandung sesuatu yang membuat udara di ruangan seakan berhenti mengalir.
Eliot, yang sejak tadi berdiri di sisi pintu, menegakkan tubuhnya.“Alasan nya ?” tanyanya pendek, nadanya setengah formal, setengah ingin tahu.
Lyora menatapnya, tersenyum kecil, senyum yang tidak sampai ke mata. “Terkadang…” ucapnya pelan, “noda luka lebih gampang terlukis di atasnya.”Keheningan turun begitu saja.
Desainer menatap Johan dengan bingung, Johan menatap Eliot, dan Eliot seperti biasa, hanya mengernyit, mencoba menelan kalimat yang bahkan ia tak tahu artinya
Gaun putih itu tetap berdiri di atas manekin, lembut dan memantulkan cahaya lampu, tapi sekarang tampak seperti lembaran kain duka, bukan busana pesta.
Sementara itu, di sisi lain kota, di atas sebuah rumah pohon mewah yang dibangun di pun cak taman pribadi, Apollo Dragunov berdiri di tepi pagar kaca, menatap langit senja yang hampir berubah menjadi malam.
Rumah pohon itu bukan rumah pohon biasa struktur modern dari kayu dan baja ringan, dengan bar mini, lampu gantung gantung bergaya industrial, dan sofa kulit gelap. Angin musim gugur berhembus lembut, meniup helaian rambutnya yang sedikit berantakan.
Di depannya, di meja kayu panjang, berdiri sebotol wine merah delima , botol yang sudah setengah kosong. Di gelasnya, cairan merah itu memantulkan warna yang sama dengan gaun Lyora di butik tadi.
Dan entah kenapa, setiap kali ia menatap warna itu, dadanya terasa seperti diremas dari dalam.
Ia meneguknya sekali lagi, keras.Gelasnya berbunyi nyaring saat diletakkan.
“Kenapa harus dia yang muncul hari ini,” gumamnya parau, suaranya nyaris tenggelam di antara deru angin.
Di benaknya, wajah seorang wanita muncul senyum lembut yang dulu ia percaya, lalu mengkhianatinya hingga membuat Apollo kehilangan kepercayaannya pada cinta, bahkan pada dirinya sendiri.
Warna gaun wanita itu selalu sama: merah delima. Warna yang dulu ia cintai, lalu ia benci seumur hidupnya.Dan ironisnya, warna itu kembali muncul di tubuh Lyora.
Seolah masa lalu sedang mengetuk pintunya lewat sosok yang sama sekali tidak tahu apa-apa.
Apollo mengembuskan napas panjang, matanya merah dan sendu.Ia menatap kota yang bermandikan cahaya, tapi pikirannya berputar jauh di masa lalu.
Ponselnya bergetar di meja.Ia mengambilnya dengan malas, melihat nama Eliot di layar, lalu menekan tombol jawab.
“Ya?”
“Bos,” suara Eliot terdengar dari seberang, agak ragu. “Nona Lyora menolak gaun putih nya.”
Apollo berhenti. “Menolak?”
“Iya. Dia bilang , dia tidak ingin memakai putih. Katanya, ‘noda luka lebih gampang terlukis di atasnya.’”
Sunyi.
Angin malam berembus, menggerakkan tirai gantung di belakang Apollo.
Ia tidak menjawab selama beberapa detik. Hanya terdengar tarikan napasnya yang berat dan lambat, seperti seseorang yang sedang berusaha menahan sesuatu.
Lalu, dengan nada datar yang nyaris tanpa emosi, ia berkata pelan,“Kalau begitu, ganti saja warnanya. Hitam. Biru. Hijau. Atau apa pun itu…”
Ia berhenti sebentar, menatap gelas wine di tangannya,cairan merah di dalamnya bergetar kecil.
“Asal jangan merah.”Nada suaranya tegas, tapi di balik itu ada sesuatu yang pecah.
Eliot di seberang sana sempat menjauhkan ponselnya, wajahnya kaget. Ia menatap Johan yang duduk di seberang meja dengan alis bertaut.
“Dia, marah?” bisik Johan.
Eliot menatap layar ponsel itu, mendengar bunyi napas Apollo yang berat sebelum panggilan terputus. “Bukan cuma marah,” jawabnya pelan. “Sepertinya ada sesuatu di balik warna itu.”
...****************...
Hari pertunangan tiba.
Mentari sore menyelinap lembut melalui tirai kaca besar, menumpahkan cahaya keemasan ke seluruh aula utama mansion Dragunov yang telah disulap menjadi tempat paling elegan di kota itu malam ini. Ratusan bunga putih dan biru laut menghiasi pilar-pilar marmer, sementara alunan biola lembut menggema di udara, menciptakan atmosfer nyaris magis.
Dan di tengah semua kemegahan itu, berdirilah Lyora.Ia tampil bak putri dari kisah dongeng dalam balutan gaun biru laut yang berkilau halus di bawah cahaya lampu kristal.
Gaun itu karya seorang desainer Prancis terkenal, dirancang khusus untuknya, dengan detail renda yang rumit dan lapisan kain tulle yang berlapis-lapis, seolah laut tenang baru saja menjelma menjadi busana. Rambutnya disanggul sederhana, dihiasi perhiasan kecil berbentuk serpihan es, menyempurnakan kesan elegan yang nyaris tak nyata.
Namun, di balik senyum lembut dan tatapan yang tampak tenang itu, Lyora menyimpan sesuatu. Ia tahu, gaun biru ini bukan sekadar busana pertunangan. Gaun ini adalah kompromi antara keinginan Apollo dan penolakannya sendiri terhadap gaun putih.
Sebelum pesta dimulai, Johan sempat berbisik pelan, “Nona Lyora terlihat luar biasa malam ini.”
Lyora hanya menunduk, membenarkan gelang di pergelangan tangannya. “Aku hanya mengenakan warna yang tidak membuatku mengingat luka.”
Di sisi lain aula, Apollo berdiri di dekat balkon, mengenakan setelan hitam dengan dasi biru senada dengan gaun Lyora. Wajahnya tampak datar, tapi matanya tidak.Ada sesuatu yang sulit disembunyikan di sana, sebuah badai yang berputar di balik ketenangan.
Ia meneguk sedikit champagne, menatap Lyora yang baru saja melangkah menuruni tangga dengan anggun. Hatinya berdesir aneh.
Ada kilas balik samar tentang gaun merah delima, tentang wanita masa lalu yang dulu meninggalkannya di tengah hujan deras dengan luka di dada dan mata penuh kebencian.
Warna merah itu menjadi simbol pengkhianatan, warna yang membuatnya membenci cinta sendiri.Mungkin itulah sebabnya ia memerintahkan Eliot untuk menukar gaun Lyora.
Mungkin juga karena, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia ingin sesuatu yang berbeda dari masa lalunya.Namun ketika Eliot memberitahu bahwa Lyora menolak gaun putih, kemarahan kecil sempat meluap.
“Ganti saja dengan hitam, biru, hijau, atau apa pun itu ,asal jangan merah!” katanya dengan nada berat, sampai Eliot di seberang sana refleks menjauhkan ponsel dari telinganya.
Dan kini, melihat hasil akhirnya, Apollo terdiam lama.Gaun biru laut itu tak seharus nya membuat hatinya bergetar seperti ini. Tapi ia tahu, warna itu dan wanita yang mengenakannya telah menandai sesuatu yang baru dalam hidupnya. Sesuatu yang ia belum siap akui.
Sorot mata mereka akhirnya bertemu di antara keramaian. Lyora tersenyum samar, tidak sepenuhnya ramah, tidak pula dingin—lebih seperti seseorang yang menantang tanpa suara.
Dan di detik itu, pesta pertunangan yang seharusnya penuh bahagia justru terasa seperti awal dari peperangan sunyi antara dua jiwa yang sama-sama terluka.
Menit demi menit berlalu ...Musik lembut dari grand piano mulai mengalun ketika pembawa acara mengumumkan bahwa momen tukar cincin akan segera dimulai.
Semua mata tertuju ke arah tengah aula. ke podium berhias kelopak mawar biru dan putih yang berjatuhan pelan seperti serpihan salju di bawah cahaya kristal.
Lyora melangkah perlahan di samping Apollo, gaun biru lautnya berkilau setiap kali ia bergerak. Sementara Apollo berjalan di sisi nya dengan langkah mantap, meski sorot matanya tampak lebih gelap dari biasanya.
Wajahnya nyaris tanpa ekspresi, tapi jemari nya menggenggam kotak cincin kecil dengan kekakuan yang tidak bisa disembunyikan.
Di bawah tatapan ratusan tamu undangan, mereka akhirnya berdiri berdampingan di depan podium. Eliot dan Johan berdiri tak jauh di belakang, masing-masing dengan setelan hitam formal dan kacamata gelap, seolah sedang menjaga sebuah upacara politik, bukan pesta pertunangan.
“Sekarang, mari kita saksikan momen simbolis ini,” ujar pembawa acara dengan nada lembut. “Tuan Apollo Dragunov akan terlebih dahulu memasangkan cincin pada Nona Lyora.”
Suasana hening. Apollo menatap tangan Lyora. Tangan mungil itu tampak bergetar sedikit, tapi ia tak menolak ketika Apollo meraih jemarinya.Cincin berlian biru pucat meluncur sempurna ke jari manis Lyora. pas, seperti memang dibuat khusus untuknya.
Sekilas, sesuatu melintas di mata Apollo. Bukan senyum. Bukan pula kelembutan. Lebih seperti… kesadaran yang aneh, bahwa wanita di depannya kini telah terikat padanya secara resmi, meski mungkin tidak secara hati.
Lalu tibalah giliran Lyora.Ia menerima cincin kedua dari tangan pembawa baki, menatap nya lama. Terlalu lama. Ruangan mulai senyap.Bahkan suara biola pun seolah berhenti.
Semua orang menunggu momen di mana Lyora akan memasangkan cincin itu ke jari Apollo. Tapi wanita itu justru terpaku. Tatapannya jatuh ke tangan Apollo , lebih tepatnya ke sarung putih yang menutupi sebagian jarinya.
Ada sesuatu di sana yang membuat Lyora tiba-tiba ragu. Seolah di balik lapisan kain itu tersembunyi sesuatu yang tak ingin ia sentuh… atau tak sanggup.
“Lyora,” Apollo menegur pelan, suaranya nyaris tak terdengar tapi tajam.
Lyora mengangkat wajahnya, menatapnya sekilas. Lalu, tanpa berkata sepatah kata pun ia menatap cincin di tangannya sendiri, tersenyum kecil, dan… memakainya ke jari tengahnya.“Lihat,” katanya lirih, tapi cukup untuk terdengar oleh mikrofon. “Aku punya dua cincin.”
Hening.
Seketika seluruh aula menjadi beku. Para tamu saling berpandangan, tak berani berbisik, tapi jelas kebingungan.Nenek Apollo, Elira Dragunov, yang duduk di barisan depan, hanya bisa tersenyum kaku, senyum yang lebih terlihat seperti usaha keras menahan reputasi keluarga tetap utuh.
Apollo menatap Lyora lama.
Tatapannya tajam, menusuk, seolah ingin bertanya, apa maksudmu melakukan itu di depan semua orang?
Sementara di belakang mereka. Eliot dan Johan yang berdiri dengan kacamata hitamnya sama-sama kaku di tempat.
Bahkan di balik lensa gelap itu, bisa terlihat jelas bagaimana mata mereka membulat karena terkejut.Johan berdeham pelan, nyaris tak bersuara. “Itu… bukan bagian dari rencana, kan?”
Eliot hanya menunduk sedikit, menutup wajah dengan tangan. “Kalau ini bagian dari rencana, aku harap aku tidak ikut menandatangani nya.”