Rayna tak pernah benar-benar memilih. Di antara dua hati yang mencintainya, hanya satu yang selalu diam-diam ia doakan.
Ketika waktu dan takdir mengguncang segalanya, sebuah tragedi membawa Rayna pada luka yang tak pernah ia bayangkan: kehilangan, penyesalan, dan janji-janji yang tak sempat diucapkan.
Lewat kenangan yang tertinggal dan sepucuk catatan terakhir, Rayna mencoba memahami-apa arti mencintai seseorang tanpa pernah tahu apakah ia akan kembali.
"Katanya, kalau cinta itu tulus... waktu takkan memisahkan. Hanya menguji."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Iyikadin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 5 - Rayi, Aku Suka Panggilan Itu!
Aku tau aku sakit, tapi rasanya aku tetap sehat kalau ada kamu...
Pagi itu, sehari setelah Rayna pulang kerumah, terdengar suara langkah tergesa di halaman rumah Rayna. Suara nyaring memecah pagi yang sunyi dan tenang itu.
"Raynaaaaaa!" teriak Vando dari luar.
Tanpa menunggu balasan, Vando langsung membuka pintu dan menuju kamar Rayna. Di dalam, gadis mungil itu masih terbaring di tempat tidur, tubuhnya tertutup selimut tebal.
"Hayyyyy... Halo, Rayna, selamat pagi." sapa Vando ceria sambil mendekat.
"Ehh.. Hay Vando, selamat pagi juga," jawab Rayna pelan, suaranya terdengar lesu.
"Kamu kok belum siap-siap, sih? Bukannya kita mau pergi ke sekolah bareng?" tanya Vando, terlihat heran.
Rayna menunduk, wajahnya memancarkan kesedihan. Ia menarik napas pelan sebelum menjawab.
"Mama bilang... aku belum boleh sekolah dulu."
Vando memiringkan kepala, wajah polosnya menunjukkan rasa penasaran. "Kenapa?"
Tak lama kemudian, Mama Rayna masuk ke kamar sambil membawa nampan berisi makanan dan obat-obatan. Ia tampak terkejut melihat Vando masih di sana.
"Eh, Evando? Kamu belum berangkat sekolah?"
"Aku mau di sini dulu, Tante. Mau nemenin Rayna," jawab Vando sambil tersenyum kecil.
Mama hanya mengangguk sambil senyum terharu, lalu segera menelepon Bu Rosa agar Vando bisa segera diantar ke sekolah, karena takutnya ia malah terlambat.
Akhirnya, Vando pun pamit meski tampak enggan meninggalkan Rayna. Sementara itu, Rayna melanjutkan makan pelan-pelan, memandangi makanan buatan mamanya yang selalu hangat.
Sore harinya, Vando kembali datang menjenguk Rayna. Wajahnya ceria seperti biasa, penuh semangat. Ia langsung duduk di samping Rayna yang kini duduk bersandar di ranjang, lalu mengeluarkan sebuah kotak berwarna pink.
"Rayna. Aku punya hadiah nih buat kamu," ucap Vando dengan penuh semangat.
"Apa ini, Vando?" tanya Rayna, penasaran.
"Ayo buka aja kotaknya. Kamu pasti suka."
Rayna membuka kotak itu perlahan. Di dalamnya, ada dua buah kalung dan dua buah gelang. Vando mengambil salah satu kalung dan menunjukkannya pada Rayna.
"Ini kalung... lihat, ada tulisan 'Vando & Rayi, bagus gak menurut kamu?" ujarnya sambil terkekeh.
"Vando dan Rayi?" Rayna menatap bingung.
"Iya. Dari nama Rayna, tapi juga dari ‘ray of light’. Mama bilang artinya cahaya. Kamu kan kayak cahaya buat aku," jawab Vando sambil nyengir.
Rayna hanya tersenyum melihat tingkah lucu sahabatnya itu. Kemudian, Vando menunjukkan dua buah gelang yang juga ada di dalam kotak.
"Kalau ini gelang. Lihat, kalau disatuin, bentuknya jadi hati."
"Kamu suka, kan?" tanyanya kemudian.
Rayna mengambil gelang itu dan langsung memakainya di pergelangan tangannya yang mungil.
"Aku suka banget, Vando. Makasih ya... Aku seneng banget kamu kasih ini semua ke aku. Aku janji bakal terus simpan ini," ucap Rayna sambil tersenyum tulus.
"Bener ya kamu janji. Awas kalau sampai hilang, aku marah." Ucap Vando.
Rayna terkekeh pelan. "Hem iya, Vando, aku janji kok. Gak akan aku lepas."
Vando tersenyum puas. Ia menatap gelang di tangan Rayna, lalu memandangi miliknya sendiri. "Mulai sekarang, ini tanda kita sahabatan selamanya, ya?"
Rayna mengangguk cepat. "Iya, selamanya."
Beberapa detik mereka terdiam. Hanya suara jam dinding yang terdengar, berdetak pelan. Vando masih menatap Rayna, tapi kali ini pandangannya sedikit berbeda. Ada sesuatu di matanya, rasa kagum, mungkin juga sayang, yang bahkan ia sendiri belum mengerti.
Tiba-tiba Rayna bertanya pelan, "Vando… kalau aku gak bisa sembuh, kamu bakal tetap temenin aku, kan?"
Vando langsung menatapnya, serius. "Apasih kamu, Rayna. Kok ngomongnya gitu sih? Aku bilangin Mama loh ya. Udah jangan ngomong gitu ya. Kamu pasti sembuh. Aku yakin."
"Tapi kalau nggak gimana? Soalnya aku takut nggak bisa sembuh lagi, nanti kita nggak bisa main lagi deh." suara Rayna makin kecil.
Vando diam sejenak, lalu menggenggam tangan Rayna erat. "Aku bakal tetap di sini. Nanti kita mainnya disini aja. Aku nggak akan pergi kok, Rayi."
Rayna tersenyum lemah. "Hahaha, ‘Rayi’. Aku suka deh kamu panggil itu ke aku. Kamu baik banget, Vando."
Vando malah pura-pura manyun. "Bukan baik. Aku cuma gak mau kehilangan sahabat aku yang paling cerewet ini."
"Cerewet? Ih, jahat! Awas ya kamu, Vando!" Rayna memukul pelan bahunya, dan mereka berdua tertawa bersama.
Suara tawa itu mengisi kamar kecil yang sebelumnya hanya diisi oleh bunyi alat pernapasan. Untuk pertama kalinya setelah berhari-hari, Rayna merasa benar-benar tenang.
Malam itu sebelum tidur, ia menatap gelang di tangannya sambil berbisik,
"Vando dan Rayi… sahabat selamanya."
**FLASHBACK END**
"Hmm, semuanya masih terekam dengan jelas dipikiranku," ucap Rayna.
Tiba-tiba terdengar suara pintu kamar terbuka. Mamanya muncul di ambang pintu. "Rayna, kamu belum siap-siap sekolah? Ayo mandi cepet, nanti kesiangan, Jakarta macet, sayang."
"Emm iya, Ma. Rayna mandi dulu ya," jawab Rayna sambil bangkit dari tempat tidur.
"Oke, habis itu sarapan ya, Mama udah siapin sarapannya," kata mamanya sambil tersenyum.
"Iya, Ma," sahut Rayna.
Mamanya pergi dari kamar dan Rayna bergegas untuk mandi dan bersiap-siap ke sekolah. Setelah semuanya rapi, memakai seragam sekolah, tas di tenteng, Rayna keluar kamar untuk sarapan. Di meja makan, sudah tersedia nasi goreng dengan telur mata sapi kesukaan Rayna.
Saat menyantap sarapannya, tiba-tiba pikirannya kembali melayang.
**FLASHBACK**
Rayna kecil tertawa riang saat Vando mengejarnya di Old Town Square, Praha. Salju tipis menutupi atap-atap bangunan kuno, menciptakan pemandangan yang indah seperti dalam dongeng.
"Vandooooo! Jangan curang! Tunggu aku!" teriak Rayna kecil, berusaha mengejar Vando yang berlari lebih cepat.
Vando berhenti di depan Astronomical Clock yang terkenal itu dan berbalik. Hidungnya memerah karena kedinginan, tapi matanya tetap berbinar-binar.
"Ayo, Rayiiii! Lihat jamnya! Sebentar lagi boneka-boneka itu keluar!" seru Vando, menunjuk ke arah jam.
Rayna kecil berlari menghampiri Vando dan mereka berdua menatap jam itu dengan penuh antusias. Saat jam berdentang, boneka-boneka kecil mulai bergerak, menampilkan pertunjukan yang memukau.
Setelah pertunjukan selesai, Vando mengajak Rayna untuk membeli sebuah kue tradisional Praha yang manis dan lezat. Mereka menikmati kue itu sambil berjalan-jalan di sekitar Old Town Square, mengagumi keindahan kota Praha yang mempesona.
"Rayna, Praha indah banget ya?" kata Vando sambil menatap Rayna.
Rayna mengangguk setuju. "Iya, indah banget! Aku suka banget Praha!"
"Aku juga! Aku senang bisa main terus sama kamu," kata Vando sambil tersenyum.
Rayna tersenyum balik. Ia merasa sangat bahagia bisa menghabiskan waktu bersama Vando di kota Praha yang indah itu.
**FLASHBACK END**
"Rayna, kok senyum-senyum sendiri? Mikirin apa sih?" tanya mamanya yang tiba-tiba datang.
Rayna tersentak kaget. "Eh, enggak kok, Ma. Cuma lagi inget sesuatu aja," jawabnya sambil tersenyum.
"Yaudah, cepetan makannya, nanti telat loh," kata mamanya.
Rayna mengangguk dan melanjutkan sarapannya. Namun, pikirannya masih melayang-layang di Praha, bersama Vando.
Ia bertanya-tanya,
"Kalau Vando tau soal perjodohan aku dan Ben, apa dia akan menerimanya?" gumamnya dalam hati.
Bersambung...
anak orang mau kamu kasih makan apa