NovelToon NovelToon
Istri Simpananku, Canduku

Istri Simpananku, Canduku

Status: sedang berlangsung
Genre:Poligami / CEO / Ibu Pengganti
Popularitas:4.8k
Nilai: 5
Nama Author: Fauzi rema

Revana Arnelita...tidak ada niatan menjadi istri simpanan dari Pimpinannya di Kantor. namun kondisi keluarganya yang mempunyai hutang banyak, dan Ayahnya yang sakit-sakitan, membuat Revana menerima tawaran menjadi istri simpanan dari Adrian Wijaksana, lelaki berusia hampir 40 tahun itu, sudah mempunyai istri dan dua anak. namun selama 17 tahun pernikahanya, Adrian tidak pernah mendapatkan perhatian dari istrinya.
melihat sikap Revana yang selalu detail memperhatikan dan melayaninya di kantor, membuat Adrian tertarik menjadikannya istri simpanan. konflik mulai bermunculan ketika Adrian benar-benar menaruh hatinya penuh pada Revana. akankah Revana bertahan menjadi istri simpanan Adrian, atau malah Revana menyerah di tengah jalan, dengan segala dampak kehidupan yang lumayan menguras tenaga dan airmatanya. ?

baca kisah Revana selanjutnya...semoga pembaca suka 🫶🫰

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fauzi rema, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

5. Bab 5

...“Revana… apa aku berani melibatkanmu ke dalam keluargaku?”...

...-Adrian-...

Hari sudah hampir sore ketika Adrian kembali keluar dari ruangannya. Ia menghampiri meja Revana yang masih penuh dengan tumpukan dokumen.

“Sudah sampai mana?”

Revana menghela napas, sambil menunjukkan file di layar. “Sebagian besar sudah saya rapikan, Pak. Tinggal laporan dari divisi produksi yang belum masuk.”

Adrian mengangguk singkat, lalu melirik ke arah meja kosong di seberang.

“Mulai besok, koordinasi juga dengan Clara. Bagikan sebagian tugasmu padanya. Aku tidak mau kamu kelelahan sampai jatuh sakit.”

Revana sedikit terkejut, tapi buru-buru mengangguk.

“Baik, Pak. Saya akan bagi pekerjaan dengan Clara.”

Namun Adrian belum beranjak. Ia menatap Revana dengan sorot mata yang lebih dalam, membuat gadis itu mendadak salah tingkah.

“Dan satu hal lagi, jangan lupa dengan perjanjian kita.”

Revana langsung membeku. Jari-jarinya yang semula sibuk mengetik berhenti begitu saja. Nafasnya terasa sesak.

Revana berusaha tenang. “Perjanjian… yang Bapak maksud…?”

Adrian mendekat sedikit, suaranya lebih rendah tapi tetap tegas.

“Kamu tahu maksudku. Perjanjian yang kita buat waktu itu. Aku sudah membantu ayahmu dengan uang lima puluh juta bahkan lebih untuk biaya operasi. Sebagai gantinya, kamu harus menemaniku kapan pun aku butuh, terutama saat aku berada di luar kantor.”

Jantung Revana berdentum keras. Kata-kata itu menusuk telinganya, membuat kenangan pahit hari itu ketika ia menyetujui syarat itu kembali menyeruak. Waktu itu, ia tidak punya pilihan lain, ayahnya terbaring membutuhkan operasi secepatnya, dan Adrian adalah satu-satunya orang yang bisa segera memberikan bantuan.

“Saya… saya ingat, Pak.” suara Revana pelan, hampir berbisik.

Adrian menatapnya lama, ekspresinya sulit ditebak, antara dingin sebagai atasan, atau ada sesuatu yang lain tersembunyi di baliknya.

“Bagus. Karena mulai minggu depan, aku ada beberapa jadwal pertemuan dengan klien di luar kota. Kamu harus ikut.”

Revana menunduk, tangannya mengepal di atas meja. Ada rasa takut, ada juga rasa bersalah yang mencengkeram dadanya. Bagaimana pun, Adrian adalah pria beristri. Situasi ini jelas salah, tapi hutang budi dan perjanjian membuatnya terikat.

“Baik, Pak.” suara Revana lirih, nyaris tak terdengar.

Adrian menepuk ringan meja, lalu kembali berjalan ke ruangannya tanpa menoleh. Sementara itu, Revana duduk terpaku, menatap kosong ke layar komputer yang perlahan kabur oleh genangan air mata di pelupuknya.

“Ya Tuhan… apa aku sudah masuk ke jalan yang tak bisa kutarik lagi?” pikirnya, dada terasa sesak.

...☘️☘️...

Mobil Adrian berhenti di halaman rumah besar bernuansa modern. Dari luar rumah itu tampak megah, namun begitu pintu dibuka, kehangatan yang seharusnya ada dalam sebuah keluarga nyaris tak terasa.

Lampu ruang keluarga menyala temaram. Di sofa, istrinya, Nadya. sibuk menatap layar tablet sambil sesekali mengetik di ponsel. Ia nyaris tak menoleh ketika Adrian masuk.

Adrian melepas jas, suaranya datar. “Aku pulang.”

“Hm.” jawab Nadya singkat, tanpa menoleh.

Hanya itu. Seolah kehadiran suami yang baru pulang kerja seharian bukan hal penting. Adrian menghela napas, sudah terlalu sering menghadapi sikap dingin itu.

Suara riang kecil kemudian terdengar dari lantai atas. Andrew, putra bungsunya yang baru berusia lima tahun, berlari kecil menuruni tangga sambil membawa mainan robot.

“Papi! Papi pulang!” suara riang Andrew memecah kesunyian.

Adrian langsung tersenyum. Raut wajah keras yang seharian ia bawa di kantor hilang seketika. Ia merentangkan tangan, menyambut bocah itu dalam pelukannya.

“Andrew, sudah makan malam?”

Andrew menggeleng. “Belum, aku sengaja nungguin Papi pulang dulu, aku mau makan sama-sama.”

Adrian menatap sekilas istrinya, lalu kembali menunduk pada anaknya.

“Baiklah, sebentar lagi Papi temani.”

Tak lama, suara langkah ringan terdengar. Alesya, putri sulungnya yang kini duduk di kelas 12 SMA, muncul dari dapur dengan membawa dua gelas jus. Wajah gadis itu dewasa, tapi matanya menyimpan sedikit lelah.

“Pi, aku bikinin jus jeruk. Tadi aku kira Papi lembur lagi.”

Adrian tersenyum hangat sambil menerima segelas jus.

“Terima kasih, Sayang. Papi nggak mau terlalu sering lembur, apalagi kalau kalian di rumah. Bagaimana belajar untuk ujian akhir?”

Alesya tersenyum tipis. “Masih berantakan, Pi. Tapi aku usahakan.”

Adrian mengusap lembut kepala putrinya.

“Papi percaya kamu bisa.”

Sementara itu, Nadya masih tak bergeming, larut dengan ponselnya. Andrew melirik ibunya lalu menarik tangan Adrian.

“Papi, main sama aku, ya?”

Adrian mengangkat putranya ke pangkuan, menatap kedua anaknya bergantian. Dalam hatinya ia merasa bersyukur, meski rumah ini dingin karena istrinya yang acuh, setidaknya anak-anak tetap menjadi alasan baginya untuk pulang.

“Kalau bukan karena mereka, mungkin aku sudah tidak tahan lagi di rumah ini,” batin Adrian, memandangi senyum polos Andrew dan wajah tegar Alesya.

Di ruang itu, Adrian berusaha menjadi pusat kehangatan, menggantikan semua yang hilang dari figur seorang ibu.

...☘️☘️...

Malam itu, setelah Andrew terlelap di kamarnya, Adrian mengetuk pintu kamar Alesya. Suara musik lembut terdengar samar dari dalam.

“Boleh Papi masuk, Al?”

“Iya, Pi, masuk aja.” sahut Alesya dari dalam.

Adrian masuk, mendapati putrinya duduk di meja belajar dengan buku-buku berserakan. Namun wajah gadis itu terlihat murung.

Adrian duduk di tepi ranjang. “Kamu kelihatan nggak semangat. Ada apa?”

Alesya menutup bukunya, lalu menunduk.

“Sebenarnya… minggu depan aku diundang ke pesta ulang tahun sahabatku. Semua teman-teman bakal datang. Aku pengin tampil beda, Pi. Tapi…”

Ia berhenti sebentar, bibirnya bergetar.

“Aku sudah minta Mama temani belanja gaun, tapi Mama bilang lagi sibuk. Katanya, itu hal sepele, aku bisa pilih sendiri. Padahal aku cuma… pengin ada yang nemenin.”

Adrian menatap putrinya lama. Ada rasa perih di dadanya, ia tahu betul betapa Nadya semakin jauh dari peran seorang ibu. Adrian mengusap lembut rambut Alesya.

“Alesya… kamu nggak salah. Kamu cuma butuh ditemani, bukan sekadar dibelikan. Papi mengerti.”

Alesya mengangguk pelan, matanya berkaca-kaca.

“Papi kan sibuk kerja, aku nggak enak kalau minta temenin Papi.”

Adrian tersenyum tipis.

“Untuk anak Papi, nggak ada kata sibuk. Tapi besok Papi harus ada rapat di kantor. Jadi… mungkin Papi nggak bisa langsung nemenin. Tapi—”

Ia terhenti sejenak. Wajah Revana sekilas melintas di benaknya. Perempuan itu cekatan, tahu gaya, dan punya kesabaran menghadapi orang. Pikirannya beradu cepat. “Kalau Revana yang menemani, Alesya pasti nyaman. Tapi… apakah tepat mempertemukan mereka?”

“Besok kamu akan ditemani seseorang. Orang yang Papi percaya. Dia bisa bantu kamu pilih gaun yang sesuai.” ucap Adrian pelan, menimbang kata-kata.

Alesya menoleh, sedikit bingung.

“Seseorang? Siapa, Pi?”

Adrian tersenyum samar, tidak langsung menjawab.

“Kamu tenang saja. Dia orang baik. Papi janji, kamu akan merasa ditemani.”

Alesya masih ragu, tapi ia percaya pada ayahnya. Ia mengangguk kecil.

“Kalau Papi yang bilang begitu, aku percaya.”

Adrian menepuk bahu putrinya lembut.

“Sekarang istirahat. Jangan terlalu larut belajar. Papi selalu ada buat kamu, Al.”

Alesya tersenyum, meski matanya masih menyimpan kerinduan yang tak pernah bisa dipenuhi oleh ibunya.

Adrian keluar kamar, berdiri sejenak di koridor dengan wajah menegang.

“Revana… apa aku berani melibatkanmu ke dalam keluargaku?” pikirnya, dada terasa berat.

...☘️☘️☘️...

1
Ma Em
Sudahlah Revana terima saja Adrian dan menikahlah dgn Adrian .
Ma Em
Revana sdh terima saja pemberian Adrian karena kamu emang membutuhkan nya , lbh baik cepatlah halalkan segera hubungan Revana dgn Adrian .
Ma Em
Adrian kalau benar serius dgn Revana segera resmikan hubunganmu dgn Revana jgn ditunda lagi , semoga Revana bahagia bersama Adrian .
Ma Em
Adrian segera resmikan hubunganmu dgn Revana jgn cuma janji 2 doang buat Revana hdp nya bahagia cintai dan sayangi Revana dgn tulus .
Ma Em
Semangat Revana tunjukan pesonamu pada sang calon mertua agar mereka bisa melihat ketulusan dan kebaikan hatimu Revana 💪💪💪
Ma Em
Ya terima saja Revana lamaran Adrian lagian Revana tdk salah2 amat karena emang Adrian sdh tdk bahagia hdp bersama istrinya karena istrinya Adrian tdk mau mengurusi suami juga anak2 nya .
Ma Em
Bagaimana Adrian tdk terpesona sama Revana jika Adrian selalu diperhatikan dan dilayani setiap keperluannya sangat berbeda jauh dgn sikap istrinya Adrian yaitu Nadya yg tdk pernah diperhatikan dan dilayani dgn baik sama istrinya
Ma Em
Pantas Adrian cari perempuan lain yg membuatnya nyaman , dirumah nya selalu dicuekin sama Nadya istrinya dan tdk pernah diurus semua keperluan suami dan anak2 nya .
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!