 
                            "Aku akan menghancurkan semua yang dia hancurkan hari ini."
Begitulah sumpah yang terucap dari bibir Primordia, yang biasa dipanggil Prima, di depan makam ibunya. Prima siang itu, ditengah hujan lebat menangis bersimpuh di depan gundukan tanah yang masih merah, tempat pembaringan terakhir ibunya, Asri Amarta, yang meninggal terkena serangan jantung. Betapa tidak, rumah tangga yang sudah ia bangun lebih dari 17 tahun harus hancur gara-gara perempuan ambisius, yang tak hanya merebut ayahnya dari tangan ibunya, tetapi juga mengambil seluruh aset yang mereka miliki.
Prima, dengan kebencian yang bergemuruh di dalam dadanya, bertekad menguatkan diri untuk bangkit dan membalaskan dendamnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiga Dara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Baru Permulaan
Nadia masuk ke dalam ruangan Prima dengan terengah-engah seperti habis berlari maraton.
"Bu, Bu Prima."
Nadia berusaha mengatur nafasnya agar Prima bisa memahami bicaranya yang terbata-bata.
"Bu...Prim...ma...ha...rus..."
"Tenang Nad, pelan-pelan bicaranya. Kau kenapa mengap-mengap begitu?"
"Itu Bu, Nyonya Julia, datang. Marah-marah. Di bawah."
Prima segera bangkit dari meja nya kerjanya . Ia bergegas turun ke lobi dan Nadia mengikutinya dari belakang.
Di lobby sudah berbaris para pegawai menyambut kedatangan Nyonya Julia yang masuk melalui pintu utama gedung perkantoran dengan wajah merah menyala.
Dua ajudan Nyonya Julia nampak setia mengikut langkah kaki direktur utama William Group, di mana perusahaan tempat Prima memimpin saat ini adalah salah satu dari anak perusahaan yang dimiliki oleh Nyonya Julia.
"Ma, mama datang? Kenapa tidak telpon Prima saja biar Prima yang datang kesana kalau memang ada hal yang penting?"
"Prima, ayo keruanganmu."
Julia bergegas menuju lift diikuti oleh Prima Nadia dan 2 ajudan Nyonya Julia.
"Singkirkan sekertarismu, aku butuh bicara berdua denganmu."
Prima menoleh pada Nadia, memberinya kode untuk ia keluar dari lift seperti permintaan Julia. Nadia mengangguk mengerti, dan ia melangkah keluar lift membiarkan Prima naik bersama calon mertuanya ke ruangan Prima di lantai 10.
"Ada hal penting apa mama sampai datang kemari?"
"Prima, kamu bodoh sekali! Kamu ceroboh!"
Serang perempuan itu dengan gayanya yang angkuh, melirik kesal kearah Prima yang berdiri di dalam lift di sampingnya. Prima hanya kaget namun ia hanya terdiam dan menunduk.
"Ada perusahaan baru yang berusaha merebut koneksi kita di kantor-kantor pemerintahan, dan kamu diam saja tidak melakukan apapun?"
Prima yang terkejut dengan kedatangan Julia yang mendadak hanya bisa diam membiarkan Julia meluapkan amarahnya.
"Kalau kamu membiarkan mereka mengambil proyek pembangunan balai kota kali ini, tidak menutup kemungkinan mereka akan mengambil proyek-proyek lain yang lebih besar, dan itu sangat berbahaya untuk William group. Apa kau mendengarku Prima?"
"Iya ma maafkan Prima Prima baru saja mendengar kabar Ini pagi tadi."
Pintu lift terbuka, dengan cepat Julia melangkah menuju ruangan Prima di ujung lorong. Berjalan dengan angkuh dan menenteng sebuah tas di sikunya yang ditekuk.
Prima berusaha mensejajari langkah Julia yang mengarh ke ruang kerjanya, sementara dua orang ajudan masih setia mengikuti Julia berjalan dengan gagahnya.
"Kamu harus segera mencari tahu siapa pemilik perusahaan baru itu. Dan yang paling penting, jangan sampai mereka berhasil mengambil proyek-proyek mu. Meskipun yang kau pimpin ini hanyalah anak perusahaanku, tetapi kalau sampai kamu kecolongan, artinya mereka punya kesempatan besar untuk mengambil alih proyek-proyek ku di anak perusahaanku yang lain. Dan aku tidak akan membiarkan itu terjadi. Prima kau dengar itu?!"
"Prima janji ma, Prima akan segera mengatasi ini. Mama tidak perlu khawatir, Prima pasti bisa mengatasinya."
"Harus Prima, kamu harus bisa mengatasi ini atau posisimu akan terancam. Dan bisa saja pernikahanmu dengan putraku juga aku batalkan."
Prima menelan ludah getir tidak ini tidak boleh terjadi pernikahannya dengan William tidak boleh dibatalkan setidaknya oleh pihak keluarga beliau.
Pipi Prima terasa panas, kedua tangannya mengepal namun ia berusaha untuk tetap tenang di hadapan Julia.
"Ma, Mama tahu kan bagaimana Prima? Prima tidak hanya akan menyelesaikan masalah ini, Prima juga akan memastikan perusahaan itu tidak akan mengacaukan William group. Mama tidak perlu khawatir jangan sampai kesehatan Mama terganggu karena memikirkan masalah ini. Prima tidak mau Mama sakit."
Julia menarik nafas panjang ia mulai bisa tersenyum, urat-urat di lehernya perlahan memudar. Ia tahu pasti calon menantunya ini adalah orang yang sangat berkompeten dan dia tidak akan membiarkan perusahaan dan kepercayaan hancur karena perusahaan baru.
"Aku percayakan padamu Prima. Aku percaya kamu bisa membawa perusahaanku ke puncak kejayaan. Nanti malam datanglah, kita makan malam bersama seperti tadi malam."
"Maafkan Prima, Ma. Malam ini Prima pasti lembur. Pekerjaan Prima banyak sekali, Prima tidak mau membuang-buang waktu. Prima harus segera bergerak agar bisa mengalahkan perusahaan baru itu. Prima harap mama bisa mengerti."
"Ya, ya."
Nyonya Julia berdiri, ia menepuk nepuk pundak Prima sebelum melangkah meninggalkan Prima.
"Lakukan yang terbaik sayang, Mama bisa tidur tenang siang ini."
Julia melangkah keluar dari ruangan Prima bersama dengan dua ajudan yang sepertinya tidak pernah terlihat tersenyum sama sekali.
Prima merebahkan tubuhnya di sandaran sofa begitu Julia menghilang dari pandangannya. Iya menunggu beberapa saat untuk memastikan bahwa Julia sudah tidak berada di lantai 10 gedung kantor itu. Jarak ruangannya menuju lift tidak terlalu jauh, seharusnya Julia sudah berada dalam lift membawanya turun ke lobi.
Ia lantas tersenyum dan mulai terkekeh, hingga akhirnya ia tertawa terbahak-bahak. Namun seketika tawanya terhenti, wajahnya yang memerah menelan senyuman di bibirnya yang beebrapa detik lalu merekah.
Tangan Prima reflek meraih sebuah vas bunga kaca, mengayunkan ke atas kepala hendak melemparnya. Tetapi ia mengurungkan niatnya, Prima setengah mati berusaha untuk mengatur nafasnya.
Setelah sedikit tenang, Prima meletakkan kembali vas bunga ke atas meja.
"Julia, ini baru permulaan. Kamu akan dapat kejutan-kejutan menarik lebih dari ini! Kamu akan lebih marah, kamu akan kalah Julia!!!"
Sekuat tenaga Prima berteriak, hingga suaranya terdengar sampai di luar ruangan. Namun Nadia yang berada di luar ruangan itu sudah tahu kebiasaan Prima jika calon Ibu mertuanya datang ke kantor. Dengan tenang Nadia hanya tersenyum mendengarkan apa yang diucapkan oleh Prima.
***