Seorang kultivator legendaris berjuluk pendekar suci, penguasa puncak dunia kultivasi, tewas di usia senja karena dikhianati oleh dunia yang dulu ia selamatkan. Di masa lalunya, ia menemukan Kitab Kuno Sembilan Surga, kitab tertinggi yang berisi teknik, jurus, dan sembilan artefak dewa yang mampu mengguncang dunia kultivasi.
Ketika ia dihabisi oleh gabungan para sekte dan klan besar, ia menghancurkan kitab itu agar tak jatuh ke tangan siapapun. Namun kesadarannya tidak lenyap ,ia terlahir kembali di tubuh bocah 16 tahun bernama Xiau Chen, yang cacat karena dantian dan akar rohnya dihancurkan oleh keluarganya sendiri..
Kini, Xiau Chen bukan hanya membawa seluruh ingatan dan teknik kehidupan sebelumnya, tapi juga rahasia Kitab Kuno Sembilan Surga yang kini terukir di dalam ingatannya..
Dunia telah berubah, sekte-sekte baru bangkit, dan rahasia masa lalunya mulai menguak satu per satu...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Junot Slengean Scd, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB.8 DARAH DEWA DI GUNUNG AWAN MERAH
Langit di utara terbentang merah keunguan, seolah matahari tak pernah benar-benar bersinar di sana.
Gunung Awan Merah menjulang tinggi, puncaknya menembus kabut darah yang tak pernah sirna sejak ribuan tahun lalu.
Legenda mengatakan, di sanalah Dewa Pertama Langit dan Dewa Kegelapan bertarung hingga darah mereka menetes ke bumi — menciptakan medan spiritual yang bahkan para leluhur tak berani dekati.
Kini, gunung itu bergetar perlahan, menandakan bahwa sesuatu di dalamnya sedang bangkit kembali.
Xiau Chen berdiri di kaki gunung, jubah putihnya berkibar tertiup badai merah.
Di tangannya, Lonceng Jiwa Abadi berdentang lembut, seolah memperingatkannya.
“Kau merasakannya juga, bukan?”
Suara Kitab Kuno menggema di dalam kesadarannya.
“Pecahan kedua jiwa Mo Tian ada di sini. Tapi bukan hanya itu… sesuatu yang lebih kuno bersemayam di dalam tanah ini.”
“Darah dewa…” jawab Xiau Chen pelan.
“Aku bisa mencium aromanya.”
Ia melangkah perlahan menaiki lereng, setiap langkahnya meninggalkan jejak cahaya spiritual.
Batu-batu di sekitarnya bergetar, dan hawa panas mengalir dari dalam tanah.
Di kejauhan, ia melihat reruntuhan kuil tua — Kuil Darah Langit.
Dindingnya terbuat dari batu hitam, dengan ukiran simbol-simbol kuno yang bahkan Xiau Chen sulit tafsirkan.
Namun di tengah reruntuhan itu, ia melihat sesuatu yang membuatnya berhenti: sebuah kolam darah yang berkilau di bawah sinar merah.
Airnya tak memantulkan cahaya, melainkan memancarkan aura yang hidup — seolah darah itu bernapas.
Ketika Xiau Chen mendekat, permukaan kolam itu bergolak.
Dari dalamnya muncul siluet seorang perempuan muda berpakaian merah darah, dengan mata berwarna perak dan aura yang begitu kuat hingga udara bergetar di sekelilingnya.
“Manusia fana yang berani menginjak Gunung Awan Merah…” suaranya bergema lembut tapi tajam.
“Kau tahu tempat ini adalah tanah kutukan para dewa?”
Xiau Chen menatapnya. “Aku bukan manusia fana.”
Perempuan itu tersenyum samar. “Kau bukan manusia… tapi juga bukan dewa. Menarik.”
Ia berjalan di atas permukaan darah tanpa tenggelam, dan setiap langkahnya memancarkan riak cahaya perak.
“Aku Shi Lin, Penjaga Darah Dewa. Tugasku melindungi sisa kekuatan para dewa agar tak jatuh ke tangan iblis.”
Xiau Chen mengangguk. “Kalau begitu, kita berada di pihak yang sama.”
Shi Lin memicingkan mata. “Pihak yang sama? Kau datang membawa aura Mo Tian di tubuhmu. Bagaimana aku bisa mempercayaimu?”
Xiau Chen terdiam sejenak, lalu membuka telapak tangannya.
Dari sana, Lonceng Jiwa Abadi berputar perlahan, mengeluarkan cahaya lembut yang menenangkan.
“Aku menyegel sebagian jiwanya. Itulah sebabnya auranya masih tersisa di tubuhku.”
Mata Shi Lin menajam. “Kau… penyegel waktu?”
“Dulu mereka memanggilku begitu,” jawab Xiau Chen tenang.
Keheningan menyelimuti tempat itu.
Namun sebelum Shi Lin bisa berbicara lagi, tanah tiba-tiba berguncang keras.
Dari dalam kolam darah, muncul gelembung besar, lalu dari dalamnya muncul bayangan hitam pekat — bentuk kabut yang menyerupai manusia, dengan dua mata merah menyala.
“Hahaha… jadi inilah tubuh baru yang harus kuambil,”
suara itu bergema dengan tawa mengerikan.
“Aku bisa merasakan kekuatan darah dewa di sini… dan tubuh wanita itu akan menjadi wadah sempurna.”
Shi Lin menegang.
“Tidak… ini salah satu bagian jiwa Mo Tian!”
Xiau Chen menatap kabut itu tajam. “Pecahan kedua…”
Aura Mo Tian semakin kuat, menyelimuti gunung hingga langit berubah menjadi hitam pekat.
Badai darah muncul, memutar di sekitar mereka.
Kabut itu menjerit dan menyerang dengan cepat, berubah menjadi ribuan belalang roh hitam yang berterbangan seperti badai neraka.
Shi Lin membentuk segel di tangannya, memanggil tombak perak dari darah kolam.
Cahaya dewa menyala di ujungnya, menusuk gelombang kabut dengan kekuatan luar biasa.
“Pergi ke neraka, roh kegelapan!” serunya lantang.
Namun belalang-belalang itu menembus cahaya tombaknya, menghantam tubuh Shi Lin.
Ia terhuyung, darah keluar dari bibirnya. Aura suci yang tadi kuat, kini mulai terkoyak.
“Kau tak bisa melawannya sendiri,” kata Xiau Chen sambil maju ke depan.
“Serahkan padaku.”
Shi Lin menatapnya ragu. “Tapi jika kau terlalu dekat, Mo Tian bisa masuk ke dalam jiwamu.”
Xiau Chen tersenyum samar. “Biarkan dia mencoba.”
Ia mengangkat tangannya tinggi-tinggi.
Lonceng Jiwa Abadi bergetar keras, mengeluarkan suara dentang yang mengguncang alam.
Dentang pertama — waktu melambat.
Dentang kedua — gelombang spiritual membentuk lingkaran cahaya di sekeliling mereka.
Dentang ketiga — darah yang berputar di udara berhenti, dan kabut hitam itu berteriak.
“Tidak! Kekuatan itu… kekuatan waktu! Kau tak seharusnya masih bisa—!”
Sebelum ia sempat menyelesaikan kalimatnya, cahaya keemasan dari lonceng itu melesat, menembus inti kabut hitam dan menyegel sesuatu di dalamnya.
Namun berbeda dari segel pertama, kali ini segel itu tidak tenang — ia bergetar, menolak diserap sepenuhnya.
“Hahaha! Kau pikir aku akan menyerah semudah itu, Xiau Chen?”
“Aku sudah mencampurkan jiwaku dengan darah dewa di sini! Bahkan kau pun tak bisa menghapusku!”
Cahaya merah menyebar di kolam, darahnya mendidih.
Shi Lin berteriak, “Dia mencoba menyatu dengan sumber darah! Jika itu terjadi, seluruh gunung akan meledak!”
Xiau Chen menatap kolam itu dalam.
“Maka aku harus menghentikannya sekarang.”
Ia menutup matanya, menarik napas panjang.
Udara di sekitarnya berubah — dingin, sunyi, dan berat.
“Teknik Rahasia — Segel Jiwa Abadi.”
Cahaya putih keluar dari tubuhnya, menutupi seluruh lembah.
Tulang-tulang di tubuhnya berderak, seolah kekuatannya sendiri menolak teknik itu.
Tapi ia tetap berdiri tegak, mengangkat loncengnya tinggi.
Suara dentang keempat terdengar, dan semua warna di dunia lenyap.
Hanya hitam dan putih yang tersisa.
Ketika cahaya kembali, kolam darah telah membeku menjadi kristal merah.
Kabut hitam menghilang, dan di tengah kolam, mengapung sebuah batu darah berbentuk bulat — berdenyut seperti jantung hidup.
Shi Lin berlutut, napasnya tersengal. “Apa itu…?”
Xiau Chen menatap batu itu dengan mata tenang.
“Itu pecahan kedua jiwa Mo Tian yang telah menjadi satu dengan darah dewa. Kini, ia terkunci di antara kehidupan dan kematian.”
Ia menjulurkan tangan, mengambil batu itu. Begitu disentuh, kilatan cahaya menyilaukan muncul — dan seketika, ribuan gambar masa lalu melintas di kepalanya.
Ia melihat peperangan antara para dewa.
Ia melihat Mo Tian bukan sebagai iblis, tapi sebagai salah satu dewa yang dikutuk oleh langit karena mencuri Rahasia Kehidupan Abadi.
Dan ia melihat dirinya sendiri — berdiri di antara keduanya, menahan pedang di tangan, memohon agar pertarungan itu berhenti.
Namun semuanya berakhir dengan darah.
Xiau Chen tersentak, kembali ke kenyataan.
Shi Lin menatapnya khawatir. “Kau baik-baik saja?”
“Aku melihat sesuatu…” bisiknya.
“Mo Tian dulunya adalah Dewa Cahaya, penguasa kehidupan. Tapi dia dikutuk oleh langit karena melanggar batas waktu. Itulah sebabnya jiwanya tidak bisa mati.”
Shi Lin terdiam lama. “Kalau begitu… kau melawan sesuatu yang bahkan langit pun gagal menghancurkan.”
Xiau Chen menatap langit yang kini cerah perlahan.
“Kalau langit gagal, maka aku akan menjadi langit itu.”
Ia menatap batu darah di tangannya, lalu memasukkannya ke dalam ruang spiritual tubuhnya.
“Dua pecahan telah tersegel,” suara Kitab Kuno terdengar lembut.
“Masih tersisa tiga lagi. Tapi hati-hati, Xiau Chen. Setiap kali kau menyegel satu, jiwamu semakin retak.”
Xiau Chen hanya tersenyum samar.
“Jika jiwaku harus retak demi menjaga dunia ini, biarlah begitu.”
Shi Lin menatapnya lama, lalu menunduk hormat.
“Mulai hari ini, Penjaga Darah Dewa akan berjalan di sisimu, Pendekar Suci.”
Xiau Chen menatapnya. “Aku tak butuh pengikut.”
“Bukan pengikut,” jawab Shi Lin, tersenyum samar.
“Sekutu.”
Malam turun lagi di Gunung Awan Merah.
Kolam darah telah membeku menjadi kristal merah abadi.
Dan di kejauhan, di balik awan hitam, dua mata raksasa tampak terbuka di langit, memperhatikan Xiau Chen dari balik celah dunia.
“Kau semakin dekat, Pendekar Suci…”
“Tapi setiap langkahmu hanya membawamu pada kebenaran yang takkan sanggup kau terima.”
Suara itu lenyap, digantikan angin yang membawa aroma darah dan hujan.
Xiau Chen berdiri di puncak gunung, menatap jauh ke utara.
“Langit berikutnya… Ranah Dewa Palsu,” gumamnya.
“Dan di sanalah pecahan ketiga menunggu..