Setting Latar 1970
Demi menebus hutang ayahnya, Asha menikah dengan putra kedua Juragan Karto, Adam. Pria yang hanya pernah sekali dua kali dia lihat.
Ia berharap cinta bisa tumbuh setelah akad, tapi harapan itu hancur saat tahu hati Adam telah dimiliki Juwita — kakak iparnya sendiri.
Di rumah itu, cinta dalam hati bersembunyi di balik sopan santun keluarga.
Asha ingin mempertahankan pernikahannya, sementara Juwita tampak seperti ingin menjadi ratu satu-satunya dikediaman itu.
Saat cinta dan harga diri dipertaruhkan, siapa yang akan tersisa tanpa luka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IAS, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kejutan 33
Hiks hiks
Tangis Sugi tak kunjung berhenti. Ya sudah dari semalam dia menangis saat suami yang ditunggunya tidak juga datang. Kelompok yang berpisah telah pulang lebih dulu dan mengatakan mereka tidak menemukan apa-apa. Kabar itu cukup membuat hati dan pikiran Sugi semakin kacau.
"Duuuh kalau seperti ini terus, rumah benar-benar akan kacau," ucap Juwita dalam hati. Dia tidak suka melihat ibu mertuanya itu menangis terus seperti ini. Jika dikata sedih, ya pastilah sedih akan tetapi Juwita merasa bahwa Sugi sudah berlebihan. Dari malam hingga pagi wanita itu tidak berhenti menangis dan itu cukup mengganggu tidurnya.
Juwita secara perlahan pun memundurkan langkahnya dan pergi dari kamar Sugi. Ia berjalan menuju ke dapur dimana dapur pun tampak sepi.
"Huh sial! Aku lapar sekali tapi tidak ada yang memasak. Apa mereka tidak melakukan pekerjaan mereka? Meski ada orang mati sekalipun, bukankah kehidupan orang lain harus berjalan," kesal Juwita.
Juwita mencoba mencari-cari sesuatu yang ada di dapur, namun tak ada apapun yang bisa dimakan. Rasa kesalnya pun semakin menjadi-jadi. Dengan langkah cepat dia menuju ke tempat dimana para pembantunya berada.
"Sebenarnya kalian itu niat kerja tidak hah? Mengapa tidak melakukan pekerjaan kalian dengan baik?" ucap Juwita marah, kedua alisnya berkerut dan nafasnya sedikit memburu.
"Non? Non Juwita mau apa memangnya?" sahut salah satu pembantu, wajahnya pucat melihat kemarahan Juwita yang belum pernah mereka lihat sebelumnya.
"Ya kalian lakukan pekerjaan seperti biasa lah. Jangan karena di rumah ini sedang ada kemelut, kalian ikut larut juga. Aku ke dapur tapi tidak menemukan apapun untuk dimakan. Kalian juga tahu kan kalau sekarang aku sedang hamil, seharusnya kalian tetap menjaga asupan makanan ku," Juwita berkata demikian sambil melipat tangannya kedepan dada. Ya dia tak lagi merasa harus menjaga ekspresi wajahnya saat ada di situasi seperti ini.
Sebagai nyonya rumah ini sudah sewajarnya dia memberi teguran kepada para pekerja yang tidak melakukan pekerjaannya dengan baik. Itulah yang dipikirkan oleh Juwita sekarang.
"Oh itu Non, kami sudah menyelesaikannya kok. Non Juwita lihat saja di meja makan. Kami sudah menyiapkan makanan seperti biasa. Kami tidak tahu apa keinginan Juwita, jadi kami memasak seperti yang biasa Nyonya Sugi inginkan untuk sarapan. Dan maaf sekali lagi, untuk pekerjaan lain juga sudah kami selesaikan,"sahut pembantu itu dengan kepala tertunduk.
"Apa?" kaget Juwita. Dia langsung membalikkan badan dan pergi ke ruang makan. Tangannya dengan cepat membuka tudung saji itu, dan benar apa yang diucapkan pembantunya bahwa makanan sudah dimasak dan disajikan.
"Ughhh sialan!" umpat Juwita. Sepertinya dia sangat malu sekarang. Tapi bukan Juwita jika tidak bisa membalik keadaan.
Sambil memegangi perutnya, wanita itu kembali ke tempat para pembantu tadi berada.
"Aku tidak tahu kalau kalian sudah menyelesaikan pekerjaan. Maaf ya aku jadi marah-marah. Situasi rumah sangat kacau, aku sedang hamil jadi semuanya terasa sangat tidak terkendali. Aku sangat sedih dengan Adam dan Asha yang belum ditemukan. Bahkan bapak juga belum pulang mencari mereka. Lalu Ibu, ibu menangis terus. Rasanya benar-benar kacau,"ucap Juwita dengan menampilkan wajah sedihnya.
Sontak hal tersebut membuat para pembantu itu merasa iba. Mereka yang sempat bingung dengan sikap Juwita yang tiba-tiba berkata kasar dan marah itu kemudian menjadi maklum.
"Tidak apa-apa Non, kami mengerti apa yang Non Juwita rasakan. Sekarang Non Juwita makan dulu saja, bagaimanapun Non Juwita sedang hamil jadi harus makan dengan baik. Kalau Non Juwita ingin makanan yang lain, bilang saja kepada kami nanti akan kami buatkan,"ucap pembantu itu.
"Baiklah, terimakasih ya sudah memaklumiku,"kata Juwita.
Wanita itu tersenyum lalu pergi, tentu saja dia tersenyum lebar karena berhasil membuat para pembantu itu percaya dengan apa yang dia ucapkan. Padahal sebenarnya dia sama sekali tidak peduli ucapan para pembantunya.
Bagi Juwita hanyalah agar dirinya tetap dipandang bijak. Ia tidak boleh menunjukkan celah barang sedikit pun di depan para pekerja rumah ini sebelum dirinya menjadi nyonya rumah yang sesungguhnya.
"Lho Mas, ku pikir kamu ke perkebunan?" Juwita merasa heran melihat suaminya yang tengah duduk dan menikmati sarapannya. Untuk ukuran seorang kakak yang adiknya belum diketahui kondisinya, Bimo tampak sangat tenang.
Meskipun Bimo pernah berkata bahwa harus ada orang yang bisa berpikir dengan tenang dan bijak saat situasi yang kacau begini, tetap saja Juwita merasa aneh kepada suaminya tersebut.
"Nanti setelah ini. Ada apa tadi kudengar kamu marah-marah,"sahut Bimo. Rupanya dia mendengar ketika Juwita memarahi para pembantu kediaman Darsuki.
"Biasalah, para pembantu itu kulihat mereka tidak bekerja dengan baik. Ya rumah ini kacau karena Adam dan Asha belum ketemu, tapi seolah semua ikut berhenti,"jawab Juwita. Dia lalu mengambil makanan dan ikut bergabung untuk sarapan bersama Bimo.
"Nah kan, aku bilang juga apa. Harus ada orang yang berpikir sehat di saat seperti ini. Makanya aku kelihatan tenang. Siapa yang tidak khawatir dengan kondisi adik sendiri yang belum jelas. Tapi, bagaimanapun pekerjaan tidak boleh mandek. Itu juga akan memiliki hasil yang buruk,"papar Bimo.
Juwita menganggukkan kepalanya mengerti. Memang benar bahwa semua yang ada harus berjalan sebagai mana mestinya. Jika berhenti karena kesedihan yang menumpuk, maka akan berpengaruh pada keberlangsungan hidup.
"Ya aku mengerti, Mas. Ah iya, kamu sudah memeriksa ibu? Apa ibu masih menangis?" tanya Juwita.
"Iya sudah, ibu sudah tidak menangis. Sekarang dia sedang tidur, mungkin ketiduran karena kelelahan menangis,"sahut Bimo.
Setelah merasa tidak ada lagi yang ingin dibicarakan mereka berdua kembali makan dengan tenang. Juwita tidak makan banyak karena perutnya seolah menolak.
Keduanya mengakhiri sarapan mereka bersama. Bimo memutuskan untuk pergi ke perkebunan, sedangkan Juwita ingin mengantar Bimo sampai ke luar.
Mereka berjalan bersama dalam dia. Dan sesampainya di teras, baik Bimo maupun Juwita terkejut bukan main.
Pemandangan yang ada di depan mereka itu adalah pemandangan yang entah bagaimana mereka bisa gambarkan.
"Ya Allah, Den Adam, Non Asha, syukurlah kalian selama. Semuanya, Den Adam dan Non Asha pulang!!'
Alhamdulillah!!
TBC
Tetap waspada dan peka dengan sekitar ya dam asha!