NovelToon NovelToon
Butterfly

Butterfly

Status: sedang berlangsung
Genre:One Night Stand / Cinta Beda Dunia / Diam-Diam Cinta / Cinta pada Pandangan Pertama / Mengubah Takdir / Identitas Tersembunyi
Popularitas:382
Nilai: 5
Nama Author: Kelly Astriky

Kelly tak pernah menyangka pertemuannya dengan pria asing bernama Maarten akan membuka kembali hatinya yang lama tertutup. Dari tawa kecil di stasiun hingga percakapan hangat di pagi kota Jakarta, mereka saling menemukan kenyamanan yang tulus.

Namun ketika semuanya mulai terasa benar, Maarten harus kembali ke Belgia untuk pekerjaannya. Tak ada janji, hanya jarak dan kenangan.

Apakah cinta mereka cukup kuat untuk melawan waktu dan jarak?
Atau pertemuan itu hanya ditakdirkan sebagai pelajaran tentang melepaskan?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kelly Astriky, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Eps. 5 Tarima Kasi

Jam menunjukkan pukul sembilan malam saat kami akhirnya berdiri meninggalkan bangku kayu itu. Kopi telah habis, tapi kenangan kecil yang tercipta malam itu seolah baru saja dimulai. Kami kembali melangkah, tanpa peta, tanpa tujuan pasti, hanya membiarkan kaki membawa kami ke mana pun rasa nyaman ini ingin tinggal lebih lama.

Udara mulai sedikit lembab, seperti kota yang ingin bersiap untuk tidur. Tapi kami belum ingin berhenti. Jalanan yang kami lewati semakin sepi, tapi tawa kami tidak. Seolah ada kehangatan yang tumbuh setiap kali langkah kami beriringan.

Saat memasuki sebuah pemukiman sederhana di sudut Jakarta, kami melihat sekelompok anak muda duduk melingkar. Mereka tengah asyik bermain gitar dengan nyanyian kecil terdengar mengisi udara. Lampu jalan terlihat kuning temaram, menciptakan bayangan lembut di wajah mereka yang tampak lelah tapi bahagia.

Ketika kami berjalan, alangkah terkejutnya kami. Mereka berteriak.

"HALLO MISTER"

Dan Marteen pun terlihat kaget. Dia menyapa sekumpulan anak muda itu dengan melambaikan tangannya dan mengatakan.

"HALLO"

Aku tertawa kecil. Bukan karena mengejek, tapi karena ada kebahagiaan yang sederhana dalam momen itu. Sebuah sapaan hangat dari orang asing, yang dijawab dengan spontan oleh mereka yang bahkan tidak tahu siapa kami.

"Kelly, mengapa mereka menyapaku seperti itu?"

"Maarten, jangan khawatir. Mereka menyukaimu. Kamu diterima dengan baik disini. Dan ya, jika nanti ada yang menyapamu lagi, kamu bisa mengatakan Terima kasih. Mereka akan lebih menyukaimu"

"Apa tadi? Tarima nasi?

"Haha, bukan. Terima Kasih"

"Tarima kasih"

Maarten menirukannya, perlahan, seperti anak kecil yang sedang belajar berbicara untuk pertama kali.

"TERI-MA KAA-SIH"

"Ya, benar. Kamu pintar!!"

Dan Maarten pun berteriak dengan sangat bangga.

"Yesss akhirnya aku bisa mengatakan ini. Tapi, apa artinya ini?"

"Thank you"

"Oh yeah, terima kasih..thank you..... Terima kasih.... Thank you"

Tawa kami masih tersisa di udara, seperti jejak langkah kecil yang enggan menghilang.

Maarten masih menirukan kata-kata Indonesia dengan logat lucunya, dan aku tak berhenti tersenyum.

Aneh ya…

Baru beberapa jam aku mengenalnya, tapi rasanya seperti sudah tahu caranya membuat aku nyaman.

Seolah dia datang bukan sekadar untuk berlibur, tapi membawa sesuatu yang selama ini hilang dariku.

Kami berjalan lagi.

Langkah kami tidak terburu-buru. Jalanan sempit itu diterangi lampu jalan yang temaram, dan suara jangkrik dari kejauhan terdengar samar.

Beberapa rumah sudah mematikan lampunya, tapi ada warung kecil yang masih buka, penjual gorengan duduk mengantuk di sudut gang.

Maarten menoleh padaku.

“Kamu tau… ini pertama kalinya aku merasa seperti bukan turis”.

Dia tidak sedang bercanda. Matanya tenang, seolah sedang berkata jujur dari tempat terdalam dirinya.

"Kenapa?"

"Mereka semua menyapaku, padahal aku tidak mengenal mereka. Dan aku sangat senang"

Maarten mengambil napas pelan, lalu berbisik :

“Apakah semua malam di Indonesia seindah ini? Atau hanya karena ada kamu?”

Kalimatnya membuat jantungku melambat, lalu berdetak lebih keras.

Bukan karena rayuan itu terlalu manis, tapi karena ia mengatakannya tanpa maksud membuatku luluh.

Dia hanya jujur.

Dan kejujuran yang tidak dibuat-buat adalah hal yang paling sulit kutolak.

Aku tidak menjawab. Tapi aku menatap langit.

Bulan masih sama. Tapi malam ini, ia terlihat lebih terang.

Dan benar saja, ketika kami berjalan lebih jauh lagi. Ada sekumpulan orang baru menyapa kami lagi. Mereka tersenyum riang dan mengatakan HALLO.

Kali ini lebih ramai, lebih antusias. Beberapa dari mereka bahkan mengangkat tangan, tersenyum lebar, dan satu orang berseru, “Welcome to Indonesia!”

Maarten terkejut, tapi kali ini dia sudah siap. Dia membalas dengan semangat.

“Hallo! Terima kasih!” katanya, dengan aksen lucu yang membuatku tertawa setengah mati.

Aku menatapnya dengan tawa tertahan, dan Maarten langsung melirikku bangga seperti anak kecil yang baru saja berhasil mengucapkan kata sulit.

"Bagus!" kataku sambil mengacungkan jempol. "Kamu sudah mulai fasih."

"Ya, tapi aku rasa aku perlu guru bahasa Indonesia yang lebih sabar..."

Dia menatapku dengan mata nakal.

"Dan kamu tahu, aku tidak pernah disapa seperti ini di negaraku. Tidak oleh orang asing, tidak juga oleh orang yang sekedar lewat."

Aku terdiam sejenak. Bukan karena tak tahu harus menjawab apa, tapi karena tiba-tiba saja aku merasa bangga. Bukan hanya pada diriku sendiri, tapi pada kota ini. Pada negara ini.

Dan pada malam yang entah kenapa, terasa seperti rumah.

Kami terus melangkah. Menyusuri sisi jalan dengan deretan kios yang setengah tutup. Di kiri kanan kami, lampu dari minimarket dan tukang martabak masih menyala terang, membuat malam terasa hangat dan tidak tergesa.

Seseorang menyetel lagu lawas dari radio tua, samar samar terdengar liriknya tentang cinta yang belum selesai, tentang seseorang yang menunggu dalam diam.

Langit malam di atas kami terlihat jernih, dan angin mulai terasa lebih lembut.

Seperti menyentuh kami dengan perasaan yang tidak bisa dijelaskan.

Aku tidak tahu ke mana kami akan berakhir malam ini.

Tapi untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, aku tidak peduli.

Karena entah kenapa, setiap langkah bersamanya selalu terasa seperti sedang menuju sesuatu, meski aku sendiri belum tahu itu apa.

Lalu tiba-tiba, di antara obrolan ringan dan candaan kecil, Maarten menoleh padaku dan bertanya dengan mata berbinar.

“Kelly, kamu suka main bilyar?”

Aku mengernyit pelan, lalu tertawa kecil.

“Bilyar? Aku… nggak bisa,” jawabku jujur.

Wajahnya langsung tampak seperti anak kecil yang baru menemukan ide seru.

“Justru itu!” katanya bersemangat.

“Aku bisa mengajarimu. Ayo, kita main!”

Aku langsung menggeleng cepat.

“Tidak, Maarten. Aku tidak bisa. Aku takut membuatmu malu”

Dia tidak menyerah. Matanya tetap menatapku, penuh keyakinan, seperti seseorang yang sangat yakin bahwa hal kecil pun bisa jadi momen menyenangkan asal dilakukan bersama.

“Tidak ada yang perlu kamu takuti. Aku akan mengajarimu pelan-pelan. Kalau kamu jatuh, aku yang akan menangkapmu.”

Dia tertawa sendiri mendengar kalimat itu. “Maksudku… secara teknis, bukan benar-benar jatuh.”

Aku ikut tertawa, tapi masih ragu.

Bagiku, tempat seperti arena bilyar terdengar asing. Tapi di matanya, semuanya terasa mungkin.

Dan entah kenapa, aku ingin mencoba.

Bukan karena ingin belajar bilyar… tapi karena ingin memperpanjang waktu bersamanya.

Akhirnya aku mengangguk pelan.

“Oke. Tapi jangan tertawakan aku kalau aku salah ya.”

“Never,” katanya sambil mengangkat dua jari seperti bersumpah. “Aku pelatih yang sabar.”

Kami berhenti di pinggir jalan, dan Maarten dengan cekatan memesan Grab dari ponselnya.

Tak butuh waktu lama, mobil datang, dan kami masuk ke dalamnya.

Di dalam mobil, lampu kota berlarian di kaca jendela. Jalanan masih hidup, beberapa kendaraan melaju cepat, suara tawa dari orang yang lewat, dan lampu reklame yang berganti warna.

Aku melirik ke arah Maarten yang sedang memandang ke luar, tampak menikmati setiap detik di negara asing ini.

Dia tidak bertanya kenapa aku mau ikut. Dia juga tidak memaksa untuk tahu.

Dia hanya tersenyum dan membiarkanku memilih untuk tetap ada di sisinya.

Dan malam pun berlanjut, membawa kami ke tempat yang bahkan belum sempat kami bayangkan sebelumnya.

Bukan sekadar tempat bermain bilyar, tapi mungkin, tempat di mana dua orang belajar, bahwa mengenal satu sama lain butuh lebih dari sekadar percakapan.

Butuh keberanian untuk mencoba hal-hal kecil bersama.

1
Kelly Hasya Astriky
sangat memuaskan
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!