Nama besar - Mykaelenko... bukan hanya tentang kekayaan.
Mereka mengendalikan peredaran BERLIAN
— mata uang para raja,
Juga obsesi para penjahat.
Bisnis mereka yang resmi. Legal. Tak bernoda
— membuat mereka jauh lebih berbahaya daripada Mafia Recehan.
Sialnya, aku? Harus Nikah kilat dengan Pewarisnya— Dimitry Sacha Mykaelenko.
Yang Absurdnya tidak tertolong.
•••
Namaku Brea Celestine Simamora.
Putri tunggal Brandon Gerung Simamora, seorang TNI - agak koplak
- yang selalu merasa paling benar.
Kami di paksa menikah, gara-gara beliau yakin kalau aku sudah “di garap” oleh Dimitry,
yang sedang menyamar menjadi BENCONG.
Padahal... sumpah demi kuota, aku bahkan tak rela berbagi bedak dengannya.
Apalagi ternyata,,,
Semua cuma settingan Pak Simamora.
⛔ WARNING! ⛔
"Cerita ini murni fiksi, mengandung adegan ena-ena di beberapa bab.
Akan ada peringatan petir merah di setiap bagian — Anu-anu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yuni_Hasibuan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mode Reog Simamora
***
Kim Jun Hwan agak kaget,,, karena setahunnya, berdasarkan laporan, Dimitry paling malas berurusan dengan segala urusan penjagaan. Dia gak peduli.
"Kenapa tuan bertanya?"
"Aku cuma mau tau seperti apa wajah musuhku. Jadi, kalau pun aku mati, aku gak akan mati penasaran." Ucap Dimitry datar.
“Mereka tidak akan bisa menyentuh Anda. Selama kami masih hidup.”
Kim Jun Hwan menjawab mantap, nyaris seperti janji suci.
“Jangan Takabur. Pernah dengar kata itu, kan? Takdir bukan di tangan kalian.”
“Kami hanya berusaha sekuat mungkin.”
Yang menjawab sekarang ini bukan Kim, tapi Yannick. Bule itu ternyata ngerti Bahasa Indonesia juga.
“Jadi... siapa dia? Orang yang pengin aku mati saat ini?”
Yannick menatap lurus ke arah Dimitry, lalu berkata pelan.
“Namanya Renggo. Dia lebih buruk daripada kabar kematian.”
Dimitry hanya mengangguk kecil.
“Owhh.”
Tanpa ekspresi. Seolah kabar itu cuma sebutir pasir lain dalam hidupnya yang sudah terlalu penuh debu.
Tiba-tiba ponselnya berbunyi. Nama Raffael muncul di layar.
“Dede, di depan rumahmu ada bapak-bapak norak lagi nyamar jadi pengemis. Tanya tuh, ke antek-antek ayahmu, itu orangnya mereka apa bukan? Kalau bukan, sekalian ku ringkus bawa ke kantor polisi.”
Dimitry melirik ke arah dua orang pengawalnya. Keduanya langsung menggeleng pelan. 'Bukan bagian dari mereka.'
Dimitry berdiri pelan. Awalnya cuma diam di tempat, mikir.
Lalu langkahnya mengarah ke jendela.
Iseng. Tapi ada rasa penasaran juga.
Dan...
Begitu matanya nyangkut ke sosok yang lagi duduk di seberang jalan, pakai jaket buluk, topi butut, duduk nunduk kayak ngemis tapi auranya kayak mau nyulik presiden...
Muka Dimitry langsung nge-freeze.
Matanya membesar. Nafasnya mandeg sepersekian detik.
“Gila... itu dia?”
Jantungnya langsung ngibrit.
Ada rindu. Ada heran. Ada marah. Ada pengin lempar sendal juga.
Campur aduk pokoknya. Seolah otaknya baru aja dilempar ke dalam blender.
“Dede? Kok diam? Orang itu bukan suruhan ayahmu ya? Tak tangkap aja sekalian?” Tanya Raffael heran.
“Coba aja tangkap. Tapi jangan nangis kalau kamu dikurung di penjara militer.”
Suara Dimitry terdengar ringan. Tapi senyumnya... bukan senyum biasa.
“HOLY SHIT!!”
Raffael langsung teriak panik dari seberang telepon.
“Jadi dia LEBIH BAHAYA dari antek-antek ayahmu?! Sudah ya, aku pergi dulu. BYE!!”
Klik.
Telepon di putus, Raffael langsung cabut gak pakek mikir dua kali.
"Siapa dia, Tuan? Saya asumsikan... Anda pasti kenal?" tanya Yannick, bingung saat melihat ekspresi Dimitry berubah-ubah — padahal sedari tadi, muka Dimitry selalu datar.
"Udah, jangan banyak tanya. Cepat enyah. Dia itu hadiah dari Tuhan, karena seminggu ini aku sudah jadi anak baik," gumam Dimitry, matanya tak lepas menatap sosok pengemis gadungan di luar pagar.
Prajurit-prajurit elit yang ditugaskan ayah Dimitry segera menghilang tanpa suara, seolah tau diri.
Sementara Dimitry buru-buru ngaca. Rambut? Oke. Wajah? Aman. Bau mulut? Dicek pakai tangan. Siap!
Dia mood banget mau menemui sosok pengemis yang terhormat.
Sementara di luar pagar, yang di kira sang "pengemis" ternyata adalah Letkol Brandon Gerung Simamora.
"Woy, tolong pastikan lagi deh! Masa iya, lokasi GPS terakhir anakku ada di sini? Yang betul aja kalian!" bentaknya pada seseorang di seberang telepon, yang lagi diminta melacak keberadaan Brea.
Yup, Brea hilang sejak tadi malam. Pamitan cuma mau ketemu klien pas bakda Isha. Tapi jam 12 malam lewat malah belum pulang. HP-nya mati, dan semua insting militer Pak Simamora langsung on. Mode Reog Singo Barong pun aktif.
Lapor polisi? Gak guna. Belum 24 jam Brea hilang.
Akhirnya dia turun tangan sendiri, pakai koneksi kemiliteran. Dan GPS Brea... malah muncul di rumah ini. Rumah besar nan mencolok, kayak hotel bintang tujuh. Pak Simamora langsung pengen ngunyah rumput saking frustasinya dia.
"Pak, kami udah cek berkali-kali. Ponsel mbak Brea masih aktif di situ. Titiknya gak bergerak dari setengah jam lalu. Dia masih di dalam," jelas suara di seberang, pelan tapi pasti.
Pak Simamora telan ludah kasar. Tatapannya menyapu rumah megah itu. Dalam hati bertanya, 'Anak gadisku ngapain di tempat beginian?'
"Kalian tau ini rumah siapa?" tanyanya curiga.
Yang di seberang sempat diam, lalu akhirnya buka suara.
"Ehm... rumah Dimitry Sacha Mykaelenko, Pak. Yang artis itu. Selebriti top."
Pak Simamora refleks mencak-mencak.
"Lah terus, kalian tau itu rumah artis? Tapi malah bilang anak ku nginep di situ semalaman? Jangan mengada-ada, lah?"
"Kami gak berani ngada-ada, Pak. Tapi... teknologi gak bisa bohong. Sekarang giliran Bapak sendiri yang pastikan," jawab suara itu, masih tenang.
Pak Simamora tarik napas. Logikanya bilang semua ini absurd.
Tapi karena keselamatan anak gadisnya dipertaruhkan, Pak Simamora gak bisa ragu terlalu lama. Ia matikan telepon, lalu pelan-pelan buka pintu pagar dan mulai menyusup masuk sambil mengamati rumah besar itu dengan mata waspada — layaknya pasukan intai lagi turun gunung.
Sayangnya, misi penyusupan itu gagal total.
Karena belum sempat ngintip-ngintip lebih jauh, pintu utama rumah justru sudah terbuka duluan.
Dan di sana, berdiri Dimitry... lengkap dengan senyum manis yang terlalu ramah untuk situasi genting kayak gini.
"Selamat pagi, Pak Letkol Brandon Gerung Simamora," ucap Dimitry ringan, seolah menyambut tamu kehormatan.
Pak Simamora langsung nge-freeze. Kaget, kagok, sekaligus jengkel karena strategi penyergapannya bubar jalan bahkan sebelum mulai.
"Pa… pa… pagi. Kamu kenal saya?" tanyanya kaku. Niatnya sih mau galak, tapi senyum Dimitry yang kayak model iklan pasta gigi itu malah bikin gugup sendiri.
"Mana mungkin saya lupa sama penyelamat saya... waktu di Aceh dulu," jawab Dimitry, kalem dan tanpa basa-basi.
Wajah Pak Simamora langsung berubah.
Shock. Basi..
Dalam hatinya, dia langsung mikir, “Lah, ini artis kaliber internasional, kok bisa kenal aku? Dan... Aceh?”
Itu kejadian udah lama banget. Bahkan dia sendiri nyaris lupa. Tapi Dimitry nyebutnya dengan yakin dan tenang — seolah momen itu baru kejadian kemarin sore.
"Aceh? Kamu pernah ke Aceh?" tanya Pak Simamora, makin ragu dan penasaran.
Dimitry mengangguk mantap. Tapi sadar juga kalau dia gak bisa biarin Pak Simamora kebingungan lebih lama di depan pintu.
"Ayo masuk dulu, Pak. Gak enak ngobrol di luar. Saya juga gak mau di cap jadi anak kurang ajar," ucap Dimitry sambil mempersilakan masuk.
Pak Simamora masih mikir keras, tapi kakinya sudah jalan duluan.
Karena siapa tau... Anak gadis kesayangannya beneran ada di dalam.
Bisa masuk dari pintu depan, ngapain masuk lewat jendela. Iya kan?
***