Albar tak bisa terpisahkan dengan Icha. Karena baginya, gadis itu adalah sumber wifinya.
"Di zaman modern ini, nggak ada manusia yang bisa hidup tanpa wifi. Jadi begitulah hubungan kita!" Albar.
"Gila ya lo! Pergi sana!" Icha.
Icha berusaha keras menghindar Albar yang tak pernah menyerah mengejar cintanya. Bagaimana kelanjutan cerita mereka?
*Update setiap hari.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Auraliv, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5 - Menyangkal
Sudah tiga hari sejak Albar ‘menghilang’ dari kehidupan Icha. Bukan benar-benar pergi, tapi… menjauh. Diam. Tak lagi mengekor. Tak lagi nyebelin. Tak lagi hadir dengan sejuta gombalan absurd dan teh manis tanpa diminta.
Dan anehnya, Icha merasa hari-harinya jadi lebih… kosong.
Tapi dia tak mau mengakuinya.
“Akhirnya hidup gue normal juga,” kata Icha pada Dinda sambil membuka buku di kelas.
Dinda menatapnya dari atas buku novel yang ia baca. “Lo yakin lo seneng?”
“Yakin banget,” jawab Icha cepat. “Sekarang gue bisa jalan ke sekolah tanpa ditungguin, duduk tanpa diganggu, istirahat tanpa dikejar minuman. Tenang.”
“Tenang atau sepi?”
Icha mendengus. “Din, lo tuh jangan mulai deh. Gue gak peduli sama Albar. Gue gak rindu. Gue cuma… menikmati kebebasan.”
Tapi bahkan saat berkata begitu, matanya sempat melirik ke bangku belakang. Kosong. Albar belum datang.
Lagi.
Saat jam istirahat, Rayan mendekatinya di kelas.
“Cha, lo udah makan?”
“Belum. Mau ke kantin.”
“Mau bareng?”
Icha mengangguk. Lumayan, pikirnya. Kalau bisa ngobrol lebih banyak dengan Rayan, mungkin pikirannya bisa berhenti mikirin hal-hal gak penting. Seperti... cowok aneh yang hobi manggil dia modem hidup.
Mereka duduk di meja kantin yang biasa. Dinda duduk di depan, pura-pura sibuk dengan HP-nya.
“Gue seneng bisa sebangku sama lo,” kata Rayan sambil menyeruput es teh.
Icha tersenyum tipis. “Lo tuh cowok pertama yang bilang gitu tanpa manggil gue ‘sinyal wifi’.”
Rayan tertawa. “Gue juga gak ngerti kenapa si Albar suka banget pake istilah kayak gitu.”
“Gue juga gak ngerti kenapa dia suka banget sama gue,” balas Icha cepat, defensif.
Rayan menatapnya beberapa detik. “Mungkin karena lo beda.”
Icha mengangkat alis. “Beda gimana?”
“Gue gak tau pasti. Tapi kadang… cowok bisa jatuh cinta sama hal-hal aneh yang gak bisa dijelasin. Kayak rasa nyaman, walau dari hal paling nyebelin.”
Icha tercekat. Kalimat itu anehnya justru mengingatkan dia pada Albar.
Ia buru-buru mengalihkan pandangan.
“Gue gak ngerti cara pikir dia. Udah digasak, dimaki, dicuekin—tetap balik lagi. Kayak lem.”
“Atau... kayak sinyal wifi yang gak pernah benar-benar pergi dari jangkauan.”
Icha mendadak diam.
Lalu buru-buru menggigit bakwan di piringnya, pura-pura sibuk mengunyah.
Bukan. Bukan rindu. Cuma terganggu kebiasaan berubah.
Di ujung taman belakang sekolah, Albar masih sering nongkrong dengan gitar. Tapi bedanya, sekarang dia tidak lagi mencari cara untuk muncul di hadapan Icha. Dia hanya duduk, diam, memetik lagu-lagu pelan yang tidak pernah dia perdengarkan pada siapa pun.
Rio menghampiri sambil bawa dua kotak susu cokelat.
“Lo yakin mau lanjut kayak gini?” tanya Rio sambil menyerahkan satu kotak.
Albar mengangguk. “Gue gak mau maksa dia lagi. Dia bahagia tanpa gue.”
“Lo ngeliat dia bahagia beneran?”
Albar terdiam. Ia memang melihat Icha tertawa bareng Rayan. Tapi entah kenapa… tawanya terdengar beda. Seperti tawa yang dipaksakan—atau mungkin itu hanya pikirannya sendiri.
“Gue gak tau,” gumamnya.
Rio menepuk punggungnya. “Kalau lo yakin ini yang terbaik, ya gue dukung. Tapi kalau lo cuma takut ditolak terus… lo gak akan pernah tau ending-nya kayak apa.”
Malam itu, Icha duduk di tempat tidurnya, membuka chat kosong dengan kontak yang bernama: "Albar Gangguan 📶"
Tak ada percakapan sebelumnya. Ia selalu menghapus semua pesan cowok itu tiap hari.
Tapi jari-jarinya berhenti di atas keyboard. Berkali-kali menulis:
“Lo kemana aja?”
“Tumben gak ngeganggu?”
“Gak sakit kan?”
Lalu menghapus semuanya.
Akhirnya, ia hanya mematikan layar ponsel. Menarik selimut. Berusaha tidur.
Tapi yang terlintas di pikirannya justru suara Albar yang sok bijak:
“Capek sih… tapi capek itu bisa hilang kalau sinyalnya stabil.”
Icha menutup mata lebih erat.
“Bukan. Gue gak rindu. Gue cuma... kesel. Karena cowok itu ngilang tanpa pamit.”
Itu aja. Gak lebih.
Tapi dada tetap terasa… aneh.