Dilarang keras menyalin, menjiplak, atau mempublikasikan ulang karya ini dalam bentuk apa pun tanpa izin penulis. Cerita ini merupakan karya orisinal dan dilindungi oleh hak cipta. Elara Nayendra Aksani tumbuh bersama lima sahabat laki-laki yang berjanji akan selalu menjaganya. Mereka adalah dunianya, rumahnya, dan alasan ia bertahan. Namun semuanya berubah ketika seorang gadis rapuh datang membawa luka dan kepalsuan. Perhatian yang dulu milik Elara perlahan berpindah. Kepercayaan berubah menjadi tuduhan. Kasih sayang menjadi pengabaian. Di saat Elara paling membutuhkan mereka, justru ia ditinggalkan. Sendiri. Kosong. Hampir kehilangan segalanya—termasuk hidupnya. Ketika penyesalan akhirnya datang, semuanya sudah terlambat. Karena ada luka yang tidak bisa disembuhkan hanya dengan kata maaf. Ini bukan kisah tentang cinta yang indah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon his wife jay, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
marah?
Di siang hari, tepatnya di area taman sekolah, Kairo terbaring santai di atas rumput hijau yang masih terasa lembap. Ia sendirian. Suasana di sekitarnya begitu tenang—angin sepoi-sepoi berembus pelan, menggoyangkan daun-daun pohon, sementara suara burung terdengar samar bercampur dengan hiruk-pikuk siswa yang hanya sesekali lewat di kejauhan.
Kairo menatap langit biru yang menyilaukan.
“Ugh… panasnya,” gumamnya malas.
Ia mengangkat tangan dan menutup wajahnya, berusaha menghalau sinar matahari yang tepat jatuh ke matanya. Beberapa detik berlalu, tapi rasa gerah itu tak juga hilang. Akhirnya, Kairo mendesah dan bangkit dari tidurnya. Ia duduk bersila di atas rumput, lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling taman.
Pandangan Kairo berhenti pada satu titik.
Sebuah pohon mangga berdiri menjulang tak jauh darinya. Batangnya kokoh, daunnya lebat, dan di antara ranting-rantingnya tampak beberapa buah mangga yang menggantung ranum, berwarna hijau kekuningan.
“Wah… pohon mangga,” ucap Kairo pelan, bibirnya terangkat membentuk senyum miring.
Ia berdiri dan melangkah mendekat, menatap pohon itu dengan penuh ketertarikan, seolah mangga-mangga itu memanggil namanya.
“Boleh kali gue ambil satu,” gumamnya sambil menoleh ke kanan dan kiri, memastikan tak ada guru atau satpam yang lewat. “Sekolah juga nggak bakal rugi.”
Dengan santai, Kairo melepas sepatunya dan menaruhnya di bawah pohon.
Sungguh tidak patuh untuk dicontoh, ya, anak-anak.
Namun, tentu saja, Kairo tidak peduli.
“Lagi pula gue murid di sini,” katanya seolah membela diri. “Berarti ini juga bagian dari hak gue.”
Tanpa ragu, ia mulai memanjat pohon mangga itu dengan hati-hati. Tangannya mencengkeram batang dan dahan dengan cekatan, kakinya bergerak lincah mencari pijakan. Tak butuh waktu lama sampai ia berhasil naik cukup tinggi.
Sesampainya di atas, Kairo berhenti sejenak.
Ia terdiam, matanya memandang pemandangan dari ketinggian. Dari sana, taman sekolah terlihat lebih luas. Angin terasa lebih sejuk, membawa aroma daun dan tanah. Untuk sesaat, Kairo merasa damai—jauh dari keributan kelas, tugas sekolah, dan ocehan sahabat-sahabatnya.
“Lumayan juga,” gumamnya pelan.
Ia lalu meraih salah satu mangga yang tampak paling matang. Dengan gesit, Kairo mengeluarkan pisau kecil dari saku celananya—entah sejak kapan benda itu selalu ia bawa. Ia mengupas kulit mangga itu perlahan, getahnya menempel di jari, aromanya langsung menyebar menggugah selera.
Tanpa berpikir panjang, Kairo menggigit mangga itu.
“Hmm… manis.”
Ia tersenyum puas, menyandarkan punggungnya ke batang pohon sambil terus menikmati mangga curiannya. Sama sekali tak terlintas di pikirannya bahwa sebentar lagi, ketenangan itu akan berakhir—dan satu buah mangga sederhana akan menjadi awal dari sesuatu yang jauh lebih ribet dari yang ia bayangkan.
★★★
Di tempat lain, kelima orang itu sedang bersantai di kantin sekolah. Meja mereka dipenuhi mangkuk mie instan, minuman dingin, dan beberapa bungkus camilan. Suasana cukup ramai, khas jam istirahat, tapi entah kenapa ada satu hal yang terasa janggal.
Ezra berhenti mengunyah permen karetnya, lalu mengedarkan pandangan ke sekitar.
“Guys… kok gue dari tadi nggak lihat si Kai, ya?” ucapnya santai sambil mengunyah.
Leo mendengus, tetap fokus menyuapkan mie ke mulutnya dengan penuh semangat. “Biarin aja. Paling juga lagi ngelantung ke mana-mana. Lo tau sendiri, dia mana bisa diem.”
Elara yang duduk di samping Leo tiba-tiba melirik mangkuk mie di tangan cowok itu. “Eh, gue mau dong, Lele” katanya sambil membuka mulut lebar-lebar, jelas minta disuapin.
Leo langsung refleks menarik mangkuknya menjauh. “Apaan sih, El. Lo manggil-manggil gue lele emang gue ikan? Dan Ini mie khusus buat gue.”
“Pelit banget sih jadi sahabat,” protes Elara sambil mencubit pinggang Leo.
“Akhh! Sakit dong!” Leo meringis, tangannya refleks mengusap pinggangnya.
Belum sempat Leo mengeluh lebih panjang, sebuah mangkuk mie tiba-tiba disodorkan ke depan Elara.
“Makan,” ucap Arsen singkat.
Elara menoleh. “Eh, nggak apa-apa kok. Aku cuma bercanda. Makan aja, Nio. Kamu pasti lapar.”
“Makan, El,” ulang Arsen dengan nada lebih dalam, nyaris menekan.
Elara mendecak pelan. “Ckk, maksa banget,” gumamnya. Tapi pada akhirnya, ia tetap mengambil mangkuk itu dan mulai makan.
“Sok banget nggak mau,” celetuk Leo. “Tapi pas diambil, lahap banget.”
Arsen hanya tersenyum tipis melihat Elara makan dengan pipi sedikit mengembung.
“Diem lo, ikan lele,” balas Elara dengan mulut penuh mie.
Kaizen yang sejak tadi memperhatikan mereka akhirnya angkat suara. “Udah, El. Biarin si Leo. Mulutnya emang harus dilakban, nggak bisa diem. Abisin makanannya, abis itu kita cari si Kairo.”
Elara mengangguk. “Iya, ayo. Gue juga heran, biasanya dia paling ribut.”
Ezra menyodorkan segelas air putih ke arah Elara. “Minum dulu, El.”
“Makasih, Ez,” ucap Elara sambil menerima gelas itu. Tangannya sempat mengelus kepala Ezra dengan pelan. Meski Ezra sering jahil dan menyebalkan, di sisi lain ia juga punya sifat penyayang yang membuat Elara memperlakukannya seperti adik sendiri.
Arsen yang melihat itu langsung membuang muka. Ia berdiri lebih dulu.
“Ayo cari si Kai,” ucapnya singkat, lalu melangkah pergi.
Mereka berlima mulai menyusuri berbagai sudut sekolah. Toilet sudah dicek—kosong. Perpustakaan juga nihil.
“Masa si Kai ke perpus sih?” Leo mengernyit. “Dia aja alergi buku.”
Rooftop pun mereka datangi, tapi tetap tak ada tanda-tanda Kairo.
“Jangan-jangan dia di taman belakang,” ujar Leo tiba-tiba.
“Bener tuh,” sahut Elara. “Yuk, kita ke sana.”
Tanpa menunda lagi, kelimanya berjalan menuju taman belakang sekolah—tanpa tahu bahwa orang yang mereka cari sedang menikmati mangga dengan sangat santai, sama sekali tidak menyadari kepanikan kecil yang ia buat.
____
Langkah kaki mereka berlima berhenti di tepi taman belakang sekolah.
Elara yang pertama kali melihat ke atas, otomatis menyipitkan mata. “Eh… itu…”
Leo mengikuti arah pandangnya. “Buset. Itu si Kai.”
Di atas pohon mangga, Kairo duduk santai di salah satu dahan. Kemejanya sudah agak kusut, sepatu tergeletak di bawah pohon, dan di tangannya ada mangga setengah kupas. Wajahnya tampak sangat menikmati momen itu, seolah dunia tidak sedang mencarinya ke mana-mana.
“WOI!” teriak Kairo sambil melambaikan tangan. “kalian pasti nyariin gue? Nih liat, gue dapet mangga!”
Awalnya, suasana masih biasa.
Elara mendongak sambil menghela napas. “Ya ampun, Kai. Dari tadi dicariin, malah nongkrong di atas pohon, kaya monyet aja”
Leo menggeleng. “Gila, lo. Panjat pohon mangga kan itu punya sekolah .”
Kairo nyengir. “Santai aja kali. Cuma ambil satu.”
Namun, senyum Kairo perlahan memudar.
Ia menangkap perubahan di wajah dua orang di bawah sana.
Arsen tidak berkata apa-apa. Tatapannya dingin, rahangnya mengeras. Di sampingnya, Kaizen menyilangkan tangan, ekspresinya datar—terlalu datar untuk ukuran mereka yang biasanya ribut.
Tanpa peringatan, Arsen berbalik badan.
“Balik,” ucapnya singkat.
Kaizen langsung mengikuti langkah Arsen. Leo dan Ezra saling pandang sepersekian detik—lalu ikut berjalan pergi, tanpa sepatah kata pun.
“El…” panggil Kairo refleks.
Elara menatapnya sebentar. Tatapan itu tidak marah, tapi juga tidak hangat. Lalu ia ikut membalikkan badan dan menyusul yang lain.
Kairo terpaku.
“Eh… kalian kok gitu sih?” serunya sambil buru-buru turun dari pohon. Mangga itu nyaris terjatuh dari tangannya.
Ia melompat ke tanah, buru-buru mengenakan sepatunya, lalu berlari menyusul mereka.
“Hei! Gue cuma nyolong mangga doang, anjir,” katanya setengah tertawa, mencoba mencairkan suasana. “kok marah sih?”
Tidak ada jawaban.
Kairo mempercepat langkahnya, berjalan sejajar dengan Ezra. “Ez? Lo kenapa sih?”
Ezra tidak menoleh.
“Leo?” Kairo mencoba lagi. “Le, sumpah ini mangga manis banget. Lo wajib coba—”
Tidak ada yang merespons.
Langkah mereka tetap lurus, suara sepatu mereka terdengar jelas di koridor, tapi seolah Kairo tidak ada di sana.
“Kalian marah, ya?” suara Kairo mulai menurun. “Gue minta maaf, oke? Gue nggak tau bakal segininya.”
Ia berjalan di tengah-tengah mereka, menatap satu per satu wajah sahabatnya. Tidak ada yang menoleh. Tidak ada yang menjawab.
Untuk pertama kalinya, Kairo merasa benar-benar… sendirian.
Apakah mereka semarah itu cuma karena dia bikin mereka capek nyari?
Atau karena satu buah mangga yang bahkan belum habis dimakan?
Dan Saat bel pulang berbunyi pun, mereka berlima langsung berjalan ke arah gerbang sekolah—tanpa menunggu, tanpa menoleh.
Kairo berhenti di tempatnya.
Ia menatap punggung-punggung itu menjauh, satu per satu menghilang di antara kerumunan siswa.
Hari itu, Kairo pulang sendirian.
Dan untuk pertama kalinya sejak kecil, ia bertanya dalam hati—
apa ia benar-benar sudah berbuat kesalahan sebesar itu?
KIRA KIRA ADA APA YA KOK MEREKA SAMPAI MARAH SEGITUNYA?