Dijodohkan dengan pria kaya raya? Kedengarannya seperti mimpi semua perempuan. Tapi tidak bagi Cloe.
Pria itu—Elad Gahanim—tampan, sombong, kekanak-kanakan, dan memperlakukannya seperti mainan mahal.
“Terima kasih, Ibu. Pilihanmu sungguh sempurna.”
Cloe tak pernah menginginkan pernikahan ini. Tapi siapa peduli? Dia hanya anak yang disuruh menikah, bukan diminta pendapat. Dan sekarang, hidupnya bukan cuma jadi istri orang asing, tapi tahanan dalam rumah mewah.
Namun yang tak Cloe duga, di balik perjodohan ini ada permainan yang jauh lebih gelap: pengkhianatan, perebutan warisan, bahkan rencana pembunuhan.
Lalu, harus bagaimana?
Membunuh atau dibunuh? Menjadi istri atau ... jadi pion terakhir yang tersisa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rinnaya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
5. Pengkhianatan dan pelarian.
Debu sore menari malas di antara berkas cahaya yang menyilaukan di antara kaca-kaca gedung. Dia berjalan di pinggiran dengan otak sibuk berpikir.
“Pantas saja Zeline tak ingin menikah dengannya. Astaga, aku begitu bodoh menerima tawaran ini tanpa mencari tahu lebih dahulu.” Cloe tertawa, bukan tentang hal yang lucu, tetapi seberapa menyedihkan dirinya yang mengharapkan sesuatu seolah dirinya diciptakan begitu spesial.
Keputusan bulat tertanam dalam benaknya: ia harus lari. Meninggalkan kota ini, meninggalkan perjodohan terkutuk ini, dan memulai hidup baru lagi di tempat yang jauh, di mana ia bisa menentukan takdirnya sendiri.
Semewah apapun kehidupan ditawarkan, bagi Cloe tidak ada artinya jika tidak ada harga diri. Pun ini tentang kenyamanan dan nyawa, suatu saat nanti, tiba waktu bagi kekasih Elad tidak sabaran, wanita itu akan menjadi malapetaka bagi Cloe.
“Bisa jadi mereka telah merencanakan melenyapkan aku.” Dia bergidik ngeri. “Sakit hati ini akan menghilang seiring berjalannya waktu, karena aku sudah tidak mengagumi Elad lagi.”
Pria dermawan, baik hati, atau apalah, lenyap seketika dalam sanubari. Tersisa rasa jijik pada pria yang rela menikahi wanita lain selain kekasihnya.
Malam itu, di bawah rembulan sabit yang samar, Cloe mengendap-endap keluar dari rumah megah yang kini terasa seperti penjara baginya kendati tadi siang dia menikmati hal tersebut.
Sebuah tas ransel berisi beberapa potong pakaian dan sedikit uang tabungan Zeline tersampir di bahunya. Setiap langkahnya terasa berat, diiringi dentuman jantung yang berpacu dengan kecemasan. Ia harus segera mencapai terminal bus sebelum fajar menyingsing.
Namun, takdir memang sering kali bermain-main dengan harapan. Baru saja ia melewati gerbang besi rumahnya, sebuah suara dingin menghentikan langkahnya.
"Mau ke mana kau?"
Sosok Aida berdiri tegak di bawah rembulan, siluetnya tampak mengancam dalam kegelapan. Mata wanita itu, yang ketelitiannya cukup tajam, kini memancarkan kekecewaan dan kemarahan yang tertahan.
“A-aku ....”
“Sudah ibu bilang, kau tidak bisa melarikan diri.”
Cloe terperangkap. Tidak ada gunanya lagi berpura-pura. Dengan suara bergetar, ia menceritakan apa yang dilihatnya di kantor tadi sore, berharap Aida akan mengerti, akan marah pada pria yang telah mempermalukannya.
Air mata mulai membasahi pipinya saat ia mengungkapkan rasa sakit dan pengkhianatan yang menghantuinya.
Namun, reaksi Aida jauh dari yang ia harapkan. Ekspresi dingin di wajah ibunya tidak berubah sedikit pun.
"Saya sudah tahu," kata Aida datar, bagai mengucapkan fakta yang remeh.
Cloe terperangah. "Ibu tahu? Lalu kenapa ... kenapa Ibu tidak melakukan apa-apa?"
"Bisnis adalah bisnis," jawab Aida dengan nada tanpa kompromi. "Hubungan ini terlalu penting untuk dibatalkan hanya karena masalah kecil seperti itu. Lagipula, laki-laki ... mereka memang seperti itu. Setelah menikah nanti, dia akan berubah."
Kata-kata Aida bagai cambuk yang menghantam hatinya. Jadi, selama ini Aida hanya melihat anaknya sebagai alat untuk memperluas kerajaan bisnis? Perasaannya, harga dirinya, sama sekali tidak berarti? Keputusasaan mencengkeram Cloe lebih kuat dari sebelumnya.
Tanpa belas kasihan, Aida menyeret Cloe kembali ke dalam rumah. Protes dan tangisan Cloe sama sekali tidak digubris. Ia dikurung di kamarnya, pintu terkunci dari luar. Jendela-jendela besar kamarnya kini terasa seperti jeruji besi yang mengurungnya dari dunia luar.
Di dalam kamarnya yang sunyi, Cloe meratap dalam keputusasaan. Ia merasa seperti burung dalam sangkar emas, memiliki segalanya namun kehilangan kebebasan yang paling mendasar.
“Dasar wanita kejam! Apa benar kau seorang ibu? Bahkan ibu tiriku ... i-Ibu tiriku ...” Cloe meragu, ingin membandingkan tapi Mala juga melakukan perjodohan untuknya. “Astaga! Tidak ada yang benar. Semua gila!
***
Beberapa hari berlalu dalam kesunyian yang mencekam. Cloe hanya bisa menatap langit-langit kamar, memikirkan jalan keluar yang terasa semakin mustahil. Ia mencoba membujuk Aida, merayu, bahkan mengancam, namun Aida tetap tak bergeming.
Kepentingan bisnis keluarga adalah harga mati bagi Aida.
Pukulan telak datang ketika Aida membuka pintu kamarnya dengan ekspresi dingin.
"Persiapan pernikahanmu dipercepat," ucapnya tanpa basa-basi. "Seminggu lagi."
Dunia Cloe kembali runtuh. Dua minggu? Waktu yang terlalu singkat untuk merencanakan pelarian, terlalu singkat untuk menerima kenyataan pahit ini. Ia merasa seperti bidak catur yang tak berdaya di tangan Aida, dipaksa mengikuti permainan yang tidak pernah ia inginkan.
‘Zeline, aku tidak ingin menggantikanmu lagi. Pulanglah.’
Cloe meringkuk, sudah beberapa kali menghubungi Zeline namun sepertinya Zeline memblokir nomor Cloe.
Air mata kembali mengalir di pipinya, namun kali ini bercampur dengan amarah yang membara. Ia tidak akan menyerah begitu saja. Di balik keputusasaannya, secercah tekad mulai menyala. Ia harus menemukan cara untuk keluar dari neraka ini, meskipun itu berarti ia harus menghadapi Aida sendiri.
Dalam hatinya, Cloe berjanji, ia tidak akan membiarkan dirinya terperangkap dalam pernikahan tanpa cinta ini. Ia akan berjuang untuk kebebasannya, meskipun nyawa taruhannya.
Mari mencoba mengungkapkan identitas terlebih dahulu.
“Aku bukan Zeline,” ucap Cloe, matanya dengan percaya diri menatap Aida yang tengah menyisir rambutnya.
Aida terkekeh. “Lalu kenapa? Toh kalian sama-sama anakku.”
“Apa?!” Cloe tersentak, langsung berdiri.
“Tidak ada masalah, Elad menerimamu meski kau bukan Zeline.”
“Tunggu, tunggu! Apa yang sebenarnya terjadi di sini?”
Aida mendengus, dia menghampiri, menepuk pundak Cloe. “Cloe,” kali ini dia secara langsung menyebut nama Cloe. “Tidak ada kebetulan di dunia ini, semua sudah direncanakan. Zeline tidak begitu saja menemukanmu, tetapi dia memang mencarimu. Sebagai syarat lepas dari perjodohan.”
Benar-benar bodoh. Cloe dipermainkan seperti orang bodoh oleh orang-orang yang terbiasa hidup kaya ini. Hatinya penas, menahan diri agar tidak mencekik Aida saat ini juga.
“Kau anakku, adik Zeline. Dulu aku adalah selingkuhan ayahmu, setelah melahirkan, kami sepakat masing-masing bertanggungjawab membesarkan anak. Begitulah bagaimana si kembar berpisah.”
Wah, dia bangga sekali menceritakan aibnya sendiri. Cloe tidak percaya ibu kandungnya adalah sosok serendah ini. Tidak mungkin Cloe bisa mengakui dia sebagai ibunya, Aida terlalu kejam sampai menjual anak sendiri ke pria tidak baik.
“Kau sangat menjijikkan.”
“Aku sering mendengarnya, terlebih dari ayahmu di masa lalu. Terima kasih sudah mengingatkanku pada pecundang itu.”
Aida melangkah menjauh, sebelum memutar kunci pintu, dia berujar, “Lupakan pasal melarikan diri. Kau tidak akan pernah bisa.” Dia tersenyum, melambaikan tangan bersama tawa ringan.
Cloe terduduk lemas di lantai, dia memang tidak menemukan jalan melarikan diri beberapa hari ini. Menyebalkan, ini yang namanya ibu kandung berasa ibu tiri.
Oh, Cloe mengingat sesuatu. Elad mungkin mati sebentar lagi, mungkin Cloe bisa bebas setelah itu. Benar, yang harus ia lakukan adalah tidak mengungkapkan fakta itu.
“Persetan dengan hati nurani, mereka tidak berhak mendapatkannya.”
Bersambung....