Lima belas tahun menikah, Ghea memergoki suaminya berselingkuh dengan sekretarisnya. Lebih menyakitkan lagi, di belakangnya sang suami menyebutnya sebagai wanita mandul dan tak becus melayani suami. Hatinya hancur tak bersisa.
Dalam badai emosi, Ghea pergi ke klub malam dan bertemu Leon—pria muda, tampan, dan penuh pesona. Dalam keputusasaan, ia membuat kesepakatan gila: satu miliar rupiah jika Leon bisa menghamilinya. Tapi saat mereka sampai di hotel, Ghea tersadar—ia hampir melakukan hal yang sama bejatnya dengan suaminya.
Ia ingin membatalkan semuanya. Namun Leon menolak. Baginya, kesepakatan tetaplah kesepakatan.
Sejak saat itu, Leon terus mengejar Ghea, menyeretnya ke dalam hubungan yang rumit dan penuh gejolak.
Antara dendam, godaan, dan rasa bersalah, Ghea terjebak. Dan yang paling menakutkan bukanlah skandal yang mengintainya, melainkan perasaannya sendiri pada sang berondong liar.
Mampukah Ghea lepas dari berondong liar yang tak hanya mengusik tubuhnya, tapi juga hatinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
29. Kartu
David bergeser, mendekat ke arah Ghea.
“Aku tahu aku jarang pulang. Banyak proyek baru, semua serba mendesak…”
Ghea tidak menjawab segera. Ia memejamkan mata, menahan tawa getir yang nyaris lolos dari bibirnya. Proyek penting. Pekerjaan. Alasan klasik untuk pria yang menyembunyikan perselingkuhan seolah kemeja kusut dan aroma parfum wanita di tubuhnya bisa dihapus oleh kata ‘sibuk’.
“Aku mengerti,” katanya akhirnya. Suaranya tetap datar, tanpa intonasi emosi.
Diam kembali mengisi ruangan.
David kembali mendekat perlahan. Tangan kirinya bergerak, menyentuh lengan Ghea, mencoba meraih sedikit kehangatan yang dulu pernah menjadi miliknya. Tapi gerakan itu langsung dihentikan.
Ghea menepisnya dengan cepat dan tenang. “Aku lelah. Mau tidur.”
Tangannya menepis jemari David seperti mengusir debu dari baju kesayangannya—tanpa amarah, hanya jijik.
David diam. Tertegun. Antara kecewa dan… lega.
Kecewa karena penolakan itu membuatnya merasa seperti suami yang tak dihargai.
Tapi juga lega—karena jika Ghea tak menolak, ia sendiri tak yakin bisa pura-pura menginginkannya. Nafsu itu sudah lama hilang. Bahkan tubuh Ghea tak lagi menggoda bagi David seperti dulu.
Ia pun memalingkan wajah ke arah lain. Tidur di ranjang yang sama. Tapi jarak mereka seperti dua orang asing yang terpisah benua.
Dan Ghea?
Ia masih terjaga. Matanya menatap gelap langit-langit.
"Kau pikir aku masih ingin disentuh oleh tangan yang menyentuh wanita lain? Tidak. Tidak pernah lagi."
Di ranjang yang sama, mereka tertidur—atau pura-pura tertidur—dengan jarak yang tak bisa diukur dengan meteran. Tapi bisa dirasa… sampai ke tulang.
Malam telah menelan sisa cahaya. Angin lembut mengelus tirai kamar, sesekali menimbulkan desir halus yang menyelinap ke kesadaran Ghea. Di sebelahnya, David sudah tertidur. Dengkurannya pelan, tapi cukup untuk mengingatkan bahwa pria itu masih di sana—bernapas, hidup, dan tetap tak berubah.
Ghea masih terjaga. Matanya terpejam, tapi pikirannya terus berisik. Tak nyaman. Ranjang itu rasanya terlalu sempit, seolah udara tak cukup untuk dua manusia dengan jarak yang tak terlihat namun begitu tebal.
“Kenapa aku tak bisa berhenti memikirkan Leon…?”
Ia menggigit bibir, membalikkan tubuhnya menghadap ke langit-langit. Tapi Leon tetap hadir di benaknya—dengan sorot mata itu, tubuh tegap itu, dan senyum tipis yang membuat segalanya tampak sederhana. Damai.
“Apa benar kata Vika? Apa aku hanya akan jatuh dan patah lagi?”
Ia tahu usia mereka terpaut. Ia tahu Leon lebih muda. Tapi…
“Dia tak tampak seperti pria murahan yang mendekati wanita untuk uang.”
Bahkan caranya memperlakukan Ghea—ada rasa hormat, ada kesungguhan. Dan yang paling tak bisa Ghea bantah:
“Aku nyaman bersamanya… dan aku merindukannya.”
Belum sempat hatinya menemukan kesimpulan, tubuhnya sontak menegang.
Suara.
Langkah kaki.
Dari balkon.
Ghea menahan napas, seluruh indranya siaga. Ia memalingkan wajah perlahan, menatap pintu kaca balkon yang kini sedikit berembun. Suara logam beradu—klik. Seseorang sedang memutar kunci dari luar.
Jantungnya berdetak liar. “Perampok…? Atau… Leon?”
Ia tak tahu kenapa ia berharap nama terakhir itu benar. Ia bahkan belum yakin bisa mempercayai Leon. Tapi hatinya bergerak sendiri—berdebar bukan karena takut, tapi karena kemungkinan itu…
Kreeek…
Pintu balkon terbuka perlahan.
Ghea buru-buru memejamkan mata, berpura-pura tidur. Tapi telinganya tetap waspada, mencatat tiap langkah yang masuk ke dalam kamar. Langkah itu pelan, penuh perhitungan. Tidak terburu-buru. Tidak ceroboh.
Sejenak hanya suara detak jam dan dengkur David yang terdengar.
Lalu langkah itu berhenti… tepat di samping ranjangnya.
Ghea tak bisa menahan diri. Perlahan matanya terbuka… dan saat itu juga tubuhnya refleks bangkit dari tempat tidur.
"Leon?!" bisiknya tajam.
Pria itu—Leon—sedikit tersentak karena pergerakan tiba-tiba Ghea. Tapi detik berikutnya, ia tersenyum. Tenang. Menyebalkan.
“Honey, kau menung—”
Ghea langsung membekap mulutnya dengan satu tangan, dan dengan tangan satunya menarik lengan Leon ke arah balkon. Tubuh mereka beradu singkat, napas mereka membaur sesaat dalam jarak yang terlalu dekat untuk dua orang yang seharusnya tidak saling menyelinap di malam hari.
"Diam! Kamu gila, ya?" bisik Ghea tertahan marah. "Kamu pikir ini film? Dia ada di dalam kamar, dan kamu—"
Leon hanya tersenyum miring, lalu menunduk sedikit, berbisik di telinganya, “Aku rindu kamu. Dan kamu rindu aku.”
Ghea mencengkeram lengan Leon lebih erat. Emosi, takut, dan degup jantungnya tercampur jadi satu—berisik. Tapi bukan karena takut pada Leon.
Melainkan takut pada dirinya sendiri yang… merindukan pria itu bahkan sebelum pintu balkon terbuka.
Di bawah cahaya rembulan yang redup dan lampu balkon yang remang, Ghea berdiri di depan pintu kaca yang masih setengah terbuka. Angin malam menyapu rambutnya, dingin menelusup hingga ke tulang. Leon berdiri di hadapannya, tegak, tenang, seolah ia tidak sedang menerobos kamar wanita bersuami di tengah malam.
Tatapan Ghea menusuk.
"Apa sebenarnya yang kau inginkan dariku?"
Suaranya pelan, tapi tak bisa disalahartikan. Itu nada curiga. Nada wanita yang terlalu sering dikhianati untuk percaya pada kata-kata manis.
Sesekali matanya melirik ke dalam kamar. David masih terlelap, mendengkur seperti tak berdosa. Tapi satu langkah saja dari Leon yang salah, dan segalanya bisa meledak.
Leon menghela napas panjang, seolah mencoba menahan kecewa. “Aku sudah bilang, Ghea. Aku menginginkanmu. Memilikimu. Seutuhnya.”
Ghea tertawa hambar. Matanya tetap tajam, namun suaranya tetap ditekan.
“Bohong. Mana mungkin pria seperti kamu menyukai wanita sepertiku? Lebih tua, bersuami, penuh luka. Kau bisa punya siapa saja, Leon. Gadis-gadis muda pasti rela melempar diri ke ranjangmu.”
Leon menyandarkan diri ke dinding balkon, menatap Ghea dengan tatapan yang tak terbaca.
“Apa salahnya kalau aku memilihmu?"
"Apa salahnya dengan perbedaan usia? Cinta tak kenal umur, Ghea. Tidak juga status. Justru aku suka wanita dewasa—kau tahu apa yang kau mau, kau tak drama seperti mereka yang merengek ingin dimengerti tapi tak mau berjuang.”
Senyumnya berubah nakal, penuh gairah. “Dan jujur saja, aku lebih suka yang… berpengalaman.”
Ghea menyipitkan mata, ingin menampar, tapi tahu itu hanya akan memuaskan egonya. “Dasar brengsek mesum.”
“Aku tak percaya padamu. Kau pasti menginginkan sesuatu—uangku, mungkin? Hartaku?”
Leon tertawa pendek, lalu menghela napas, kali ini tampak tulus. Ia mengeluarkan dompet dari saku belakang, membuka bagian dalamnya, dan mengeluarkan sebuah kartu hitam elegan—tanpa nama, tanpa logo bank yang mencolok. Hanya satu garis perak melintang dan angka-angka kecil di pojok bawah.
Ia menggenggam tangan Ghea, dan meletakkan kartu itu di telapaknya.
“Kalau kau pikir aku mendekatimu demi uang,” ujarnya pelan, “pakai ini. Isinya cukup untuk membeli perusahaan warisan orang tuamu—bahkan dua kali lipatnya.”
Ghea terdiam.
Matanya terpaku pada kartu itu. Berat. Dingin. Seolah kartu itu menyimpan lebih dari sekadar saldo. Ada kesungguhan, ada risiko, ada pertaruhan harga diri.
“Kalau kau tak percaya… pindahkan isinya ke rekeningmu. Pakai semua.”
Leon mendekat, berbisik nyaris menyentuh telinga Ghea. Suaranya rendah, nyaris menggoda.
“…Tanggal lahirmu. Itu PIN-nya.”
Ia menatapnya dalam-dalam, sorot matanya penuh keyakinan.
“Kartu ini… aku buat atas namamu. Kau bisa akses penuh ke semua saldonya, Honey.”
Deg.
Ghea masih diam. Matanya menatap kartu itu seolah sedang menatap Leon. Bertanya: Siapa kau sebenarnya?
Leon melirik ke arah ranjang dalam kamar, lalu kembali menatap Ghea dengan sorot yang jauh lebih gelap.
“Dan pria di dalam sana… sedang menyusun rencana untuk menguasai hartamu. Kau bisa pura-pura tak tahu. Tapi aku punya buktinya. Tinggal kau minta, dan aku berikan.”
Sunyi.
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
Tuh Ghea segera bergerak merebut hak-mu dengan bantuan Leon yang telah punya bukti kejahatan David.
Leon benar mencintai dirimu tidak ingin menguasai hartamu malah memberimu hartanya.
Leon nekat datang lagi di saat David ada di rumah, Ghea senang tuh tapi pasti bingung ketakutan kalau David tahu wkwkwk
Ghea terlalu luka hatinya dengan pengkhianatan David - David suami selingkuh sekaligus mau meraup harta - perusahaan warisan orang tua Ghea.
dan kamu akan menyesal telah menyia-nyiakan Ghea hanya demi sampah
lanjut kak sehat dan sukses selalu 🤲
Vika ini terlalu curiga sama Leon yang akan menghancurkan Ghea lebih dalam daripada David - sepertinya kok tidak.
Ghea bersama Leon merasa hidup - merasa utuh dan sepertinya Leon benar mencintai Ghea dan pingin membantu Ghea mengembalikan haknya sebagai pewaris perusahaan tinggalan orang tuanya yang sekarang dikuasai si pecundang David.
Tapi baik juga kalau Vika mau menyelidiki siapa Leon dan apa maksud Leon mendekati Ghea.
W a d uuuuuhhhh siapa dia yang menjadikan Ghea membeku - tangannya mencengkeram tali tas.
Leon senang ini terbukti malah tersenyum wkwkwk