Ketika mobil Karan mogok di tengah jalan, pertemuannya dengan Puri menjadi awal dari kisah yang tak terduga.
Mereka berasal dari latar belakang keyakinan yang berbeda, namun benih cinta tumbuh seiring waktu. Di awal, perbedaan agama hanya dianggap warna dalam perjalanan mereka—mereka saling belajar, berbagi makna ibadah, dan menghargai kepercayaan masing-masing.
Namun, cinta tak selalu cukup. Ketika hubungan mereka semakin dalam, mereka mulai dihadapkan pada kenyataan yang jauh lebih rumit: restu keluarga yang tak kunjung datang, tekanan sosial, dan bayangan masa depan yang dipenuhi pertanyaan—terutama soal anak-anak dan prinsip hidup.
Di sisi lain, Yudha, sahabat lama Puri, diam-diam menyimpan perasaan. Ia adalah pelindung setia yang selalu hadir di saat Puri terpuruk, terutama saat sang ibu menentang hubungannya dengan Karan
Diam-diam, Yudha berharap bisa menjadi tempat pulang Puri.
Kini, Puri berdiri di persimpangan: antara cinta yang Karan Atau Yudha
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14
Malam itu suasana rumah tenang. Karan datang dengan wajah sumringah, membawa tas kecil berisi buah tangan. Mama yang membukakan pintu menyambutnya dengan ramah.
“Ayo masuk, Kar. Duduk dulu. Puri ada di kamar, Mama panggilin ya,” ucap Mama sambil tersenyum.
Tak lama, Puri keluar dari kamarnya mengenakan kaos santai dan celana panjang.
Wajahnya sedikit lelah tapi tetap memancarkan keceriaan saat melihat Karan.
“Mama keluar sebentar ya, beli gorengan. Kalian ngobrol dulu,” kata Mama sambil mengambil tas kecilnya dan pergi meninggalkan rumah.
Puri duduk di samping Karan di ruang tamu. Karan menggenggam tangan Puri erat.
“Sabtu besok kita jadi ke Yogyakarta, ya?” ucap Karan, penuh harap.
“Mama di sana udah nggak sabar mau ketemu kamu.”
Puri menunduk, wajahnya berubah ragu. “Maaf ya, Mas... Aku nggak bisa ikut. Skripsiku harus segera selesai. Minggu depan aku mau bimbingan lagi.”
Karan terdiam sejenak. Ekspresinya berubah, tapi ia mencoba tersenyum.
“Tidak apa-apa, Sayang. Aku ngerti kok.” Ia mengusap punggung tangan Puri lembut.
“Setelah sidang skripsimu selesai, kita ke Yogyakarta, ya? Mama tetap pengin ketemu kamu, kapan pun itu.”
Puri mengangguk pelan, matanya sedikit berkaca.
“Makasih ya, Mas... Kamu selalu pengertian.”
Karan menatapnya lembut. “Aku cinta kamu, Pur. Aku akan tunggu sampai kamu benar-benar siap, baik sebagai mahasiswa... maupun sebagai calon pendamping hidupku.”
Puri tersenyum, kali ini lebih tenang. Dalam hati ia tahu, cinta seperti ini tak datang dua kali.
Tak lama setelah percakapan mereka, pintu depan terbuka.
Mama masuk sambil membawa kantong berisi gorengan yang masih hangat.
“Nih, gorengannya masih panas. Ayo dimakan dulu kalian,” ucap Mama sambil menaruh piring di meja.
Karan dan Puri duduk berdampingan, mencicipi gorengan itu dengan senyum ringan.
Suasana menjadi hangat, seperti keluarga kecil yang saling memahami.
Setelah beberapa saat, Karan melihat jam tangannya.
“Bu, Pur, aku pamit pulang dulu ya. Besok kalian sibuk, biar bisa istirahat.”
Puri mengantar Karan sampai ke depan. “Hati-hati di jalan, Mas.”
“Selamat istirahat ya, Sayang,” balas Karan sambil tersenyum dan pergi.
Keesokan harinya…
Puri mengenakan kemeja rapi dan membawa laptop serta map tebal berisi rencana skripsinya.
Di kampus, ia bertemu dengan Om Sasongko yang memang sengaja datang untuk mendampingi.
“Om cuma mau lihat kamu bimbingan. Ini langkah penting,” ucap Om Sasongko dengan nada bangga.
Di ruang dosen, Puri mempresentasikan kerangka skripsinya dengan percaya diri.
Dosen pembimbing mengangguk-angguk, memberikan beberapa masukan tapi memuji kejelasan idenya.
Setelah keluar dari ruangan, Om Sasongko menepuk bahu Puri.
“Kamu pintar, Pur. Om bangga sekali hari ini. Lanjutkan semangatnya. Jangan kasih kendor.”
Puri tersenyum lebar, hatinya dipenuhi rasa syukur.
“Terima kasih, Om. Doain Puri lancar terus, ya.”
Hari-hari terasa semakin padat. Di kampus, suasana dipenuhi mahasiswa tingkat akhir yang sibuk mempersiapkan sidang skripsi termasuk Puri dan Yudha.
Di perpustakaan, Puri duduk menatap layar laptopnya, jemarinya menari di atas keyboard.
Di sisi lain ruangan, Yudha juga tampak serius mencoret-coret print-out bab terakhir miliknya.
Sesekali pandangan mereka bertemu. Tak ada kata, hanya anggukan singkat.
Dulu, mereka sering duduk bersama, berdiskusi berjam-jam.
Kini, ada jarak yang tak kasat mata—namun tetap ada rasa hormat dan pengertian.
Yudha menghampiri Puri dengan membawa sebotol air mineral.
“Minum dulu, kamu kelihatan tegang banget.”
Puri menerima dengan senyum tipis. “Iya, makasih. Kamu sendiri gimana?”
“Sudah submit. Tinggal nunggu jadwal sidang. Semoga kita bareng ya,” kata Yudha dengan nada datar, tapi matanya masih menyimpan perhatian.
Puri mengangguk. “Semoga ya. Yang penting sekarang, lulus dulu. Semua bisa kita bicarakan nanti.”
Yudha tersenyum lemah. “Aku tetap doain kamu, Pur. Meski bukan aku yang di sampingmu sekarang.”
Puri menunduk, hatinya sedikit bergetar namun tekadnya tetap bulat.
Sidang skripsi adalah gerbang masa depannya, dan ia tak boleh goyah.
Dua minggu berlalu dengan cepat. Hari yang ditunggu pun tiba hari sidang skripsi.
Puri berdiri di depan ruang sidang, mengenakan kemeja putih dan rok hitam. Rambutnya di kuncir rapi, dan wajahnya terlihat tegang, meski ia berusaha tersenyum.
Om Sasongko berdiri di sampingnya, mengenakan batik sederhana. Ia menepuk bahu keponakannya pelan.
“Jangan gugup, ya. Om yakin kamu pasti bisa. Kamu sudah kerja keras. Tunjukkan itu di dalam,” ucapnya penuh keyakinan.
Puri menatap wajah Om-nya yang penuh dukungan.
“Terima kasih, Om. Doakan Puri ya…”
Om Sasongko mengangguk sambil tersenyum.
“Selalu.”
Puri menarik napas panjang, menggenggam map berisi skripsinya erat-erat, lalu melangkah masuk ke dalam ruangan.
Di dalam, tiga dosen penguji sudah menunggu. Salah satunya mengangguk ramah.
“Silakan duduk, Puri. Kita mulai, ya.”
Puri membungkukkan badan sopan, lalu duduk.
Suasana hening sesaat sebelum pertanyaan-pertanyaan mulai dilontarkan.
Detik demi detik terasa menegangkan, namun Puri menjawab dengan tenang, sesuai dengan riset yang ia pahami dan jalani selama berbulan-bulan.
Setelah sekitar 45 menit penuh dengan tanya jawab yang intens, dosen penguji terakhir menutup berkasnya dan tersenyum tipis.
“Baik, Puri. Silakan tunggu di luar sebentar, kami akan berdiskusi,” ucapnya.
Puri mengangguk, berdiri, dan membungkuk sopan sebelum keluar ruangan.
Di luar, Om Sasongko langsung menghampirinya.
“Gimana tadi?”
“Deg-degan banget, Om. Tapi… aku jawab semua semampuku.”
Om Sasongko menepuk punggungnya lembut.
“Kamu hebat, Puri. Tinggal tunggu hasilnya.”
Beberapa menit kemudian, pintu ruang sidang terbuka.
“Puri, silakan masuk kembali,” kata salah satu dosen penguji.
Puri melangkah masuk perlahan. Jantungnya berdebar hebat.
“Setelah mempertimbangkan presentasi dan jawaban kamu tadi,” ujar penguji utama, “Kami memutuskan… kamu dinyatakan lulus dengan sangat memuaskan.”
Mata Puri langsung berkaca-kaca. Ia menunduk dalam-dalam.
“Terima kasih, Bu, Pak…”
Begitu keluar dari ruangan, Puri langsung memeluk Om Sasongko dengan air mata haru.
“Om… Puri lulus!”
Om Sasongko ikut tersenyum lebar. “Kamu pantas dapat itu. Sekarang fokus selesaikan administrasi, dan siap hadapi dunia luar.”
Dari kejauhan, Yudha melihat momen itu dan ikut tersenyum kecil, menatap Puri yang bersinar di tengah haru dan bahagia.
Tak lama kemudian, ponsel Puri berdering. Karan menelepon.
“Sayang, gimana hasilnya?”
Puri menjawab sambil tertawa dan menangis, “Aku lulus, Mas. Sangat memuaskan!”
“Alhamdulillah! Aku bangga banget sama kamu, Pur. Malam ini kita rayakan, ya?”
Yudha berjalan pelan menghampiri Puri, dengan seikat bunga mawar merah di tangannya.
Langkahnya tegap, namun sorot matanya menyimpan banyak hal yang tak terucap.
“Selamat, Pur…” ucap Yudha, menyodorkan bunga itu.
Puri menerima dengan senyum lembut. “Iya, Yud… terima kasih.”
Yudha menarik napas, lalu berkata pelan, “Tiga bulan lagi aku akan berangkat ke Australia. Aku… diterima program S2 di sana.”
Puri terkejut. “S2? Mas, itu kabar bagus.”
Yudha tersenyum samar. “Iya… kabar bagus. Tapi di sisi lain… mungkin ini cara semesta membantuku melepaskan.”
Puri menunduk, menggenggam erat batang bunga yang ia terima.
“Jaga diri kamu, ya… Jaga hatimu juga. Dan… maafkan aku kalau pernah menyakiti atau membuat kamu bingung.”
“Yud… jangan bicara seperti itu,” ucap Puri lirih. Matanya mulai berkaca-kaca.
Yudha tersenyum, kali ini lebih tulus. “Aku nggak akan ganggu hubungan kamu sama Karan. Aku cuma pengen kamu bahagia, Pur. Itu aja.”
Ia melangkah pergi perlahan, meninggalkan Puri yang berdiri mematung dengan hati yang campur aduk antara haru, sedih, dan penuh penghargaan.
Bunga mawar di tangannya menjadi simbol perpisahan yang tak menyakitkan, hanya… penuh kenangan.