Sebuah dusun tua di Sumatra Barat menyimpan kutukan lama: Palasik, makhluk mengerikan berupa kepala tanpa tubuh dengan usus menjuntai, yang hanya muncul di malam hari untuk menyerap darah bayi dan memakan janin dalam kandungan. Kutukan ini ternyata bukan hanya legenda, dan seseorang harus menyelami masa lalu berdarah keluarganya untuk menghentikan siklus teror yang telah berumur ratusan tahun.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon iwax asin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18 Cahaya di ujung awan
Angin dini hari terasa ganjil. Bukan sekadar dingin, melainkan membawa aroma terbakar dan bunga layu. Rumah panggung itu dikelilingi bayangan-bayangan kabur yang hanya bisa dilihat dari ujung mata, seperti gerakan yang tak bisa ditangkap langsung.
"Aku merasakan sesuatu mendekat," ujar Reno, yang duduk bersila di sisi dinding. Tangannya memegang erat jimat peninggalan datuknya yang digantung di leher.
Ajo bangkit dari duduknya, memeriksa bagian bawah rumah lewat celah lantai. "Ada suara dari bawah. Seperti... ranting patah. Tapi terus menerus."
Ucup melongok ke luar lewat lubang angin di dinding. "Jangan-jangan mereka menggali dari bawah. Kan bisa aja Palasik nyusup dari kolong."
Bahri yang dari tadi diam, membuka kitab tuanya. Di halaman paling tengah, ada satu gambar lingkaran besar dengan simbol-simbol yang menyerupai ukiran Minangkabau kuno.
"Ini lambang portal. Biasanya digunakan dukun tua zaman dahulu untuk berpindah alam secara batin. Tapi malam ini... portal itu terbuka secara fisik."
Ajo mengangkat alis. "Fisik maksudnya? Kayak... lubang?"
Bahri mengangguk. "Bisa berupa lubang, bisa berupa bayangan. Bahkan bisa berupa mimpi yang menelan ragamu. Maka jangan tidur. Jangan satu pun dari kita tertidur."
Jam menunjukkan pukul 2 dini hari.
Langit masih kelam, tapi bintang-bintang mulai tertutup kabut. Cahaya dari pelita mulai berpendar aneh, seolah ditarik oleh kekuatan tak kasatmata.
Tiba-tiba, Reno mendengar suara dari belakang rumah. Seperti orang memanggil namanya, dengan suara parau.
"Reno... Renooo... mari ikut..."
Ia bangkit spontan, tapi Bahri cepat menarik lengannya.
"Jangan jawab. Itu bukan panggilan manusia. Itu suara dari batas dunia."
Namun Ajo sudah lebih dulu berdiri. Ia menatap satu titik di pojok ruangan.
"Kalian lihat itu? Ada sosok berdiri di sana. Perempuan. Tapi wajahnya ditutupi rambut panjang."
Ucup mencoba bercanda, tapi suaranya serak. "Itu mungkin mantanmu, Jo. Balik karena rindu."
"Kalau mantanku, pasti udah lari sejak lihat rumah ini semalam," jawab Ajo cepat, meski suaranya bergetar.
Bahri berjalan ke arah pojok itu. Ia menyiram sedikit air sumur pada lantai. Saat air menyentuh ubin, muncul suara seperti desisan ular, lalu bayangan itu menghilang.
"Mereka mulai mencoba masuk dari dalam. Kita harus kuat."
Sekitar pukul 3, saat ayam belum berkokok dan suara jangkrik pun lenyap, rumah itu mulai terasa bergoyang.
"Gempa?" tanya Ucup.
Reno menempelkan telinganya ke lantai. "Bukan. Seperti ada yang mengguncang rumah dari luar. Bukan gempa, tapi... mereka."
Suara tertawa kecil terdengar dari bawah rumah. Bukan tawa manusia. Tawa tajam, seperti logam beradu.
Bahri menutup kitabnya. "Kita harus perkuat perlindungan. Simbol ini harus digambar ulang. Ajo, siapkan arang. Reno, ambil daun sirih. Ucup, kau jaga pintu."
"Jaga pintu pake apa? Kalau mereka nyerbu rame-rame, aku mau lempar sandal?"
"Kalau bisa dengan iman, itu lebih baik," sahut Ajo.
Ucup melongo. "Imanku tinggal seujung kuku sekarang..."
Saat Bahri menggambar ulang simbol perlindungan di lantai rumah, mereka dikejutkan oleh dentuman keras dari arah dapur.
BRAK!
Semua menoleh. Ucup langsung lompat dan berpegangan pada Reno. "Apa itu?!"
Dari dapur, asap tipis mengepul. Aroma hangus bercampur amis darah.
"Mereka mencoba lewat api. Dapur adalah elemen paling rentan karena sering digunakan untuk ritual lama," ujar Bahri.
Mereka semua berjalan pelan ke dapur. Dan di sana...
...di pojok dekat tungku, ada kepala mengambang. Rambutnya panjang, matanya kosong, lidahnya menjulur, dan di bawah dagunya menggantung usus dan urat yang basah.
"PALASIK!" jerit Ajo.
Palasik itu tidak bergerak. Ia hanya mengambang pelan, seperti mengintai.
Reno ingin maju, tapi Bahri menahan. "Jangan gegabah. Kita butuh air sumur."
Ucup buru-buru mengambil botol dan menyiramkan air itu ke arah makhluk tersebut.
Saat air menyentuhnya, tubuh Palasik itu bergetar hebat, lalu lenyap dengan suara melengking.
Namun sebelum lenyap, ia sempat berbisik:
"Kalian... telah membuka... jalan..."
Setelah kejadian itu, mereka kembali ke ruang tengah. Bahri duduk bersila, mengatur napas.
"Palasik itu bukan sembarang hantu. Ia penjaga jalan. Dan kata-katanya berarti portal benar-benar terbuka."
Reno menatap langit yang mulai membiru samar. "Berarti... mereka bisa masuk ke dunia kita kapan saja sekarang?"
"Ya," jawab Bahri. "Kita sudah berada di antara dua dunia. Satu langkah salah, kita tidak akan bisa kembali."
Ucup memandang jendela. "Jadi sekarang kita ini apa? Pemburu? Korban? Atau... penjaga?"
Bahri menatap mereka satu-satu. "Kita adalah batas. Kalau kita roboh, mereka masuk."
Dan fajar pun mulai mengintip di ujung timur, membawa harapan, sekaligus pertanyaan baru...
Fajar menembus sela-sela jendela rumah panggung di Kampuang Dalam. Cahaya lembut menerobos kain tirai yang sobek, menciptakan siluet damai yang semu. Tapi mereka tahu, ini bukan akhir dari teror.
Ucup menggeliat di sudut ruangan, matanya merah karena tak tidur semalam suntuk. "Akhirnya pagi juga... tapi kenapa rasanya badan masih dingin semua, ya?"
Ajo meregangkan otot leher. "Dingin karena semalaman kita ditemani Palasik. Aku rasa sumsumku juga kena sentuh bayangan."
Reno berdiri di ambang pintu, menatap ladang yang mulai terlihat lagi. Tanaman siriah bergoyang pelan tertiup angin. Tapi sesuatu tampak aneh...
"Bahri... kau lihat itu? Ladang siriah berubah. Daunnya jadi kehitaman, seperti hangus."
Bahri berjalan mendekat. Ia mengangguk pelan. "Ladang itu sudah disentuh oleh dunia mereka. Energi dari portal telah menyebar. Ini pertanda bahwa pengaruh Palasik sudah merambah tanah."
Ucup memandang ladang itu dari balik bahu Reno. "Kalau terus begini, bisa-bisa seluruh kampung kena."
"Makanya kita tak boleh tinggal diam," sahut Bahri. "Kita harus mencari pusat portal. Tempat pertama kali kekuatan itu muncul."
Ajo mengernyit. "Apa bukan sumur tua itu?"
Bahri menggeleng. "Sumur itu hanya gerbang. Tapi kekuatannya berasal dari tempat lain. Kita harus mencari sumbernya. Mungkin... di hutan Talago."
Perjalanan ke hutan Talago tak bisa dilakukan sembarangan. Mereka harus mempersiapkan perlengkapan, termasuk air suci dari sumur, jimat dari datuk tua, serta perbekalan secukupnya.
"Kita bakal masuk ke wilayah roh yang belum tentu suka dikunjungi manusia," ujar Bahri sambil menggulung peta tua.
Ucup membuka bekal sambil mengeluh. "Kenapa roh-roh itu nggak tinggal di gunung aja sih? Ngapain pula ke ladang orang?"
Ajo tertawa. "Kalau mereka tinggal di gunung, bisa-bisa kau nggak akan pernah naik gunung lagi, Cup."
"Memang nggak pernah juga..." gumam Ucup, lalu diam sambil mengunyah kue lamang.
Perjalanan ke hutan Talago dimulai saat matahari mencapai puncaknya.
Hutan itu lebat, rindang, dan terasa lembap. Bau tanah basah bercampur aroma pakis liar menyelimuti mereka. Suara burung-burung aneh terdengar dari kejauhan, seolah hutan ini tidak benar-benar alami.
Reno berjalan paling depan, mengayunkan parang untuk menebas semak. Di belakangnya, Bahri memegang tongkat kayu berukir simbol Minangkabau kuno.
"Awas. Ada batu keramat di depan. Jangan injak. Kalau terinjak, bisa mimpi buruk tujuh malam berturut-turut," peringat Bahri.
Ucup buru-buru melompat. "Baru dua malam mimpi ketemu mantan pun aku udah stres, apalagi tujuh."
Ajo menahan tawa. "Pantas dari kemarin kau suka mendadak melamun."
Semakin dalam mereka masuk, cahaya matahari makin sulit menembus kanopi hutan. Udara jadi lebih berat. Bahkan suara alam terasa menipis.
Tiba-tiba, Bahri berhenti. Ia menempelkan telapak tangannya ke tanah.
"Kita sudah dekat. Aku bisa merasakan getarannya. Seperti jantung yang berdetak dari dalam bumi."
Di depan mereka, terbentang sebuah lembah kecil. Di tengahnya ada sebuah batu besar berbentuk seperti kepala manusia. Di sekelilingnya tumbuh pohon-pohon siriah liar yang melingkar.
"Itu... pusatnya?" tanya Reno.
Bahri mengangguk. "Itulah Batu Ampek. Tempat di mana dahulu empat dukun hitam mengikat roh-roh jahat agar tidak keluar ke dunia. Tapi ikatan itu telah melemah."
Ucup melongo. "Empat dukun? Kenapa nggak lima sekalian biar genap?"
Ajo menjawab, "Karena kalau lima, itu grup dangdut."
Tawa kecil terdengar. Namun cepat lenyap saat dari balik semak, muncul suara langkah berat.
Makhluk itu muncul perlahan. Tubuhnya besar, kepala melayang di atas pundaknya, dan dari rongganya menjulur urat-urat hitam.
"Itu... Palasik Penjaga. Tapi lebih besar... lebih tua," desis Bahri.
Mereka mundur perlahan. Bahri menggenggam air suci. Reno dan Ajo mengangkat parang. Ucup berdiri dengan tangan gemetar, memegang botol kecil.
Makhluk itu berhenti beberapa meter dari mereka. Matanya merah menyala, bibirnya bergerak, mengucap sesuatu dengan bahasa kuno:
"Kamulah... para pewaris penjaga... yang membuka... harus menutup."
Bahri menjawab dalam bahasa yang sama. "Kami siap. Tapi tunjukkan jalannya."
Palasik itu menunjuk batu besar. Sebuah simbol aneh mulai muncul di atasnya, memendar cahaya biru samar.
"Itu... jalan ke dalam dunia mereka," gumam Bahri.
Mereka saling pandang. Tidak ada yang bicara. Tapi semua tahu...
Perjalanan mereka belum selesai.
biar nggak tegang kali ya... kan bahaya...😂😂
semangat Thor... semoga sukse...