Sejak balapan berdarah itu, dunia mulai mengenal Aylin. Bukan sekadar pembalap jalanan berbakat, tapi sebagai keturunan intel legendaris yang pernah ditakuti di dunia terang dan gelap. Lelaki yang menghilang membawa rahasia besar—bukti kejahatan yang bisa meruntuhkan dua dunia sekaligus. Dan kini, hanya Aylin yang bisa membuka aksesnya.
Saat identitas Aylin terkuak, hidupnya berubah. Ia jadi target. Diburu oleh mereka yang ingin menguasai atau melenyapkannya. Dan di tengah badai itu, ia hanya bisa bergantung pada satu orang—suaminya, Akay.
Namun, bagaimana jika masa lalu keluarga Akay ternyata berperan dalam hilangnya kakek Aylin? Mampukah cinta mereka bertahan saat masa lalu yang kelam mulai menyeret mereka ke dalam lintasan berbahaya yang sama?
Aksi penuh adrenalin, intrik dunia bawah, dan cinta yang diuji.
Bersiaplah untuk menembus "LINTASAN KEDUA"—tempat di mana cinta dan bahaya berjalan beriringan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
17. Simbol
Langkah terburu-buru mendekat dari arah dapur. Mbok Inem, pelayan tua setia keluarga, muncul dengan wajah cemas. Rambutnya disanggul rapi, kebaya lusuhnya bersih meski tampak tua.
“Non Aylin… Tuan Akay… kok rumah dibongkar-bongkar begini? Gentong diangkat, kursi digeser, papan dipukul-pukul… lha ini rumah warisan, loh…”
Aylin tersenyum menenangkan. “Maaf ya, Mbok. Kami hanya cari sesuatu yang penting. Sangat penting.”
“Penting, penting, tapi jangan sampai rumahnya roboh… Gusti…” Mbok Inem mengelus dada, separuh panik, separuh pasrah.
Belum sempat Aylin menjawab, suara centil seorang pelayan dari arah samping membuat Akay mendesah lelah.
“Lho lho, pada nyari harta karun, ya? Atau jangan-jangan cari surat rumah?” Tumirah, janda genit dengan daster ketat dan lipstik menyala, melangkah masuk sambil menyapu ‘debu’ yang tidak ada.
“Tumirah,” desis Mbok Inem. “Kalau nggak bantu, ya minggir. Jangan bikin tambah ribet.”
“Idih, Simbok galak amat. Aku 'kan cuma pengen bantu…” Tumirah melirik Akay dengan senyum setengah niat.
Tapi seketika ekspresi Tumirah pudar begitu Akay menatap tajam padanya dan berkata, “Kamu berdiri lebih lama di sini, aku anggap kamu bagian dari masalah.”
Tumirah langsung kicep dan melipir sambil membawa sapunya.
Aylin menghela napas panjang melihat tingkah Tumirah, namun sesaat kemudian menunduk menatap lantai, lalu berkata pelan, “Dulu… aku pernah dengar bagian lantai ini bunyinya beda kalau diinjak.”
Mereka berdua jongkok. Akay mengetuk satu per satu papan lantai, hingga sebuah ketukan terdengar hampa.
“Ini dia.”
Dengan linggis kecil, Akay mencungkil papan itu. Di baliknya, tersembunyi sebuah peti kayu kecil, dilapisi kain beludru yang mulai usang.
Aylin membuka peti itu dengan hati-hati.
Bukan emas. Bukan surat. Tapi sebuah buku tua, bersampul kulit hitam, dengan simbol aneh berbentuk lingkaran bersilang—seperti paduan antara mantra kuno dan peta bintang.
Akay menyentuhnya perlahan. “Aku pernah lihat simbol ini.”
“Di mana?” tanya Aylin cepat.
“Di dokumen ayah angkatku… dulu aku kira cuma ornamen.”
Tiba-tiba, liontin di leher Aylin bergetar. Ia mengeluarkannya dari balik baju. Bola liontin menyala samar, seolah mengenali sesuatu dari buku itu.
Mbok Inem berdiri di ambang pintu. Wajahnya pucat. Matanya membelalak.
“Astaga… buku itu… liontin itu…”
“Mbok, Mbok tahu liontin ini?” tanya Aylin cepat.
Mbok Inem mengangguk perlahan. “Simbok pernah lihat sekali. Waktu Non masih kecil. Kakek Non bilang, cuma beliau dan Non Aylin yang boleh pegang liontin itu. Nenek Ros saja nggak berani menyentuhnya. Setelah itu, liontin itu nggak pernah kelihatan lagi… sampai hari ini.”
Aylin menatap Mbok Inem, lalu menatap buku di tangannya. “Mbok tahu isi buku ini?”
Mbok Inem menggeleng. “Tidak, Non. Tapi… Kakek pernah berpesan, kalau liontin menyala bersamaan dengan dibukanya buku itu… berarti waktunya sudah dekat. Tapi kalau bukan Non yang buka… bisa ada kutukan.”
Tumirah yang dari tadi pura-pura sibuk, langsung memeluk sapunya erat. “Kutukan?! Astaga, rumah ini ternyata… rumah warisan atau rumah hantu, sih!”
Aylin dan Akay saling berpandangan. Hening menyelimuti. Hanya suara petir di luar jendela yang memecah diam.
Dengan tangan yang sedikit gemetar, Aylin membuka halaman pertama—yang ternyata juga menjadi satu-satunya halaman dalam buku itu.
Gambaran sosok Semar langsung menyambut mereka—duduk bersila dengan mata teduh dan senyum samar yang tak bisa ditebak artinya. Namun anehnya, tak ada tulisan apa pun di bawah gambar itu. Hanya ruang kosong. Lembar itu tampak kosong… tapi Aylin merasa seolah ada yang tersembunyi di baliknya.
Akay mengerutkan dahi. “Kau lihat sesuatu?”
Aylin menggeleng pelan. “Nggak. Tapi rasanya… seharusnya ada sesuatu di sini.”
Liontin di lehernya berdenyut ringan, cahaya kehijauan samar mulai menyebar. Naluri Aylin menuntunnya untuk menurunkan liontin itu, lalu perlahan mengarahkan cahayanya ke permukaan halaman.
Saat cahaya menyentuh kertas… muncul bayangan samar.
Tulisan. Bukan tinta biasa. Seperti terukir dengan cahaya, mulai tampak perlahan membentuk aksara Jawa kuno: ꦱꦼꦥꦶꦲꦶꦁꦥꦩꦿꦶꦃ꧀
Akay membelalak. “Tadi nggak ada…”
“Itu… muncul karena liontin ini,” bisik Aylin. “Kertasnya hanya merespons cahaya dari liontin.”
"Ya Gusti... kertasnya bisa nyala begitu," desis Mbok Inem dengan mata membelalak, setengah tak percaya.
Tumirah memeluk dirinya sendiri. "Duh, merinding aku... ini beneran bukan sulap, 'kan?" bisiknya sambil mengusap tengkuk.
Akay memicingkan mata, mencoba memahami tulisan yang muncul di bawah cahaya liontin Aylin.
“Ini... sepertinya tulisan Jawa. Aku nggak bisa baca, tapi aku yakin, ini bukan cuma simbol. Ini pesan. Petunjuk yang sengaja disembunyikan.”
Aylin menelusuri tulisan itu dengan ujung jarinya, lalu membacanya dengan suara rendah, seolah takut suara keras bisa membangunkan sesuatu yang tak kasat mata.
“Sepi ing pamrih… rame ing gawe…”
Begitu kalimat itu terucap, angin tiba-tiba menyelinap dari sela jendela yang tertutup rapat. Suhu udara menurun. Liontin di leher Aylin menyala semakin terang, seperti bernapas dalam irama yang tidak mereka pahami.
Aylin memandang Akay. “Kalimat ini bukan sekadar filosofi hidup. Ini kunci. Mungkin kode, atau petunjuk tersembunyi.”
Akay menatap tulisan yang perlahan kembali memudar saat liontin dijauhkan. “Ini… petunjuk kedua. Tapi kurasa kita tidak sedang membuka peta, Ay.”
“Apa maksudmu?”
“Kita sedang membuka lapisan sejarah. Mungkin… takdir. Dan sesuatu yang seharusnya tetap tersegel.”
Aylin terdiam. Matanya kembali menatap gambar Semar di halaman buku yang baru saja menunjukkan tulisan misterius itu. Tatapannya menembus waktu, membawa ingatannya melintasi tahun-tahun ke belakang… ke sebuah malam yang tak pernah benar-benar ia lupakan.
Beberapa belas tahun yang lalu
Rumah joglo tradisional itu diselimuti kegelapan. Lampu mati. Hanya cahaya bulan yang masuk samar dari sela jendela kayu, menciptakan bayangan yang menari di dinding. Angin malam membawa suara jangkrik yang bersahutan, seperti bisikan dari alam yang tengah terjaga.
Aylin kecil—sekitar enam tahun—duduk gelisah di atas kasur tipis, memeluk bantal dengan erat. Wajahnya takut, tapi mencoba tegar.
“Kakek… gelap…” suaranya manja, nyaris bergetar.
Suara Wardhana terdengar dari sudut ruangan. Tenang, penuh kasih, seperti pelukan yang tak terlihat. “Tunggu sebentar.”
Dari dalam lemari kayu, Wardhana mengambil sebuah kotak kecil. Ia duduk bersila di hadapan cucunya, lalu menyalakan lilin. Wajahnya kini temaram, hanya setengah diterangi cahaya kuning lembut. Dari kotak itu, ia mengeluarkan wayang Semar berukuran kecil—terbuat dari kulit kerbau, warnanya sudah pudar dimakan waktu.
“Kau tahu siapa ini?” tanyanya lembut.
Aylin kecil mengernyit, lalu menjawab ragu, “Semar?”
Wardhana tersenyum tipis, mengelus rambut Aylin dengan lembut. “Benar. Tapi Semar bukan cuma pelayan. Ia penuntun para ksatria. Bijak, rendah hati. Tidak butuh dihormati. Ia hanya ingin dunia ini tenang.”
Aylin kecil menatapnya tak berkedip. “Kakek menyukai Semar?”
“Iya,” jawab Wardhana, suaranya tenang.
“Kenapa?” tanya Aylin, matanya tak lepas dari wajah sang kakek.
Wardhana terdiam sesaat, lalu berkata perlahan, “Karena dia sepi ing pamrih—bekerja tanpa mengharap imbalan. Tak butuh pujian. Tapi tanpanya, dunia bisa hancur berantakan.”
Aylin menggigit bibir. “Apa aku harus jadi kayak Semar juga?”
Wardhana tersenyum lagi, kali ini lebih samar. Lalu dengan suara nyaris berbisik, ia berkata, “Suatu hari nanti, kau akan tahu jawabannya. Dan saat hari itu datang... ingat baik-baik kata ini.”
Ia menunduk mendekat, membisikkan mantra itu ke telinga cucunya, seolah menyisipkan rahasia dari leluhur:
"Sepi ing pamrih. Rame ing gawe. Pengetahuan adalah kunci rahasia."
Aylin hanya memandangi wajah kakeknya dalam diam. Pandangannya perlahan bergeser ke wayang di tangan Wardhana, lalu menatap boneka Semar tua yang tergantung di bawah lukisan besar di dinding. Seolah sosok itu sedang mengawasi mereka.
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
untung semua data atau apa ya itu namanya simbol2 itu sudah masuk ke pikiran Aylin ya...
ternyata setelah dilewati Aylin dan Akay tiap ujian tidak balik seperti semula ya...jadi gampang dilewati...
makasih kak Nana.... ceritanya bener-bener seru juga menegangkan . kita yang baca ikutan dag dig dug ser .
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍