Ralina Elizabeth duduk tertegun di atas ranjang mengenakan gaun pengantinnya. Ia masih tidak percaya statusnya kini telah menjadi istri Tristan Alfred, lelaki yang seharunya menjadi kakak iparnya.
Semua gara-gara Karina, sang kakak yang kabur di hari pernikahan. Ralina terpaksa menggantikan posisi kakaknya.
"Kenapa kamu menghindar?"
Tristan mengulaskan senyuman seringai melihat Ralina yang beringsut mundur menjauhinya. Wanita muda yang seharusnya menjadi adik iparnya itu justru membuatnya bersemangat untuk menggoda. Ia merangkak maju mendekat sementara Ralina terus berusaha mundur.
"Berhenti, Kak! Aku takut ...."
Ralina merasa terpojok. Ia memasang wajah memelas agar lelaki di hadapannya berhenti mendekat.
Senyuman Tristan tampak semakin lebar. "Takut? Kenapa Takut? Aku kan sekarang suamimu," ucapnya lembut.
Ralina menggeleng. "Kak Tristan seharusnya menjadi suami Kak Karina, bukan aku!"
"Tapi mau bagaimana ... Kamu yang sudah aku nikahi, bukan kakakmu," kilah Tristan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Momoy Dandelion, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5: Awal Obsesi
3 tahun yang lalu ....
Tristan tengah menikmati waktu makan malamnya bersama kedua orang tua. Aturan di rumah, sesibuk apapun urusan pekerjaan, setidaknya harus meluangkan waktu makan bersama di akhir pekan. Kalau tidak dituruti, Emili akan marah. Baik Tristan maupum ayahnya tak bisa membantah.
Rumah sebesar itu memang terasa sepi. Untunglah ada belasan pelayan yang bekerja di sana dan mampu menghidupkan suasana. Begitulah kesepiannya orang tua yang hanya memiliki satu anak, apalagi sudah bekerja.
"Daddy dengar kamu menambah kepemilikan saham di hotel dan restoran milik Tuan John Arthur."
Leon membuka pembicaraan di sela-sela makan malam. Tristan tampak enggan untuk menanggapi ucapan ayahnya. Ia tahu meskipun tidak mengatakannya, ayahnya akan tahu apa yang ia lakukan.
"Ya, Benar," jawabnya singkat.
Leon menggeleng-gelengkan kepala. Ia tidak pernah bisa menebak isi pikiran putranya. Salah satu lulusan terbaik dari universitas di Australia itu bisa membuat keputusan yang membuat banyak orang tercengang. Ia sendiri tahu dari para rekan bisnisnya. Tristan tak pernah bercerita atau meminta pendapat tentang pekerjaannya.
"Apa yang kamu mau sebenarnya, Tristan?" tanya Leon.
"Daddy tahu, tidak seharusnya ikut campur dengan urusanmu. Tapi ... Masih tidak bisa masuk nalar keputusanmu untuk yang satu itu."
"Kamu ini anak yang pintar, sudah merintis bisnis sejak kuliah, bahkan tanpa sepeserpun uang dari daddy."
"Kamu ini sedang jadi pusat perhatian orang-orang sejak wajahmu muncul di halaman majalah bisnis."
"Coba pikirkan lagi kalau mau memutuskan sesuatu," tutur Leon.
Semua orang tahu, bisnis milik Keluarga Arthur selalu berada di ambang kehancuran. Dari segi manajemen dan masalah internal yang buruk, rasanya sangat mustahil untuk diselamatkan. Para investor satu persatu melepaskan sahamnya. Tapi putranya justru terus-menerus membakar uangnya untuk mempertahankan perusahaan itu.
"Biar aku yang menanggungnya, Dad. Ini tidak akan berpengaruh apa-apa pada bisnis Daddy," jawab Tristan dengan enteng.
"Ayolah, Sayang ... Kami juga memikirkan bagaimana ke depannya untuk karirmu. Lebih baik kamu melepaskannya dan membangun hotel serta restoranmu sendiri kalau memang kamu menginginkan bisnis seperti itu. Kami akan membantu. Jangan lagi berurusan dengan bisnis mereka," bujuk Emili.
Tristan bukannya tidak tahu kalau keputusannya sangat bodoh. Menggunakan semua keuntungan yang dihasilkan perusahaannya untuk menutupi kerugian yang dialami oleh bisnis keluarga Ralina hari demi hari.
Ia hanya belum menemukan cara untuk menyelamatkan Ralina dari keluarga bodoh itu. Ia juga tidak tahu mengapa harus terlibat sejauh itu hanya karena pesan terakhir adiknya.
"Mom ... Dad ... Aku bisa mengatasinya," ucap Tristan dengan seulas senyum.
Nada bicaranya yang sangat tenang terkesan sangat meyakinkan.
Tiba-tiba ponselnya bergetar. Ia mengambilnya dari saku, ada panggilan masuk dari seorang bernama Hamin.
"Halo?" sapanya saat menerima panggilan itu.
Raut wajahnya berubah tegang ketika berbicara dengan orang yang menelepon. Leon dan Emili saling berpandangan, seperti ada hal penting yang terjadi.
"Siapa yang menelepon?" tanya Emili usai Tristan menutup teleponnya.
"Orang kantor, Mom. Ada sedikit urusan penting di kantor," jawab Tristan.
"Malam-malam begini? Di akhir pekan?" guman Emili heran.
"Ya, Mom. Sepertinya aku tidak bisa menyelesaikan makan malam ini. Aku harus ke kantor sekarang," pamit Tristan seraya beranjak dari tempatnya.
Emili tercengang. "Apa tidak bisa besok?"
"Tidak bisa, Mom. Aku pergi dulu!"
Tristan langsung berjalan dengan langkah cepat ke arah depan.
Di halaman ada Hansan yang tampak sedang bermain catur denngan dua orang satpam rumah. Hansan langsung berdiri tegap saat melihat Tristan datang.
"Kita pergi sekarang!" perintah Tristan.
Tanpa bertanya sedikitpun, Hansan langsung berlari ke arah mobil. Ia membukakan pintu untuk atasannya dan langsung melajukan mobilnya.
"Anda ingin saya antar kemana?" tanya Hansan saa mobil baru keluar dari gerbang mansion.
"Klab malam Sky Night!"
Trian menyandarkan tubuh pada jok mobil. Ia menghela napas panjang. Kabar dari Hamim membuatnya panik.
Hamin ia tugaskan mengawasi Ralina. Katanya, Karina membawa Ralina ke klab malam itu. Kepalanya jadi pening. Ada saja kelakuan Karina yang membuatnya sibuk.
"Hansan ...," panggilnya.
"Iya, pak?" Hansan menoleh ke belakang lewat spion.
"Berapa usia minimal untuk masuk klab malam?" tanyanya.
"Saya kurang paham, Pak ... Tapi sepertinya asalkan sudah punya KTP bisa masuk."
Tristan tidak pernah berpikir sampai ke sana. Ia lupa jika sekarang Ralina sudah berusia 17 tahun. Anak yang ia jaga selama ini ternyata sudah semakin dewasa.
Setibanya di depan klab malam, Hamin datang menghampiri mereka di area parkiran.
"Apa Ralina sudah masuk?" tanya Tristan.
Hamin mengangguk. Ia menyerahkan sebuah topi dan masker kepada Tristan untuk dikenakan. Tidak mungkin Tristan secara terang-terangan terlihat di klab malam. Akan ada rumor yang beredar. Ia harus tetap menjaga imej-nya sebagai seorang pengusaha yang baik dan tenang.
Ketiganya langsung masuk dan berbaur dengan pengunjung lain yang penuh sesak memenuhi tempat tersebut. Suara bising musik seakan mampu memecahkan gendang telinga. Mereka mengarahkan pandangan ke setiap sudut untuk mencari keberadaan Ralina.
Merasa sulit melakukannya bersama-sama, ketiganya memutuskan untuk berpencar. Tristan mencarinya ke bagian lantai atas.
Saat baru beberapa langkah menginjakkan kaki di lantai dua, ia melihat keberadaan Karina yang tengah berbicara dengan seorang lelaki.
"Aku sudah membawa adikku, sekarang penuhi janjimu! Seratus juta!" kata Karina sembari menghisap rokoknya.
"Hahaha ... Mahal sekali bayaran yang harus aku keluarkan demi untuk bertemu adikmu." Lelaki itu tertawa.
Tristan berhenti di tempatnya, menyandarkan punggung pada dinding sembari pura-pura memainkan ponselnya.
"Terserah kamu mau bilang apa! Transfer sekarang juga! 100 juta!" desak Karina.
"Ya, ya ... Baiklah!"
"Baru kali ini aku bertemu kakak yang jahat sepertimu. Rela menjual adiknya demi pria penasaran seperti aku. Hahaha ...."
Tristan mengepalkan tangannya. Ingin sekali ia langsung mendatangi mereka dan menghajarnya. Kali ini perbuatan Karina sudah sangat keterlaluan pada Ralina.
"Yah, mau bagaimana lagi? Aku tidak punya penghasilan sekarang. Papa memecatku dari perusahaan."
"Itu karena kamu semena-mena melakukan korupsi dengan uang perusahaan!"
"Itu kan perusahaan ayahku. Wajar kan kalau aku memakai uangnya?"
"Wajar ... Tapi di pikiran orang gila! Dasar aneh!"
"Ah, terserah! Pokoknya aku butuh uang! Cepat kirim!"
"Iya, iya ... Ini sudah aku transfer 100 juta! Setelah tidur dengan adikmu, nanti aku tranfer lagi 200 juta!"
"Jangan kasar-kasar dengan adikku. Dia masih kecil."
"Hahaha ... Apa sekarang kamu mengkhawatirkannya?"
"Tidak, tidak ... Pokoknya kamu hanya punya waktu semalaman untuk tidur dengan adikku. Jam delapan pagi aku akan menjemputnya."
"Iya, iya ... Aku tahu!"
"Adikku ada di dalam! Jangan agresif, nanti dia ketakutan. Tunggu dia agak hilang kesadaran. Aku sudah memberikannya minuman khusus."
"Hahaha ... Kamu memang kakak yang luar biasa jahat. Luar biasa, Karina!"
kira" kemana raliba apa diculik jg sama bobby bisa sj kn raliba dpt info dr seseorang beritahu kbradaan karina yg trnyata dibohongi jg sma orang itu krn oerginya ralina g ada yg tau knp hamin g ngejar waktu itu
tristan pdkt sama ralina ny jngan kasar"
klo g kabur masa iya tristan rela jd suami karina yg urak an demi mnjaga ralina udah dikuras uagnya msih korban raga pdhl udah menyadari klo suka sama ralina... buang " ttenagadan harta tristan
ralina kabur kemana nih
iklaskn ralina yg sudah di incar trintan dr kecil